Penulis: Jacobus E Lato | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM. JAKARTA-Otoritas Taiwan melaporkan bahwa satu batch mi instan merek Indomie varian rasa Soto Banjar Limau Kulit produksi Indonesia ditemukan mengandung residu pestisida etilen oksida pada tingkat yang tidak memenuhi standar negara tersebut.
Dilansir dari keterangan resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) Taiwan, Kamis (11/9/2025), batch Indomie tersebut memiliki batas kedaluwarsa 19 Maret 2026.
Saat ini, Pusat Keamanan Pangan (CFS) Taiwan sedang menyelidiki apakah produk yang dimaksud diimpor ke Hong Kong dan sedang menghubungi otoritas terkait untuk informasi lebih lanjut.
Otoritas Hong Kong juga meminta warganya untuk membuang dan tidak mengonsumsi produk Indomie varian rasa Soto Banjar Limau Kulit dengan batch yang dimaksud.
Selain itu, produk yang didapatkan melalui pembelian daring atau perjalanan internasional tidak dapat dikecualikan.
Sementara itu, pihak CFS akan tetap waspada dan memantau setiap perkembangan baru serta mengambil tindakan yang tepat bila diperlukan.
Sebagai informasi, etilen oksida merupakan bahan kimia yang dapat menimbulkan efek samping berbahaya bagi kesehatan jika terpapar secara langsung. Banyak industri menggunakan etilen oksida untuk membuat produk baru. Namun, etilen oksida tidak diperuntukkan di sektor makanan atau minuman.
Reaksi BPOM
Taruna Ikrar Kepala BPOM mengatakan, pihaknya telah menerima informasi temuan Pemerintah Taiwan mengenai kandungan etilen oksida (EtO) pada produk mi instan Indomie Rasa Soto Banjar Limau Kulit yang diproduksi oleh Indofood.
Pihaknya juga telah menerima laporan dan penjelasan produsen bahwa produk yang ditemukan tidak memenuhi ketentuan di Taiwan.
“Produk tersebut bukan merupakan ekspor secara resmi dari produsen ke Taiwan,” katanya saat dilansir dari Antara, pada Jumat (12/9/2025).
Ia mengatakan, ekspor produk diduga dilakukan oleh trader dan bukan importir resmi dari produsen serta diekspor tanpa sepengetahuan produsen.
Saat ini, ia mengatakan bahwa produsen sedang melakukan penelusuran bahan baku yang digunakan serta penyebab terjadinya temuan, dan hasil penelusuran akan dilaporkan segera kepada BPOM.
Adapun temuan tersebut, lanjut dia, karena Taiwan menerapkan kadar EtO total harus tidak terdeteksi dalam produk pangan.
Menurutnya, standar itu berbeda dengan standar beberapa negara lain termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Indonesia yang memisahkan batasan syarat untuk EtO dengan kloroetanol (2-CE) sebagai analitnya dan bukan sebagai batasan EtO total.
Ia menjelaskan, sampai saat ini Codex Allimentarius Commission (CAC) sebagai organisasi internasional di bawah WHO dan FAO belum mengatur batas maksimal residu EtO.
“Berdasarkan hasil penelusuran pada data registrasi BPOM, produk dengan varian tersebut telah memiliki izin edar BPOM sehingga dapat beredar di Indonesia dan tetap dapat dikonsumsi,” ujarnya.
Pihaknya juga mengimbau masyarakat untuk bijak dalam menyikapi informasi tersebut, namun mengharapkan masyarakat tetap cerdas sebagai konsumen dan selalu menerapkan Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau mengonsumsi produk pangan olahan.
“BPOM juga mengimbau masyarakat untuk membaca informasi nilai gizi dan takaran saji pangan olahan yang tercantum pada kemasan,” pungkasnya.***