Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Tawangalun Penguasa Blambangan yang Naik Macan Putih untuk Temukan Wilayah Kerajaannya

badge-check


					Keraton Macan Putih Perbesar

Keraton Macan Putih

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Tawangalun pergi menyepi. Ia bersembah semedi di pertapaan kaki Gunung Raung. Sudah tujuh hari ia melakukan laku pembersihan diri. Sampai kemudian ia mendengar suara gaib menggema berbicara kepadanya.

“Pulanglah Gusti Prabu.” Tawangalun diminta agar berjalan ke arah timur. “Jika kau bertemu dengan Macan Putih, tunggangilah.”

Maka, Tawangalun turun dari pertapaannya. Ia tempuh perjalanan berhari-hari ke arah matahari terbit. Sampai kemudian dilihatnya sesosok macan putih menghadang.

Teringat suara gaib dalam semedinya, ia mendekati macan itu lalu menungganginya. Mereka mengelilingi hutan yang luas hingga sampai ke tengah rimba Sudimara. Seakan tahu di situlah tujuan mereka, Tawangalun turun dari punggung macan. Binatang gaib itu pun tiba-tiba lenyap, tak berbekas. Pahamlah Tawangalun bahwa di tempat itulah ia harus membangun negerinya.

Begitulah ia kemudian membuka Hutan Sudimara. Menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Blambangan yang baru, berjuluk Macan Putih.

Kisah para penguasa di Macan Putih itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Babad Tawang Alun.

Tawangalun adalah moyang para penguasa di Macan Putih di tanah pedalaman Banyuwangi. Sejarawan Belanda, H.J de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud dalam Kerajaan Islam Pertama di Jawa mencatat kalau di sinilah tempat asal banyak bupati Banyuwangi dari abad ke-18 hingga ke-19.

Kini sebuah desa bernama Macan Putih, di Kecamatan Kabat, Kabupaten Banyuwangi, dikaitkan dengan kisah itu. Sri Margana dalam disertasinya Java’s Last Frontier: The Struggle for Hegemony of Blambangan, c. 1763-1813 menulis kalau pada 1805, beberapa puing bata masih dapat dilihat. Bekas bangunan kuno itu tadinya masih dilingkupi belantara.

“Macan Putih, yang berlokasi di Dusun Malar (salah satu dusun di Desa Macan Putih, red.), utara Rogojampi, kini tidak lebih dari gundukan tanah dan puing-puing batu bata. Bekas rumah Macan Putih dikelilingi oleh dinding bata besar,” catatnya.

Kata Margana, puing itu bisa mengindikasikan kalau pada masa pemerintahan Tawangalun, Blambangan tumbuh dengan sejahtera. Banyak bangunan kota dan kuil didirikan, sebelum akhirnya dihancurkan Mataram.

Nama mirip dengan Tawangalun muncul dalam catatan seorang pertapa Sunda Kuno, Bujangga Manik. Pada sekira abad ke-14 atau awal abad ke-15, Bujangga Manik melakukan perjalanan melintasi Pulau Jawa dan Bali. Catatan perjalanannya dibahas J. Noorduyn dalam Perjalanan Bujangga Manik Menyusuri Tanah Jawa.

Cerita Bujangga Manik

Diceritakan dalam perjalanannya dari Gunung Raung, Bujangga Manik pergi ke Balungbungan. Di sana ia tinggal, melakukan tapa, hingga lebih dari setahun. Seusainya, Bujangga Manik pergi ke tepi pantai. Ia melihat sebuah kapal yang akan berlayar ke Bali. Artinya, Balungbungan letaknya tak jauh dari laut. Kata Noorduyn, Balungbungan yang tertulis di sana adalah Pelabuhan Blambangan yang ketika itu sudah terkenal.

“Balambangan atau Balangbangan terletak di sebelah selatan Banyuwangi sekarang, di Teluk Pangpang,” katanya. “Pelabuhan ini tetap menjadi pelabuhan yang terpenting di pantai timur Jawa sampai 1774 dan kemudian diganti menjadi Banyuwangi.”

Sekembalinya dari Bali, Bujangga Manik menumpang kapal besar. Kapal itu berlayar dari Bali ke Balungbungan. Dalam perjalanan pulang itu, Bujangga Manik melewati rute sepanjang pantai selatan Jawa. Ia pun melalui Padangalun.

“Sebuah nama yang jelas mengingatkan pada Tawangalun, bandingkan bahasa Jawa padang yang berartiterang, terbuka, dan tawang, yang berarti terbuka, tidak terhalang,” jelas Noorduyn.

Kata sejarawan Jember Zainollah Ahmad lewat bukunya Tahta di Timur Jawa, penyebutan itu pun memperkuat dugaan kalau nama Tawangalun diambil dari nama tempat ia memerintah. “Atau mungkin sebaliknya,” kata dia.

