Penulis: Jacobus E Lato | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, JAKARTA-Selama lebih dari enam dekade, hampir setiap hari – dari pagi hingga malam – Hajar Agil menerima tamu yang datang silih berganti. Ada yang datang ke rumahnya di Bedok, ada pula yang ia datangi langsung ke berbagai penjuru Singapura.
Hajar adalah terapis pijat perempuan, dan tujuan pekerjaannya hanya satu: “memperbaiki” kondisi tubuh klien dengan “magic hands” atau “tangan bertuah”-nya — begitu sang cucu, Farhanah Khailani, menyebutnya.
Kini di usia lebih dari 70 tahun, Hajar tetap menjadi sosok yang dicari banyak orang. Kliennya datang melalui jalur rekomendasi — dari tetangga, teman, temannya teman, hingga kerabat jauh.
Namun, Hajar tidak bekerja sendirian. Ia dibantu seluruh anggota keluarganya: Empat generasi ahli urut, termasuk putrinya Halijah Tahir dan cucunya Farhanah yang berusia 35 tahun.
Keluarga ini menerapkan pijat gaya Jawa dan Melayu. Farhanah ingat masa kecilnya, ketika ia kerap duduk di samping sang nenek dan menyaksikan langsung bagaimana ia bekerja. Kepada CNA, ia bercerita hal itu turut menyusun kenangan paling awal dalam ingatannya.
“Kami bantu orang agar merasa lebih baik. Baik (masalahnya) sakit leher, cedera bahu, atau perawatan sebelum dan sesudah melahirkan – macam-macam. Kami tahu pendekatan dan cara ‘memperbaiki’-nya,” ujarnya.
“Semua keluarga saya, termasuk bibi, paman, sepupu, keponakan, minimal tahu teknik dasar – seperti lahir di keluarga yang semuanya petugas pertolongan pertama.”
“Tentu saja kami juga tahu kapan kami tidak bisa ‘memperbaiki’ sesuatu,” tambahnya.
“Kalau masalahnya serius, misalnya cedera yang mengakibatkan kehilangan banyak darah, kami pasti menyarankan klien untuk pergi ke dokter,” ujarnya.
Farhanah belajar pijat dari Hajar, yang ia panggil dengan sebutan Baba. Sang nenek mengajarkan keterampilan ini kepada keempat anaknya, termasuk ibu Farhanah, Halijah, dan hampir semua cucunya.
Saat ini Farhanah menjalankan bisnis desain interior bersama suaminya. Namun, pijat tetap menjadi bagian yang sangat berarti dalam hidupnya. Menurutnya, memijat itu bukan sekadar hobi, melainkan juga warisan keluarga.
“Saya kira sayang sekali kalau saya tidak belajar urut,” ungkapnya. “Rasanya bakal seperti kehilangan sebagian dari sejarah keluarga saya. Ini adalah sesuatu yang kami semua miliki bersama, terutama yang perempuan, dan saya akan melakukan segala cara untuk melestarikannya.”

Nenek dari Farhanah, Hajar Agil, belajar pijat dari ibunya, Yang Salamah. Hajar kemudian meneruskan ilmu itu kepada anak-anak dan cucu-cucunya. (Foto: CNA/Izza Haziqah)
Warisan Keluarga
Hajar lahir pada tahun 1950-an. Ia masih mengingat jelas momen-momen yang ia saksikan ketika kecil. Ibunya, Yang Salamah, membantu orang-orang dengan memijat bagian tubuh yang nyeri atau terkilir.
Sering kali, Yang Salamah melayani warga di kampung mereka di Geylang. Namun, ada kalanya ia membawa Hajar ikut serta ke balai warga di Kampong Ubi, untuk membantu warga yang mengeluh sakit, entah karena bahu pegal atau karena jari yang keseleo.
“Banyak sekali orang di kampung kami, bahkan kampung tetangga, yang tahu tentang ‘magic hands’ ibu saya,” tutur Hajar kepada CNA.
“Saya ingat dulu sampai ada dua orang polisi yang bantu kami ambil air sumur dari Beach Road – waktu itu kami tidak punya air ledeng, jadi harus ambil dari sumur – karena ibu saya memijat tangan salah satu dari mereka setelah orangnya mengalami cedera.”
Terinspirasi oleh bagaimana ibunya bisa meredakan rasa sakit orang lain, Hajar pun memutuskan untuk belajar dari beliau.
“Saya melihat bagaimana ibu bisa membuat orang merasa lebih baik hanya dengan pijatan,” katanya. “Saya ingin bisa melakukan hal yang sama.”
Namun, awal belajar tidaklah mudah. Seorang terapis pijat harus bersedia menyentuh bagian-bagian tubuh klien sesuai kebutuhan, dan itu bisa membuat canggung atau tidak nyaman.
“Tidak boleh geli,” kata Hajar. ‘Geli’ dalam bahasa Melayu bisa berarti jijik atau risih.
Putrinya, Halijah, kini 54 tahun, mewakili ahli urut generasi ketiga dalam keluarga ini. Ia mengaku merasakan hal yang sama. Sejak kecil, ia sering menyaksikan ibu dan neneknya memijat orang, tetapi ia sendiri sempat merasa canggung.
“Saya merasa malu memijat orang lain,” kata Halijah.
“Melihat dan menyentuh tubuh orang sempat membuat saya agak risih. Walaupun sudah belajar dasar-dasarnya dari ibu saya, baru di usia dua puluhan saya mulai terbiasa dan menguasai macam-macam tekniknya secara menyeluruh.”
Halijah menikah di usia 19 tahun dan melahirkan anak pertamanya, Farhanah, setahun kemudian.
