Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Sultan Hamengkubuwono VII pernah di hadapkan dengan situasi sulit, di mana tiga putra mahkotanya meninggal dunia sebelum naik tahta.

Hingga pada akhrinya posisi putra mahkota yang kelak naik tahta sebagai Sultan Hamengkubuwono VIII diberikan kepada GPH Purboyo.
Meski demikian, ia tak langsung menduduki jabatan sebagai sultan, mengingat perjuangan GPH Purboyo sebelum naik tahta dilalui dengan jalan yang tidak mulus.
Rupanya sebelum diangkat menjadi putra mahkota, GPH Purboyo diamanahi untuk menjadi bendahara Sultan Hamengkubuwono VII.
Terjadi peristiwa menggemparkan di keraton, yakni saat Atma Suwita salah seorang abdi dalem membuat narasi yang menuding Purboyo telah mencuri uang pribadi sultan.
Jumlah uang yang dihitung dan dilaporkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono VII tidak sesuai dengan jumlah uang yang sebenarnya.
Untuk mendukung opini,sang abdi dalem membuat narasi yang menghubungkannya dengan anggaran pernikahan Purboyo.
Biaya yang dikeluarkan untuk upacara pernikahan melebihi anggaran yang tersedia.
Selain itu, Purboyo juga dikatakan tidak mampu melunasi utangnya ketika dia harus membayar perabotan rumah tangga untuk menempati kediamannya.
Hal ini merupakan kesempatan emas bagi Ratu Kencono dan R.M. Mangkukusumo guna menggantikan Puruboyo. Sultan HB VII hampir saja mengangkat Mangkukusumo sebagai putra mahkota. Akan tetapi, keputusan itu tidak langsung disetujui oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda karena mereka mencium ada sesuatu yang tidak wajar.
Meskipun di awal terhasut dengan tudingan dari abdi dalem, namun setelah uang yang diduga hilang itu dihitung kembali, nyatanya tidak ada kejanggalan apapun.
Tak lama setelah itu, Purboyo pun menghadap sultan bersama seorang asistennya. Dia pun melapor kalau yang menghitung uang bukanlah dirinya, melainkan sang asisten.
Sultan Hamengkubuwono VII memperkenankan peti uangnya untuk dikeluarkan. Setelah jumlah uangnya dihitung kembali oleh Purboyo di hadapan Sultan, ternyata jumlahnya sama.
Hal tersebut jelas menjadi bantahan mengenai tudingan dari Atma Suwito. Sultan pun ambil keputusan untuk memecat abdi dalem kepercayaannya hingga mengusirnya dari keraton.
Pada akhirnya, Pangeran Puruboyo memang ditakdirkan untuk menggantikan ayahnya. Pada 13 Juli 1924, ia dikukuhkan menjadi putra mahkota. Namun demikian, Residen Bijleveld mengusulkan kepada Sultan HB
VII agar Puruboyo melanjutkan pendidikan ke luar keraton.
Sultan HB VII memberikan izin kepada Puruboyo berangkat ke Belanda, untuk melanjutkan pendidikan sekaligus mempersiapkan diri menjadi pewaris tahta.
Hamengku Buwono VIII adalah sosok raja yang unik. Kegagalan ayahandanya hingga tiga kali berturutturut dalam proses kaderisasi calon raja membawanya pada semangat membangun kraton dalam tatanan baru seiring dengan arus modernisasi yang gaungnya makin deras.
Kegagalan itu rupanya memberinya ilham dan pelajaran yang sangat berharga atas realitas pengelolaan
suksesi politik raja. Rupanya HB VII tak salah pilih, sebab HB VIII yang dianggap titisan Dewa Wisnu adalah raja yang visioner.
Hampir seluruh anak lelaki utamanya dikirimkan ke sekolah-sekolah modern. Sang putera mahkotanya, GRM
Dorojatun, dikirimnya ke Negeri Belanda untuk mengenyam pendidikan di Rijksuniversiteit, Belanda.
Kebijakan ini kelak akan menjadi batu pijakan. pembentukan sikap nasionalisme penerus tahtanya yang
akan berdampak besar bagi berdirinya Republik Indonesia.***