Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Bindere Saod Raja Sumenep Nyaris Tewas Ditebas Kepalanya oleh Patih Purwonegoro

badge-check


					Cungkup makam Bindere Saod di Asta Tinggi Perbesar

Cungkup makam Bindere Saod di Asta Tinggi

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Dalam cerita sebelumnya RA Tirtonegoro mencari suami yang kemudian melalui mimpi RA Tirtonegoro mendapat wangsit jodohnya adalah seorang penyabit rumput. Di lain pihak Patih Purwonegoro menaruh hati pada RA Tirtonegoro harus gigit jari karena cintanya ditolak.

Patih Purwonegoro karenanya menaruh dendam kepada penyabit rumput yang kemudian dikenal Bindara Saod yang punya kesaktian dan bukan orang sembarangan.

Bindara Saod setelah dipilih oleh RA Tirtonegoro ditahan ditempatkan dekat pintu gerbang oleh Sang Ratu. Setelah empat puluh hari, lalu dipanggil menghadap kehadapannya di pendopo agung, ternyata disana teIah disediakan penghulu untuk menikahkan antara Bindara Saod dengan Sri Ratu
Tirtonegoro.

Setelah Bindara Saod dijadikan suami Ratu Tirtonegoro maka diangkat sebagai Mantri dengan gelar Tirtonegoro.

Perkawinan Ratu Tirtonegoro dengan Bindara Saod banyak sentana keraton yang tidak senang, terutama Patih Purwonegoro. Ia sangat benci dan dendam pada Bindara Saod, dengan demikian setiap ada sidang paripura di pendopo agung dirinya tidak pernah hadir.

Patih Purwonegoro setiap hari selalu mengasah pedangnya yang katanya akan ditebaskan pada leher Bindara Saod. Hal tersebut terdengar oleh Sang Ratu, maka diadakannya siasat untuk mengantisipasi kemarahan Patih Purwonegoro.

Suatu ketika diadakan sidang paripurna di pendopo agung, Sang Ratu memerintahkan agar Mantri gedung Ki Sawunggaling duduk di kursi yang biasa diduduki oleh Bindara Saod yang didampingi oleh Ki Singotruno. Ketika itu Patih Purwonegoro datang dengan pedang terhunus untuk membunuh Bindara Saod, karena tidak paham betul pada wajahnya, maka Ki Sawunggaling disangka Bindara Saod, lalu ditebas kepalanya.

Sawunggaling cepat menunduk dan pedang Purwonegoro lewat diatasnya dan mengenai tiang keraton, menancap agak dalam tak bisa dicabut. Ketika itu Ki Singotruno Iangsung menusukkan tombaknya ke lambung Purwonegoro hingga tewas seketika. Setelah kejadian tersebut maka Ki Singotruno diangkat sebagai Patih Sumenep menggantikan Purwonegoro.

Punya Karomah Sejak di Kandungan

Bindara Saut diperkirakan lahir di awal kurun 1700-an Masehi. Tidak ada petunjuk lisan maupun tulisan mengenai hari, tanggal, hingga tahunnya. Hanya, peristiwa sebelum kelahirannya dikenal melegenda. Dan terus menjadi perbincangan dengan diceritakan turun-temurun.

Syahdan, di suatu waktu, Bindara Bungso memanggil isterinya yang bernama Nyai Nurima atau Nairima. Saat itu Nyai Nurima tengah hamil tua.

Saat dipanggil, Nyai Nurima tengah shalat. Sehingga panggilan sang suami tak bisa dijawabnya. Setelah berkali-kali tak ada sahutan, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang menjawab panggilan Bindara Bungso, “ibu masih shalat, wahai ayah”.

Sontak, Bindara Bungso tertegun. Beliau mencari arah datangnya suara tersebut. Namun yang dijumpainya hanya sang isteri yang baru saja mengucapkan salam sehabis shalat. Lantas Bindara Bungso bertanya pada Nyai Nurima.