Tawangalun kalau menurut de Graaf dan Pigeaud adalah tokoh setengah legenda. Ia diperkirakan hidup pada abad ke-17. Pada masanya Kerajaan Blambangan dipercaya mencapai era kedamaian dan kejayaan.

Sayangnya, kata Margana, tak banyak informasi yang ditemukan dalam arsip-arsip Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) soal kondisi Blambangan pada masa Tawangalun. Kecuali tahun-tahun terakhir pemerintahannya, yakni tepat sebelum kematiannya pada 1691.

Untungnya sedikit manuskrip lokal, yang disusun setengah abad setelah kematiannya, masih tetap tersimpan dengan baik. Dapat dilihat pada Babad Blambangan.

Babad Blambangan bukanlah satu manuskrip utuh, melainkan tersusun dari beberapa babad yang ditulis pada tahun berbeda-beda. Di dalamnya terdiri dari Babad Sembar, Babad Tawang Alun, Babad Mas Sepuh, Babad Bayu, dan Babad Notodiningratan. Aksara yang dipakai adalah aksara Jawa, Bali, Pegon, dan Latin.

“Seperti dalam babad Jawa lainnya, perhatian utama penyusun adalah mencatat peristiwa politik dan informasi silsilah tentang dinasti yang berkuasa,” jelas Margana.

Dalam Babad Blambangan, nama Tawangalun memiliki urutan silsilah yang tak sama antara sumber yang satu dan lainnya. Tidak sinkronnya penyebutan nama-nama penguasa di Blambangan dan peristiwa yang terjadi membuat penyusunan silsilah menjadi semakin sulit.

Dalam penelusuran Zainollah Ahmad, Tawangalun disebut sebagai anak Minak Lumpat atau Sunan Rebut Payung. Keratonnya di Lamajang dan Kedawung. Di atas Minak Lumpat, secara berurutan dalam silsilah, ada Minak Lampor, Minak Gadru, dan Boma Koncar. Yang teratas adalah Lembu Miruda atau Panembahan Brahma (Bromo).

Disebutkan pula ada dua Tawangalun, I dan II. Ada Pangeran Kedhawung dan Mas Kembar yang disebut Tawangalun I. Lalu Minak Sumendhi disebut Susuhunan Tawangalun II.

“Dalam hal ini posisi silsilah Tawangalun sama dengan yang disebutkan dalam Babad Sembar,” katanya.

Sementara berdasarkan versi Babad Tawang Alun, Tawangalun disebutkan sebagai anak dari Tanpa Una (Pangeran Kedhawung I) atau Ki Mas Kembar. Menurut versi ini hanya ada satu Tawangalun, yaitu yang disebut dengan Pangeran Kedhawung II. Sementara Mas Wila (adik Tawangalun) dikenal pula sebagai Pangeran Kedhawung III.

Saat menjadi raja, Tawangalun memiliki nama Susuhunan Macan Putih dan Mas Sanepa. Mas Sanepa inilah yang kemudian memerintah Keraton Macan Putih. Gelarnya Susuhunan Gusti Prabu Tawangalun.

“Padahal gelar ini biasanya dipakai oleh raja atau wali dalam tradisi Islam. Sementara Tawangalun menganut ajaran Hindu,” kata Zainollah.

Babad Tawang Alun dibuat pada 1832-1841. Ditulis pada masa Suranegara menjadi bupati di Surabaya. Namun keterangan lain, yaitu menurut Winarsih Arifin dalam Babad Blambangan, menyebut kalau Babad Tawang Alun dibuat antara 1826-1827. Ditulisnya di Banyuwangi. ***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Mas Sembar Raja Blambangan Pertama Beribu Kota di Semboro Jember

15 September 2025 - 11:58 WIB

Cerita Hari Ini: Menakjinggo Pria Sakti yang Dikibuli Ratu Majapahit

8 September 2025 - 13:00 WIB

Blood Moon Akan Terlihat di Seluruh Indonesia, Malam Ini

7 September 2025 - 18:44 WIB

Hantu Indonesia dengan Hantu Jepang Serupa Tapi Tak Sama

7 September 2025 - 15:55 WIB

Teknologi Phone Farm Untuk Pengaruhi Opini dan Perangkat Minimal yang Dibutuhkan

6 September 2025 - 19:56 WIB

Kita Tidak Pernah Bisa Menghitung Luas Lingkaran dengan Tepat

6 September 2025 - 07:49 WIB

Cerita Hari Ini: Di Indonesia, Aksi Protes Sudah Ada Sejak Era Majapahit

1 September 2025 - 15:28 WIB

Cerita Hari Ini: Kisah Raden Panji Dikelabui Kuntilanak Ganas Kalakunti di Hutan Keramat

26 Agustus 2025 - 11:37 WIB

Cerita Hari Ini: Sunan Bungkul, Petinggi Majapahit Penyebar Agama Islam Berumur 300 Tahun

25 Agustus 2025 - 11:43 WIB

Trending di Uncategorized