Penulis: Jacobus E Lato | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Pernyataan soal wajah orang Indonesia yang dinilai sulit tampak cerah atau glowing karena terlalu banyak pikiran belakangan ini memicu diskusi publik.
Selama ini, wajah cerah memang sering dikaitkan dengan perawatan kulit atau faktor genetik. Namun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan bahwa faktor utama justru berasal dari tekanan psikologis dan kualitas hidup yang belum merata.
Selama ini, wajah cerah memang sering dikaitkan dengan perawatan kulit atau faktor genetik. Namun Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menekankan bahwa faktor utama justru berasal dari tekanan psikologis dan kualitas hidup yang belum merata.
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN, Wihaji, pun angkat bicara merespons perdebatan tersebut.
Menurut Wihaji, kondisi psikologis memang memainkan peran penting dalam menentukan kesehatan, termasuk tampilan wajah seseorang. Namun ia menegaskan bahwa berpikir positif dan menjaga optimisme adalah kunci untuk menjaga kualitas hidup, termasuk penampilan.
“Kalau kita ini harus positive thinking, harus optimis. Indonesia ini baik-baik saja” ujar Wihaji dikutip CNN Indonesia, Minggu (27/7)
Stres dan Wajah Kumus-kumus
Hal senada disampaikan Sekretaris Utama BKKBN, Prof. Budi Setiyono, yang mengungkap bahwa tingginya tingkat stres dan tekanan hidup masyarakat Indonesia berdampak langsung pada tampilan wajah.
“Jangan salah, bukan hanya DNA. Kalau hidup seseorang selalu di bawah tekanan—finansial, pekerjaan, bahkan kebutuhan dasar—itu memicu produksi kortisol,” tutur Budi, yang juga pernah terlibat dalam program-program internasional bersama UNDP dan UNFPA, dikutip detikNews.
“Kenapa banyak warga negara maju tampak lebih charming, lebih glowing? Karena mereka tidak punya kekhawatiran yang berlebihan terhadap disrupsi kehidupan,” sambungnya.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan beban yang dihadapi warga Indonesia, banyak kekhawatiran terkait finansial dan keberlangsungan masa depan. Bahkan, untuk sekadar mencukupi kebutuhan dasar sehari-hari pun sulit.
Menurut Budi, hormon stres seperti kortisol dilepaskan tubuh saat seseorang menghadapi ancaman, kelaparan, atau ketidakpastian. Dan ketika hormon ini diproduksi berlebihan, maka wajah bisa tampak lebih kusam (kumus-kumus), tegang, dan tak bercahaya.
“Wajah orang Indonesia sehari-hari dipenuhi dengan kortisol. Itu kenapa banyak yang terlihat letih atau kusam,” bebernya.
Ia lebih jauh mencontohkan perbedaan antara wajah masyarakat Korea Selatan dan Korea Utara. Meski berasal dari etnis dan kultur yang sama, perbedaan tingkat kesejahteraan berdampak signifikan pada penampilan umum warga kedua negara.

Glowing karena sedikit stress
“Lebih enak dilihat Korea Selatan bukan karena oplas (operasi plastik), tapi karena kebutuhan dasar mereka sudah terpenuhi secara hukum dan sistem,” tegasnya.
Budi menekankan bahwa pemerintah saat ini sedang mengupayakan berbagai langkah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat. Program seperti Makan Bergizi Gratis, koperasi Merah Putih, dan sekolah rakyat adalah bagian dari strategi jangka panjang untuk mengurangi beban hidup masyarakat.
Namun ia mengakui bahwa belum banyak masyarakat yang memahami bahwa program-program tersebut bertujuan menurunkan tingkat stres populasi dan meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh.
“Kalau kita ingin wajah bangsa ini lebih cerah dan segar, maka hidup mereka harus dijamin di atas garis kesejahteraan,” pungkas Budi.***