Penulis: Mulawarman | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Komoditas kobalt baru saja diusulkan oleh pemerintah untuk dikenakan tarif royalti dalam revisi Peraturan Pemerintah No. 26/2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku pada Kementerian ESDM. Indonesia padahal merupakan penghasil kobalt terbesar kedua di dunia.

Dalam usulan terbaru iuran royalti mineral dan batu bara (minerba), logam kobalt rencananya akan dikenakan tarif sebesar 1,5%, sedangkan kobalt sebagai produk ikutan dalam nickel matte dikenakan tarif sebesar 2%.
Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM Julian Ambassadur Shiddiq mengakui pemerintah baru mengetahui manfaat kobalt begitu besar setelah mempelajari komoditas tersebut dalam rantai pasok industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).
“Karena setelah kita pelajari sebagian kobalt yang beredar di pasar dunia berasal dari Indonesia, tetapi kita tidak mendapatkan manfaatnya,” kata Julian saat dihubungi, Kamis (13/3/2025).
Berdasarkan data dari Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) yang dipublikasikan 2024, Indonesia tercatat sukses menjadi negara penghasil kobalt terbesar kedua di dunia.
RI hanya kalah dari Republik Demokratik Kongo yang menjadi produsen kobalt terbesar di dunia pada 2023. Negara terbesar kedua di Benua Afrika itu memiliki produksi kobalt sebanyak 170.000 ton sepanjang 2023.
Posisinya diikuti Indonesia dengan produksi kobalt sebesar 17.000 ton pada tahun yang sama. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya atau 2022 yang hanya sebesar 9.600 ton.
Menyusul di belakang Indonesia, Rusia menempati posisi ketiga dengan produksi kobalt sebanyak 8.800 ton pada 2023.
Selain produksi, Kongo juga memiliki cadangan kobalt terbesar di dunia pada 2023, yakni 6 juta ton. Kemudian, Australia dan Indonesia memiliki cadangan kobalt masing-masing sebanyak 1,7 juta ton dan 500.000 ton.
Secara global, memang penggunaan utama kobalt adalah untuk elektroda baterai yang dapat diisi ulang. Selain itu, kobalt juga digunakan untuk pembuatan suku cadang mesin turbin gas sebagai salah satu bahan utamanya.
Bahkan, kobalt ternyata juga digunakan sebagai salah satu komponen vitamin B12 yang mendukung produksi sel darah merah dengan jumlah yang sangat kecil agar tetap sehat dan mencegah risiko keracunan.
Pada 2023, Benchmark Mineral Intelligence mencatat Indonesia telah menghasilkan sekitar setengah dari suplai nikel dunia. Untuk kobalt, produksi RI ditaksir naik menjadi hampir 20% total produksi global pada 2030, dari hanya 1% pada 2021.
Ekspansi produksi kobalt di Indonesia sebagian besar merupakan hasil dari investasi miliaran dolar AS oleh perusahaan China di kilang yang mengeluarkan campuran kimia yang mengandung kobalt serta nikel.
Produsen nikel global terbesar Tsingshan Holding Group Co, raksasa penyulingan kobalt Zhejiang Huayou Cobalt, serta produsen baterai terkemuka yang dikenal sebagai CATL termasuk di antara para investor yang masuk ke Indonesia.
Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mengestimasikan Indonesia bisa mendapat tambahan pendapatan negara hingga US$600 juta jika kobalt—sebagai mineral ikutan nikel — dikenai tarif iuran royalti minerba.
Sekretaris Umum APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan kobalt selama ini belum dikenai tarif royalti oleh pemerintah, padahal mineral logam ikutan nickel matte tersebut memiliki nilai keekonomian yang sangat tinggi.
Dia menggambarkan kandungan kobalt ikutan dalam bijih nikel yang diperdagangkan pada 2023—2024 mencapai sekitar 0,1%. Namun, mineral ikutan selama ini menjadi komoditas yang belum terpapar iuran royalti, sehingga luput dari potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Penerimaan royalti dari kobalt saja bisa didapatkan sekitar US$600 juta,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (12/3/2025).
Di industri baterai, lanjutnya, kobalt sebagai mineral ikutan nikel memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Akan tetapi, selama ini pemerintah hanya menerapkan harga mineral acuan (HMA) kobalt dan belum memperhitungkan formulasi harga untuk bahan baku atau bijihnya.
“Kalau itu bisa dihitung dan dikategorikan sebagai mineral pengikut, kan bisa diterapkan royalti entah 2% atau 10%. Tentu negara kan ada penghasilan tambahan, dan itu angkanya lumayan signifikan karena harga kobalt dua kali lipat [dari harga nikel] walaupun nilai konten kobalt dalam nikel itu hanya 0,1%,” terang Meidy.
Di London Metal Exchange (LME), kobalt sebagai logam EV diperdagangkan di US$33.565/ton pada Kamis pagi (13/3/2025), melonjak 14,91% secara harian. Secara historis, harga kobalt mencapai rekor tertinggi sepanjang masa di level US$95.250 pada Maret 2018.
Sebagai perbandingan, nikel sebagai logam nonferrous dilego di US$16.641/ton di LME, terkoreksi 0,90%. Angka ini terpelanting jauh dari rekor tertinggi harga jual nikel di atas US$20.000/ton pada kisaran 2022—2023.***