Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, KEDIRI-Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda secara resmi memulai perang dengan Aceh, namun hingga beberapa waktu lamanya, mereka belum bisa menembus pertahanan Aceh yang kuat.
Hanya pos koloni di Peunayong saja yang bisa mereka bangun di wilayah tersebut.
Buku Tjerita-Tjerita dari Atjeh buah tangan JP Shoemaker, yang ikuti Van Swieten dalam invasi Aceh, halaman 34 – 48 mengisahkan, bahwa pada tanggal 21 Desember 1873, Belanda telah membangun sebuah bivak di Peunayong dengan tujuan menguasai hulu Krueng Aceh sehingga kapal-kapal pengangkut barang tidak bisa lewat.
Hal ini dilakukan agar para saudagar Aceh dapat memaksa Sultan Aceh untuk bekerja sama dengan Belanda, dan agar blokade sungai di kawasan Peunayong itu bisa dibuka sehingga mereka bisa melakukan ekspor-impor barang ke luar negeri.
Namun, anggapan Van Swieten meleset.
Sultan Aceh kemudian justru memerintahkan rakyat untuk membangun benteng di seberang sungai di kawasan Peulanggahan dan Keudah.
Jenderal Van Swieten akhirnya ciut. Pasukan Belanda di bivak Peunayong tak bisa memperluas wilayah koloninya. Serdadu Belanda, baik dari kalangan pribumi yang dibawa dari Jawa, maupun serdadu Eropa yang berjalan di luar bivak, sering hilang dan mayatnya tak pernah ditemukan.
Letnan Shoemaker menyebutnya dengan istilah bahwa serdadu-serdadu itu sudah “ditubruk orang Aceh”.
Pada tanggal 1 September 1873, Jenderal Van Swieten menulis surat kepada Sultan Alaidin Mahmudsyah dari Kerajaan Aceh.
Dalam surat tersebut, Jenderal Belanda tersebut menyatakan bahwa pasukan kompeni tidak dapat dikalahkan, sehingga Sultan Aceh diminta untuk berdamai dengan Belanda.

Mas Ngabehi Soemo Dirdjo./Kekunoan
Jenderal Van Swieten juga meminta Raja Aceh untuk tidak mendengarkan nasihat orang-orang di sekelilingnya yang hanya ingin berperang, tetapi harus mempertimbangkan kepentingan ekonomi jika berdamai dengan Belanda dan menghindari perang. “Jikalau Tuan mau bersahabat, lekas kirim pesuruh (utusan) tuan untuk kita dengar kehendaknya,” tulis Jenderal Van Swieten, demikian dinukil dari Kekunoan.
Jenderal Van Swieten, Gubernur Militer Belanda, menyuruh penguasa Aceh mengirim utusan bukan tanpa sebab. Ia sendiri telah berulang kali mengirim kurir kepada Sultan Aceh, meminta bekerja sama dengan Belanda, namun semua usahanya selalu gagal. Belanda menduga bahwa kurir mereka telah dibunuh sebelum sampai ke pusat kerajaan Aceh.
Van Swieten menyadari bahwa perang melawan Aceh bukanlah perkara mudah. Pada invasi pertama saja, mereka sudah merasakan kekuatan Aceh yang mematikan. Bahkan Panglima Perang Belanda, Jenderal JHR Kohler, telah tewas ditembak sniper Aceh di halaman Masjid Raya Baiturrahman. Akibatnya, semua pasukan Belanda dipulangkan ke Batavia.
Namun, Van Swieten tidak ingin mengulangi kesalahan Kohler. Ia bertekad menyelamatkan muka Pemerintah Hindia Belanda yang telah memproklamirkan perang dengan Aceh. Ia harus menjalankan invasi kedua ke Aceh kali ini dengan lebih hati-hati.
Jenderal Van Swieten juga menekankan bahwa jika perang terjadi, serdadu Belanda yang tertangkap tidak boleh dibunuh, tetapi harus dipelihara dengan baik sebagai tawanan perang. Ini karena pengalaman sebelumnya, banyak serdadu Belanda yang patroli di luar wilayah koloni hilang dan dibunuh oleh orang Aceh. Namun, Jenderal Van Swieten juga mengancam akan membunuh penduduk Aceh, pria dan wanita, serta anak-anak jika serdadu Belanda terus diserang dan dibunuh.
Surat awalnya akan dikirim melalui seorang Uleebalang di wilayah Mukim XXV bernama Radja Moeda Setia, yang sudah bersahabat dengan Belanda. Namun, uleebalang tersebut tidak berani karena takut dibunuh seperti pengantar surat sebelumnya.
Kapten Vervloet mengajukan diri sebagai kurir pengantar surat itu kepada Raja Aceh, tetapi Jenderal Van Swieten menolak karena mungkin ia tidak ingin perwiranya mati di tangan orang Aceh. Seorang pembantunya yang bernama Mas Soema Widikdjo yang berusia 70 tahun dan sudah lama mengikuti Jenderal Van Swieten di berbagai daerah, seperti di Bali, Bone, dan Aceh, akhirnya dipilih sebagai pengantar surat tersebut. Ia beranggapan bahwa orang Aceh tidak akan membunuh pria tua pengantar suratnya.
Ia salah besar.
Mas Soema Widikdjo dan empat orang pengawalnya membawa surat itu pada tanggal 22 Desember 1873.
Namun, mereka dibunuh sebelum sampai ke raja Aceh.
Mata-mata yang mengikuti mereka melaporkan bahwa mereka disiksa dengan sadis sebelum dibunuh.
Mas Soemo Widikdjo wafat dibunuh secara keji saat Natal 1873 di Kampung Batok, Longbattah, sekitar markas pertahanan Panglima Polim, saat dilucuti ketika mengantar ulang surat perdamaian komandannya kepada Sultan Aladin Machmoed Shah di istana Besar Aceh dalam Perang Aceh. (Nederlands heldenfeiten in Oost-Indië, 1876).
Mas Ngabehi Soemo Dirdjo mempunyai rekam jejak sebagai hoofd-djaksa di Kediri sejak 26 April 1854 (RA 1869). Setelah 15 tahun bertugas, pada 22 Agustus 1869 diangkat menjadi Patih di Regentschap/Kabupaten Blitar.***