Penulis: Mulawarman | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Inti Sinergi Formula (Sultan Energi Indonesia Group) meluncurkan sebuah produk BBM bernama Bahan Bakar Orisinil Buatan Indonesia (Bobibos) pada Minggu (2/11). Berdasarkan akun instagram resminya, Bobibos mengklaim bahwa BBM mereka buatan anak bangsa, ramah lingkungan, murah serta berkualitas, dan lebih irit.
Founder Bobibos M. Ikhlas Thamrin mengatakan pembuatan BBM ini membutuhkan riset panjang selama 10 tahun. Dia menyebut adanya Bobibos berangkat dari keresahan akan ketergantungan Indonesia terhadap energi impor.
Lalu apa bahan bakunya?
Ikhlas mengatakan bahan baku Bobibos berasal dari Jerami. Dia menyebut dari jerami 1 hektare sawah bisa menghasilkan 3000 liter bahan bakar Bobibos. Baik untuk bensin atau bahan baku mesin diesel.
Dia menyampaikan bahwa pemanfaatan jerami sebagai bahan bakar tidak mengganggu produksi beras, justru memberi nilai ekonomi tambahan bagi petani. Bobibos diolah menggunakan teknologi khusus yang bisa mengubah jerami menjadi Bahan bakar nabati.
“Bobibos bukan hanya energi, tapi juga harapan. Kami ingin sawah tidak hanya menumbuhkan pangan, tetapi juga energi,” katanya.
Salah satu penggagas Bobibos, Mulyadi mengatakan bahan bakar ini telah melalui tahap uji sertifikasi dari lembaga resmi di bawah Kementerian ESDM, dan siap dikembangkan lebih luas melalui kerja sama lintas sektor.
Jerami dipilih karena:
– Melimpah di Indonesia, terutama di daerah pertanian.
– Biasanya dianggap limbah, sehingga penggunaannya untuk energi memberi nilai tambah.
– Mengandung selulosa dan lignin yang bisa diolah menjadi biofuel melalui proses kimia tertentu.
Jerami diolah melalui proses fermentasi dan ekstraksi, menghasilkan bahan bakar dengan angka oktan tinggi (RON mendekati 98). Proses ini menghasilkan emisi yang sangat rendah, menjadikan Bobibos sebagai alternatif ramah lingkungan.
Banyak negara telah melakukan penelitian dan produksi biofuel dari jerami dan limbah pertanian, mirip dengan Bobibos di Indonesia. Negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Tiongkok, dan India aktif mengembangkan teknologi ini.***








