Penulis:Mulawarman | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Lonjakan suhu ekstrem di Surabaya Raya yang terkonfirmasi oleh data dan proyeksi BRIN diasumsikan berasal dari kombinasi dua faktor utama.
Peneliti BRIN, Erma Yulihastin, menyebut faktor alamiah dan pemanasan lokal sebagai pemicu utamanya, sekaligus menawarkan solusi adaptasi dan mitigasi yang harus segera dilakukan.
Erma menekankan bahwa kenaikan suhu yang masif di Surabaya Raya memerlukan kajian lanjutan, namun berdasarkan data yang ada terdapat dua asumsi kuat sebagai penyebab itu semua.
Pertama, perubahan sirkulasi laut dan atmosfer
“Berkaitan dengan perubahan sirkulasi yang terjadi di Laut Jawa dan Selat Madura. Karena keduanya mengelilingi wilayah utara Surabaya, perubahan interaksi antara laut yang memanas dan atmosfer yang memanas diyakini memicu kenaikan suhu yang tidak normal,” kata Erma kepada Bloomberg Technoz, Senin (27/10/2025)
Kedua, efek urban heat island (UHI)
Erna menjabarkan gejala UHI dimana komposisi lingkungan di pusat kota yang didominasi bangunan berjejal dan minimnya ruang hijau. “Semuanya itu bangunan yang berjejal-jejal. Itu yang pasti memperparah panas lah,” tegasnya.
Erma Yulihastin menekankan bahwa solusi harus berfokus pada aksi lokal (modifikasi mikro iklim) untuk meredam panas yang dipicu oleh UHI. Dia menyarankan dua pendekatan utama; Nature-Based Solution (NBS), yakni penanaman mangrove untuk perlindungan pantai dan penerapan konsep Sponge City (Kota Spons) di wilayah darat.
Menurut dia, konsep Kota Spons penting untuk memastikan air hujan terserap ke dalam tanah saat terjadi hujan ekstrem, sekaligus menjaga keseimbangan lingkungan.
Kedua, modifikasi mikro iklim, yakni mendorong pengusaha dan pemerintah kota untuk menerapkan Go Green dengan menanam sebanyak mungkin, menciptakan vertical garden, atau menghijaukan atap-atap gedung tinggi (rooftop).
Penghijauan ini dapat menyerap panas dan membantu menurunkan suhu lokal hingga 1-2 derajat celcius. Erma juga menyoroti adanya peluang ekonomi di sektor yang membutuhkan panas ekstrem seperti industri garam, di mana proses penguapan akan jauh lebih cepat. Namun, hal ini tetap harus diimbangi dengan data prediksi cuaca yang presisi agar kegiatan adaptasi ini berhasil.
“Wali Kota ini harus berpikir, gimana caranya mempunyai konsep, kota yang tahan terhadap perubahan [iklim],” tutup Erma.***







