Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Mataram Islam di masa Sultan Agung adalah kerajaan yang ekspansionis. Beberapa wilayah penting di Jawa berhasil ditaklukkan. Salah satunya adalah Kadipaten Tuban, salah satu kota penting di zaman Majapahit dan Demak.

Pendahulunya, Panembahan Senopati juga pernah berusaha menaklukkan kota pelabuhan itu, tapi gagal.
Bagaimana sepak terjang Sultan Agung menaklukkan kota yang begitu mengultuskan Ronggolawe itu?
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan sultan ketiga yang memerintah Kesultanan Mataram pada abad ke-17.
Dia dikenal sebagai penguasa yang tangkas, cerdas, dan taat agama.
Salah satu perjuangan beliau yang membekas adalah penaklukan wilayah-wilayah di Jawa Timur, termasuk Surabaya dan Tuban.
Penaklukan Surabaya dan Tuban merupakan bagian dari rencana Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau Jawa dan menghadapi ancaman VOC di Batavia.
Surabaya dan Tuban adalah kota-kota pelabuhan yang strategis dan kaya sumber daya.
Penaklukkan Surabaya dan Tuban bermula ketika Mataram berhasil menaklukkan Wirasaba, sekarang Mojoagung pada 1615.
Kondisi itu membuat pemimpin-pemimpin di daerah timur merapatkan barisan.
Mereka adalah Adipati Surabaya, Tuban, Japan (Mojokerto), dan Madura.
Niat mereka adalah menyerang Mataram karena sudah sampai ke Wirasaba.
Ada usulan, untuk melawan tentara Mataram yang tanggung mereka harus mengambil rute Madiun karena medannya yang datar.
Di sana juga persediakan makanan, terutama beras, juga murah, dan sumber air melimpah.
Tapi usul itu kemudian diinterupsi oleh Randu Watang, mata-mata Mataram yang lama bekerja kepada adipati Tuban.
Dia berlasan, daerah-daerah di sekitar Madiun, Ponorogo, dan Jogorogo telah dikuasi Mataram.
Jika mereka nekat lewat sana, konsekuensinya mereka harus menghadapi pertempuran yang lebih berat.
Sebagai solusi, Randu Watang menyarankan koalisi itu menempuh rute Lasem dan Pati.
Sayangnya, nasihat yang nantinya bakal membuat celaka itu justru yang diambil.
Rombongan besar itu akhirnya berangkat melalui rute yang sudah disepakti dan memutuskan berkemah di Siwalan, dekat Pajang.
Di sana mereka berharap mendapat bantuan dari Pajang.
Tapi ternyata, Pajang mengurungkan niat dan memilih kembali berkongsi dengan pasukan Mataram.
Di sisi lain, pasukan Mataram ternyata sudah memotong jalur distribusi makanan untuk pasukan koalisi itu.
Dalam kondisi lapar, mereka diserang oleh pasukan Mataram di bawah pimpinan Tumenggung Martalaya dan Jaya Suponto.
Adipati Tuban tentu malu karena saran abdinya yang telah menyesatkan pasukan koalisi.
Sebagai balas utang, diapun memberanikan diri menyerang pasukan Mataram terlebih dahulu.
Tapi karena kuatnya persentajaan Mataram, pasukan Adipati Tuban justru yang lari tunggang langgang bahkan masuk-masuk ke dalam rawa.
Besoknya giliran pasukan yang dipimpin Adipati Japan yang menyerang pasukan Mataram, hasilnya kalah total.
Sementara pasukan Madura dan pasukan Surabaya yang memilih mundur juga dihabisi dalam pelarian.
Dalam pertempuran itu, Adipati Japan tewas.
Tiga tahun berselang, giliran Mataram yang sekarang menyerang Tuban.
Dalam kampanye ini, Sultan Agung mengutus Tumenggung Martalaya dan Jaya Suponto menaklukan Tuban.
Sebelumnya, Mataram mendapatkna informasi dari mata-matanya bahwa Bupati Tuban akan melakukan perlawanan kepada Mataram.
Tumenggung Martalaya adalah sosok yang cerdik.
Alih-alih langsung menyerang secara kilat, dia memilih untuk menunggu pasukan Tuban yang keluar terlebih dahulu.
Sementara di sisi Tuban, Adipati Tuban ternyata juga menerapkan strategi yang pasif.
Dia menolak untuk mengirim pasukannya terlebih dahulu karena hanya bisa sepenuhnya mengandalkan tiga meriam yang dianggap punya kekuatan gaib.
Meriam-meriam itu ditempatkan di atas tembok. Namun, dua meriam kemudian meledak yang membunuh banyak kawan dan lawan. Meriam ketiga macet tidak bisa melepaskan tembakan.
Babad Tanah Djawi menyebut dua nama meriam itu: Sidamurti dan Pun Gelap. Yang pertama membunuh tiga adipati, yang lainnya, sebuah pusaka tua meledak. Orang-orang Tuban terkejut karena menganggapnya sebagai pertanda kekalahan.
Dalam Babad Sangkala disebutkan bahwa pasukan Mataram menaklukkan Tuban (bedahing Tuban) pada 1619. Adipati Tuban melarikan diri ke arah Giri, tetapi kapalnya, Indra Jala, tertelan ombak. Sedangkan Serat Kandha menyebut adipati Tuban lari ke Balaga di Madura.
Serat Babad Tuban memuat cerita berbeda. Setelah pertempuran hebat, awalnya Tuban memenangkan pertempuran, namun kemudian kota itu dikepung oleh pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Pojok. Pangeran Dalem melarikan diri ke Pulau Bawean. Selanjutnya dia pindah ke Desa Rajek Wesi. Lima tahun kemudian dia meninggal dunia dan dimakamkan di Kampung Kadipaten (sebelah timur Kabupaten Bojonegoro). Makamnya kemudian disebut Buyut Dalem.
“Setelah penaklukkan kota, meriam wasiat, Kiai Sidamurti, menghilang,” catat De Graaf. “Pangeran Pojok menjadi bupati Tuban yang hancur tepat pada hari Gerebek Maulud.”***