“Siapa anak yang barusan menjawab panggilanku?”.

“Anak di dalam kandunganku, ini,” jawab Nyai Nurima, pasti.

Peristiwa tersebut yang konon menjadi latar belakang pemberian nama Saut. Karena sudah bisa menyahut sejak dalam kandungan. Sebuah karomah luar biasa, yaitu karunia kemuliaan dari Allah SWT pada seseorang sebelum ia bertaqwa. Lidah Madura lantas menyebutnya Saot. Sehingga putra Bindara Bungso dengan Nyai Nairima itu dikenal dengan sebutan Bindara Saut atau Bindara Saot. Bindara adalah paduan kata arab bin.

Dalam sebuah naskah tulisan kuna berhuruf dan berbahasa Arab, Bindara Saut ditulis dengan huruf shad, wawu, dan ta’. Dibaca Showtun, atau Showt, yang maknanya suara. Naskah kuna yang diperkirakan ditulis oleh salah satu putra Sultan Abdurrahman itu kini tersimpan di kampung Pangeran Le’nan, kelurahan Kepanjin, Kabupaten Sumenep.

Sebagian ahli sejarah di kalangan keluarga keraton menyandarkan nama Saot pada bahasa Madura. Namun sebagian lain mengatakan bahwa itu dari bahasa Arab, showt. Dan sebagian lagi mengatakan bahwa, Saot hanyalah gelar atau julukan saja. Dengan kata lain Saot atau Saut bukan nama daging.

Sejak kecil, konon Bindara Saut sudah banyak menampakkan keistimewaan atau kelebihan dibanding anak-anak sebayanya. Beliau juga dikenal sangat cerdas, dan mampu dengan cepat menangkap pelajaran gurunya.

Di usianya yang masih kecil, Bindara Saut dikirim oleh ayahnya ke Lembung (sekarang nama desa di wilayah Kecamatan Lenteng. Di sana Saut kecil mengaji di pesantren pamannya, yaitu Kiai Fakih atau Kiai Pekke, saudara kandung ibunya.

Suatu malam, di saat semua santri terbuai mimpi, Kiai Pekke yang biasa jaga malam melihat sebuah bintang jatuh dan masuk ke dalam bilik santri. Bintang itu menjelma cahaya dan jatuh tepat pada salah satu santri. Santri itu seperti terbakar dan menyilaukan, sehingga Kiai Pekke tak bisa mengenalinya. Lantas beliau memberi tanda pada kain sarung yang dikenakan santri itu dengan membakar ujungnya sedikit.

Keesokan hari, Kiai Pekke memeriksa para santri. Dan ternyata yang ada tanda di ujung sarungnya ialah Bindara Saut. Lalu Kiai Pekke bersabda, ”Ketahuilah, aku telah mendapat petunjuk bahwa kamu insya Allah akan menjadi Raja Sumenep hingga tujuh turunan.”

Bindara Saut menikah dengan Nyai Izzah, putri Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu. Nyai Galu, Kiai Pekke dan Nyai Nurima (ibu Bindara Saut), bersaudara kandung. Ketiganya adalah putra-putri Kiai Khathib Bangil, di Parongpong, Kecer, Dasuk.

Jadi dengan demikian, antara Bindara Saut dengan Nyai Izzah masih bersaudara sepupu. Pernikahan ini membuahkan dua anak laki-laki, yaitu Baha’uddin dan adiknya, Asiruddin (dalam sebuah catatan ditulis Nashiruddin).

Sepeninggal Kiai Pekke, Bindara Saut menggantikan pamannya morok (mengajar). Salah satu kebiasaan Bindara Saut ialah sering keluar rumah dengan pakaian penyabit rumput, sambil membawa garunju (tempat sabitan rumput). Hal itu dilakukannya untuk menutupi keadaan dirinya yang dikenal alim dan ‘arif billah.

