Penulis: Jayadi : Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SURABAYA– Pertanyaan sederhana, “Dok, orang dengan gangguan cemas, kok apa-apa dipikirkan ya?” dijawab oleh dr. Santi Yuliani, M.Sc., Sp.KJ (K), melalui akun Instagram @santi_psychiatrist pada 24 September 2025. Ia menegaskan bahwa penggunaan istilah “dipikirkan” sebenarnya keliru.
Menurutnya, “arti dipikirkan itu berarti dengan sengaja memikirkan. Sementara orang dengan gangguan cemas itu bukannya dia mau pikiran itu datang.” Pikiran yang muncul justru hadir tanpa diundang, sehingga lebih tepat disebut kepikiran.
Hal ini berhubungan dengan amigdala, pusat rasa takut di otak, yang menjadi lebih sensitif pada penderita gangguan cemas. Bila orang tanpa kecemasan merespons stimulus dengan intensitas lima, maka penderita gangguan cemas merespons sepuluh. Kondisi ini terjadi bukan karena keinginan, melainkan akibat gangguan fungsi otak.
Dalam terapi, penderita dibantu agar bisa mengurangi reaktivitas tersebut. Pendekatan ini dikenal dengan terapi pengurangan sensitivitas atau bagian dari regulasi sistem saraf otonom.
Tetapi tersebut berujuan untuk p menurunkan respons berlebihan agar pikiran tidak terus berulang.
Di akhir penjelasannya, dr. Santi menegaskan bahwa “bukan apa-apa dipikirin, emang datang pikirannya sendiri gitu ya.”
Dengan pemahaman ini, masyarakat diharapkan lebih bijak membedakan antara sekadar memikirkan dengan pikiran cemas yang hadir tanpa kendali.***