Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Masa peperangan kerajaan Mataram Islam tidak hanya mengandalkan keris pustaka atau tombak semata, tetapi alutsista penghancu pada masanya yaitu menggunakan meriam. Berikut meriam-meriam legendaris itu.

1. Meriam Nyai Setomi
Meriam Nyai Setomi ini merupakan salah satu senjata andalan Sultan Agung Hanyokrokusuma dari kerajaan Mataram saat melawan VOC Belanda, uniknya Meriam Nyai Setomi ini memiliki pasangan yaitu Meriam Kiai Setomo yang kini berada di Museum Fatahillah Jakarta yang dikenal dengan Meriam Si Jagur.
Meriam Nyai Setomi mempunyai sejarah panjang, karena merupakan salah satu senjata andalan Sultan Agung di Mataram. Bersama pasangannya, yakni meriam Kiai Setomo (Si Jagur), kedua meriam itu digunakan Sultan Agung untuk menggempur VOC di Batavia pada tahun 1628-1629.
Meriam ini paling dikeramatkan di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, ditempatkan di tengah Bangsal Witono, kompleks Sitihinggil. Meriam ini tidak boleh ditampilkan ke publik karena disakralkan oleh Pihak Keraton.
2. Meriam Si Jagur (Kyai Setomo)
Meriam Si Jagur atau Kyai Setomo ini adalah salah satu dari tiga” “meriam suci” “, bersama dengan Ki Amuk di Banten dan Nyai Setomi di Solo. Dibuat antara 1625 dan 1634 oleh Manoel Tavares Bocarro seorang berkebangsaan Portugis di Macao, China.
Kaliber meriam adalah 24 cm (diameter bagian dalam batang) sesuai dengan bola meriam batu 36 pon atau besi 100 pon. Berat 7000 lb (3,5 ton) tertulis di atasnya. Di Macau, meriam ini oleh Portugis ditempatkan di benteng St. Jago de Barra (St. Jago = nama orang suci, de Barra = dekat pantai, karena itu kemudian mendapat julukan “Si Jagur”).
Ujung meriam berbentuk ibu jari yang terjepit di antara dua jari, sebuah isyarat cabul yang pada waktu itu digunakan untuk menghina musuh tapi ada juga versi lain menyebutkan Bentuk kepalan tangan tersebut dalam bahasa portugis disebut “manoin figa” yang dapat diartikan sebagai simbol untuk menangkal kejahatan atau juga untuk mengejek orang Belanda, musuh besar dari orang portugis.
Setelah terjadi pertempuran antara Belanda dan Portugis di Malaka, dimana Portugis kalah dalam pertempuran tersebut, oleh VOC meriam Si Jagur ini kemudian dibawa ke Batavia pada tahun 1641.
Cerita lain meriam ini bersama Nyai Setomi dibawa perang melawan VOC. Karena kalah perang meriam tidak sempat dibawa pulang dan nyangkut di Batavia.
3. Meriam Raksasa Kyai Poncoworo atau Kyai Guntur Geni
Meriam Kyai Poncoworo adalah meriam raksasa peninggalan Kesultanan Mataram era Sultan Agung, yang kemungkinan dibuat pada tahun 1625. Menurut catatan KC Crucq, seorang penulis Belanda dalam laporannya yang berjudul ‘De Knonnen in den Kraton Soerakarta : 1938” dikutip HJ de Graaf dalam buku ‘Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung: 1986’.
Crucq menyebut, Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram yang bertahta di Keraton Kerta, mendapatkan inspirasi untuk membuat meriam ukuran jumbo ini, yang kemudian diberi nama Pontjoworo, bermula dari mimpi. Mimpi Sultan Agung di akhir 1624 itulah yang mendorong kelahiran Poncowuro.