Hingga suatu saat datanglah utusan dari Keraton Sumenep dengan membawa pesan Ratu Rasmana. Saat itu Bindara Saut dengan busana penyabit rumput dan peralatannya dijumpai punggawa Keraton. Setelah menyampaikan maksud berupa undangan dari Ratu, Bindara Saut pun langsung bergegas ikut. Beliau memilih langsung berangkat tanpa mengganti pakaian dengan yang bagus atau pun membuang garunju-nya dalam perjalanan.

Sesampainya di Keraton terjadilah kejadian yang tak lazim dalam sejarah mana pun. Seorang lelaki penyabit rumput dari Desa Lembung dipinang langsung oleh seorang ratu. Setelah Bindara Saut setuju, dilangsungkanlah akad nikah. Akad nikah yang membawa perubahan angin dalam sejarah Keraton Sumenep. Perubahan angin berupa masuknya pengaruh dan aroma pesantren dalam lingkaran feodalisme.

Selepas itu, dengan menikahnya Bindara Saut dengan Ratu Rasmana dilakukan pemindahan kekuasaan dari isteri ke suami. Bindara Saut ditabalkan sebagai raja (adipati) Sumenep dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro pada tahun 1750 Masehi.

Dengan Ratu Rasmana, Bindara Saut tidak memiliki keturunan. Sehingga dengan permintaan Ratu, kedua putra Bindara Saut di Lembung didatangkan ke Keraton. Sang Ratu berkenan mengeluarkan wasiat resmi agar putra termuda, Asiruddin diangkat sebagai raja sepeninggal ayahnya. Asiruddin naik tahta pada 1762 Masehi dengan gelar Panembahan Notokusumo. Beliau juga lebih dikenal dengan nama Panembahan Sumolo atau Somala, karena beliaulah yang mula-mula memakai gelar panembahan. Sebelumnya, penguasa Sumenep hanya bergelar Pangeran atau Tumenggung saja.

Bindara Saut dan Panembahan Sumolo membuka kran sistem dan tradisi baru. Di mana waktu itu di Sumenep geliat religi begitu kental. Pemerintah lebih banyak melibatkan unsur-unsur pesantren dalam tata pemerintahan. Simbol-simbol perangkat Keraton juga lebih kental dengan nuansa Islami. Ghirah memperdalam ilmu agama juga menjadi tradisi putra-putra raja. ***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Raffles Pandang Blambangan Sebagai Posisi Strategis

9 Oktober 2025 - 13:37 WIB

Cerita Hari Ini: Belanda Menghabiskan 8 Ton Emas untuk Menklukkan Blambangan

7 Oktober 2025 - 06:25 WIB

Petrokimia Gresik Pertegas Komitmen Keberlangsungan Usaha Batik Tanah Air

3 Oktober 2025 - 18:34 WIB

Cerita Hari Ini: Inggris Penyebab Belanda Menggempur Belanda dengan Kekuatan Besar

28 September 2025 - 15:07 WIB

Cerita Hari Ini: Inggris Lebih Dahulu Mendarat di Nusantara Daripada Belanda, Lokasinya di Ulupangpang Blambangan

26 September 2025 - 14:51 WIB

Cerita Hari Ini: Wong Agung Wilis Pionir Perjuangan Blambangan Melawan Belanda

25 September 2025 - 13:11 WIB

Cerita Hari Ini: Di bawah Tawangalun II Wilayah Blambangan Sampai Kediri

17 September 2025 - 12:45 WIB

Arkeolog Dunia Terkejut: Kapak Zaman Perunggu Terbuat dari Meteorit Ditemukan di Kalimantan

16 September 2025 - 19:39 WIB

Cerita Hari Ini: Tawangalun Penguasa Blambangan yang Naik Macan Putih untuk Temukan Wilayah Kerajaannya

16 September 2025 - 13:32 WIB

Trending di Uncategorized