Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijawa
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Meski secara umum masyarakat Indonesia lebih mengenal penanggalan Masehi, namun, sebenarnya ada tiga jenis kalender lain yang masih digunakan.

Ketiga kalender yang dimaksud adalah kalender Hijriah atau kalender Islam, kalender Cina, dan terakhir kalender Jawa.
Khusus kalender Jawa, ternyata ada peran Sultan Agung dari terkait terciptanya penanggalan yang kerap dicari untuk mengetahui weton tersebut.
Di masa pemerintahannya, 1613-1645, ada dua kalender yang berlaku di masyarakat, yaitu penanggalan Saka yang merupakan kalender Hindu serta penanggalan Islam.
Jika kalender Saka didasarkan pada pergerakan matahari, kalender Islam justru didasarkan pada pergerakan bulan.
Perbedaan ini, menurut raja terbesar Mataram Islam tersebut, membuat perayaan adat oleh keraton dan hari besar Islam tidak dapat berjalan bersamaan.
Atas dasar itulah Sultan Agung kemudian memutuskan untuk menciptakan kalender Jawa, yang memadukan| kalender Hindu dan kalender Islam, pada 1633 Masehi.
Kalender Jawa sendiri terdiri dari 12 bulan yang setiap bulannya terdiri dari 30 hari. (Kalender Jawa Desember 2022)
Setiap tahunnya juga terdapat tambahan sebuah bulan yang disebut “bulan ganda” yang ditambahkan setiap tiga tahun sekali untuk menyesuaikan dengan siklus matahari.
Kalender Jawa pun hingga saat ini masih sering digunakan seperti terlihat dari masih banyaknya masyarakat yang mencari kata kunci “kalender jawa” di mesin pencari Google.
Hal ini terkait dengan fungsi kalender Jawa sebagai acuan dalam menentukan hari-hari penting dalam kehidupan sehari-hari, seperti hari pernikahan, hari pernikahan, dan hari-hari besar lainnya.
Perubahan sistem penanggalan oleh Sultan Agung dilakukan hari Jumat Legi, saat pergantian tahun baru Saka 1555 yang ketika itu bertepatan dengan tahun baru Hijriah 1 Muharam 1043 H dan 8 Juli 1633 M. Penanggalan yang baru tidak mengganti hitungan tahun Saka 1555 menjadi tahun 1, tetapi meneruskannya dengan berbagai penyesuaian.
Salah satu penyesuaiannya terletak pada sistem perhitungan, yang bukan mengikuti kalender Saka dengan berdasarkan matahari, tetapi perhitungan berdasarkan pergerakan bulan, seperti penanggalan Hijriah. Sehingga, jumlah hari dan bulan dalam kalender Jawa memakai sistem Islam, tetapi angka tahunya tetap mengikuti kalender Saka.
Nama bulan dalam kalender Jawa adalah Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dulkangidah, Besar. Nama bulan tersebut mirip dengan urutan kalender Hijriah yakni Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.
Sehingga saat umat Muslim merayakan tahun baru Islam 1 Muharam, masyarakat Jawa juga merayakan tahun baru kalender Jawa yaitu 1 Suro, meski tahunnya berbeda. Selain itu, sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari. Yang pertama adalah siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari seperti kalender Masehi.
Pemberian nama hari dalam kalender Jawa menyerap dari bahasa Arab, di antaranya Ahad (Minggu), Isnain (Senin), Tsalasa (Selasa), Arba’a (Rabu), Khamisi (Kamis), Jum‘ah (Jumat), dan Sab’ah (Sabtu).
Yang kedua adalah siklus pancawara, yang terdiri dari lima hari pasaran, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Sistem penanggalan Jawa yang diciptakan Sultan Agung berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura, kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram Islam. Kini, kalender Jawa masih digunakan oleh sebagian masyarakat Jawa.
Menurut buku Memayu Hayuning Bawono, penyatuan kedua kalender, membuat stabilitas politik Sultan Agung makin kokoh. Dia ingin memperoleh legitimasi lebih kuat lagi dari rakyatnya. Dia kemudian mendapuk dirinya sendiri sebagai, Senapati Ing Alaga Sayiddin Panatagama Kalifatullah. Makna gelar itu adalah dia adalah panglima perang, pemimpin agama, dan wakil Tuhan.
Penyatuan kalender dan berbagai tradisi lainnya, bertujuan untuk merangkul seluruh rakyat Jawa agar menyatu di bawah kekuasaan Mataram. Dan pada gilirannya kemudian dijadikan sebuah momentum politik menggalang kekuatan untuk menyerbu Belanda dengan VOC-nya di Batavia pada 1628 dan 1629.***