Di tengah transisi menjadi ibu muda dan lelah yang menyertainya, ia memutuskan menunda kembali ke pekerjaan di industri lepas pantai. Sebagai gantinya, ia mulai ikut ibunya dalam kunjungan pijat dari rumah ke rumah.
Lambat laun, Hajar mulai menyerahkan sebagian kliennya kepada Halijah. Saat Farhanah berusia tujuh tahun, Halijah telah menjadi ahli pijat khusus ibu hamil dan pascamelahirkan.
“Saya jadi benar-benar mahir,” ujarnya.
“Ibu-ibu, yang baru melahirkan, datang ke saya dan bilang mereka suka sekali pijatan saya – tubuh mereka terasa segar lagi. Saya berterima kasih kepada ibu dan nenek saya – mereka yang mengajari saya semuanya.”
Dari generasi ke generasi

Farhanah (kiri) dan ibunya sudah belajar pijat sejak usia dini. (Foto: CNA/Izza Haziqah)
Bagi Farhanah, pijat sudah menjadi bagian dari hidupnya sejak kecil. “Saya ingat merangkak di sekeliling Baba sewaktu dia mengurut kliennya,” kenangnya.
“Waktu masih bayi atau balita, saya memegangi kaki klien Baba saat dia memijati mereka, supaya mereka merasa lebih nyaman.”
Berbeda dengan ibunya, Farhanah tidak pernah merasa geli atau risih. Sejak usia praremaja, ia sudah merasa tertarik dan terpesona dengan keahlian tersebut.
Ketika usianya dirasa cukup, ia mulai membantu sang nenek melakukan berbagai hal, mulai dari mengambilkan minyak urut khusus, mencatat jadwal klien di buku catatan keluarga, hingga menyiapkan kasur di rumah klien sebelum sesi pijat dimulai.
Di penghujung usia remaja, Farhanah sudah sering memijat tangan, kaki, atau bahu teman-temannya saat mereka mengeluhkan sakit kepala atau otot tegang.
Di usia 20 tahun, ibu dan neneknya mulai menyerahkan sebagian klien kepadanya. Bukan hanya untuk latihan, tetapi karena jumlah permintaan semakin meningkat dan Hajar, Halijah, serta semua tante dan paman Farhanah sudah kewalahan.
“Setiap hari, bahkan di usia saya sekarang, masih banyak klien yang datang,” kata Hajar.
“Saya tidak tega menolak siapa pun, jadi tetap saya terima. Tapi bukan saya yang mengurusi mereka; saya minta anak-anak atau cucu-cucu saya yang melakukannya.”
Ada hari-hari ketika klien memadati apartemen Hajar, meminta diurut untuk masalah keseleo atau cedera ringan lainnya. Bahkan, saat Farhanah masih kecil dan tinggal bersama ibunya dan Hajar, pernah ada orang yang mengetuk pintu mereka pukul 3 pagi karena butuh dipijat akibat cedera.
“Kadang bikin stres dan melelahkan, tapi Baba tidak pernah menolak siapa pun,” ujar Farhanah.
“Momen-momen seperti itu membuat saya sadar betapa dia menghargai anugerah yang dia miliki – ‘tangan bertuah’ yang diwariskan dari nenek buyut saya.”
“Tidak selalu mudah berurusan dengan orang dan rasa sakit, tapi melihat cara ibu, bibi, dan Baba saya menangani situasi itu membuat saya sadar, ini berkah luar biasa bisa membantu orang lain dan jadi bagian dari keluarga yang begitu berempati kepada semua orang.”
“Kapan pun saya bisa meringankan beban ibu atau nenek saya, dengan senang hati saya lakukan. Saya terima siapa pun yang mereka percayakan kepada saya,” tambahnya.
Sebagai terapis pijat generasi keempat, Farhanah merasa bangga meneruskan apa yang dimulai oleh almarhumah buyutnya – meskipun ia sendiri tidak punya anak perempuan.
“Saya dikaruniai dua anak laki-laki, usia 9 dan 13 tahun,” ujarnya.
“Memang beda rasanya dibanding punya anak perempuan yang bisa belajar dari saya seperti saya dulu belajar dari ibu dan Baba. Tapi meskipun mereka laki-laki, bukan berarti mereka tidak bisa belajar praktiknya.”
Ini berkah luar biasa bisa membantu orang lain dan jadi bagian dari keluarga yang begitu berempati kepada semua orang.”
Para laki-laki dalam keluarga Farhanah – termasuk satu mendiang pamannya dan para sepupu laki-laki – juga diajarkan teknik pijat dasar. Jika ada klien laki-laki, Hajar meminta putra-putranya yang menangani.
Putra sulung Farhanah bahkan sudah menunjukkan minat sejak dini. “Dia sering ikut saya bertemu klien. Meskipun tidak selalu bisa ikut duduk bersama mereka seperti saya dulu bersama Baba, dia tetap dapat gambaran apa yang harus dilakukan,” ujar Farhanah.
“Saya libatkan dia untuk kasus-kasus ringan, seperti memijat kepala, leher, bahu, atau tangan.”
Hajar mengaku merasa senang dan bangga melihat anak, cucu, bahkan cicitnya tidak hanya tertarik meneruskan tradisi keluarga, tetapi juga memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikannya.
“Untuk urusan urut, kita tetap harus ikhlas,” ujarnya.
“Saya percaya Tuhan menganugerahkan kemampuan ini kepada ibu saya untuk membantu sesama – saat mereka cedera, kesakitan, atau butuh pemulihan. Saya bersyukur tradisi ini bisa diteruskan. Saya berdoa agar tetap lestari selama mungkin.”***