Penulis: Mulawarman | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Pemerintah perlu merespon adanya fenomena perubahan iklim baru yang dikenal dengan sebutan “kemarau basah”. Fenomena kemarau basah bukan sesuatu yang bersifat sementara namun merupkan pola iklim baru.

Peneliti Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin mengatakan itu dalam wawancara RRI Pro3, Sabtu (7/6/2025). Yulihastin menekankan bahwa perubahan iklim tersebut bukan fenomena sesaat malainkan pola iklim baru.
Pemerintah perlu merespons karena fenomena kemarau basah memicu berbagai bencana seperti banjir, longsor, dan genangan air. Yulihastin menekankan pentingnya peningkatan kapasitas drainase dan pengelolaan air secara menyeluruh dari hulu ke hilir.
“Kita tidak bisa hanya berpikir untuk satu kota. Sistem drainase dan tata kelola air harus terintegrasi, terutama wilayah aglomerasi (proses aktivitas pemusatan wilayah yang berkaitan dengan aspek geografi, industri, dan ekonomi yang melibatkan kluster tenaga kerja, perusahaan, dan konsumen) di Indonesia seperti Jabodetabek dengan daerah Jawa Barat,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti kesiapan infrastruktur menjadi krusial, perlu meningkatkan adaptasi cuaca yang datang tiba-tiba. Perubahan cuaca harian yang drastis sering terjadi, seperti Jakarta, Bandung, dan Purwakarta.
Istilah kemarau basah untuk menyebut masih adanya hujan yang lebat di musim kemarau. Indonesia secara umum sudah memasuki musim kemarau pada awal Juni, tetapi sejumlah wilayah masih diguyur hujan.
“Ini pola iklim baru yang perlu direspons serius oleh pemerintah melalui kebijakan mitigasi bencana,” katanya. Mitigasi adalah upaya untuk mengurangi resiko bencana yang bakal muncul dalam hal ini akibat perubahan iklim tersebut.
“Kemarau sekarang ini menipu, seolah-olah kering, padahal masih sering hujan. Kami menyebutnya kemarau basah, dan tren ini sudah muncul konsisten sejak 2018,” katanya di Pro3 RRI, Sabtu (7/6/2025).
Adanya hujan di sejumlah wilayah Indonesia diakibatkan adanya tekanan udara yang rendah di Samudra Pasifik dan Hindia.
Erma Yulihastin juga mengingatkan pentingnya kesadaran dan akses informasi cuaca yang lebih luas kepada masyarakat. “Masyarakat harus mulai menjadikan prakiraan cuaca sebagai bagian dari rutinitas harian,” ucapnya.***