Sengkalan yang tertulis di badan meriam ini mengonfirmasi mimpi sang raja tentang sosok berjubah putih, yang ditafsirkan sebagai pandita atau pendeta atau tokoh suci. Kehadiran sosok suci itu bagi Sultan Agung jadi pendorong paling kuat baginya guna mencapai kedudukan lebih luhur.
Meriam atau kanon raksasa itu kini berada di halaman Pagelaran Keraton Surakarta. Dipasang permanen di papan beton menyerupai kereta beroda. Di papan penyangga terdapat tulisan beraksara Jawa, dan tulisan latin ejaan lama, “Marijem Kijahi Pontjoworo’.
Nama Pontjoworo atau Pancawura ditafsirkan sebagai akronim sengkalan “Pandita Catur Wuruk ing Ratu”. Artinya dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia, ‘pendeta berbicara dan memberi pelajaran kepada sang raja’. Kemungkinan meriam Poncoworo ini dibuat untuk menandingi kehebatan meriam Kyai Amuk Banten.
Hanya Ditembakkan Tiga Kali saat Khusus
Seorang Perwira VOC Jacob Couper yang pernah mengunjungi pusat kerajaan Mataram, dalam suratnya yang ditulis 14 Mei 1680, menyebut meriam ini dengan sebutan meriam Kyai Guntur Geni. Couper mengatakan, meriam raksasa itu hanya boleh ditembakkan untuk tiga macam keperluan. Pertama, tanda pengumpulan rakyat. Kedua, isyarat kemarahan Sultan Agung yang lalu menghukum pembesarnya. Ketiga, bila terjadi kematian besar-besaran (wabah).
4. Meriam Kyai Kadhal Buntung
Meriam Kyai Kadhal Buntung adalah meriam pusaka milik Keraton Solo. Berdasarkan Serat Bauwarna karangan Padmasusastra, dijelaskan meriam Kadhal Buntung adalah satu dari empat meriam pusaka pada era Sultan Agung Kerajaan Mataram. Tiga meriam lain bernama Kiai Maesa Kamale, Nyai Garingsing, dan Kiai Dhukun.
Tapi tiga meriam yang lain tersebut saat ini tidak jelas keberadaannya dan hanya menyisakan meriam Kyai Kadhal Buntung. Sebuah kejadian menceritakan bahwa Meriam Kiai Kadhal Buntung ini pernah meledak saat akan dinyalakan ketika terjadi geger Pecinan di Mataram Kartasura, tapi tidak ada kerusakan berarti yang ditimbulkan hanya rusak sedikit di bagian penyalaan mesiu.
5. Meriam Ki Amuk Banten
Meriam Ki Amuk adalah sebuah Meriam kuno milik Kesultanan Banten yang saat ini berada di depan Mesjid Agung Banten Provinsi Banten. Meriam Ki Amuk konon dulu dipergunakan untuk menjaga Pelabuhan Karanghantu yang berada di Teluk Banten. Meriam Ki Amuk terbuat dari Perunggu dengan berat 7 ton, panjang 3 meter diameter luar terbesar 0,70 m, diameter dalam mulut 0,34 m. Ia menembakkan peluru meriam seberat 180 pon (81,6 kg).[2]
Lambang Surya Majapahit dapat dilihat di mulutnya. Ada dua prasasti berhuruf Arab di meriam ini. Yang pertama berbunyi “Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani” yang berarti “Buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman”. Prasasti kedua berbunyi “La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta” yang berarti “Tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati”
Menurut legenda, Meriam Ki Amuk adalah penjelmaan Prajurit Kesultanan Demak yang dikutuk. Tetapi menurut versi sejarah, meriam ini dibuat di Jawa Tengah abad 16 sekitar tahun 1527 M, yang kemudian dihadiahkan kepada Sultan Hasanuddin dari Kesultanan Banten oleh Sultan Trenggono yang pada awalnya bernama Ki Jimat. Meriam Si Jagur yang di halaman Museum Fatahillah Jakarta adalah “kembaran” dari Meriam Ki Amuk.***