Penulis: Wibisono | Editor: Priyo Suwarno
KREDONEWS.COM, JOMBANG- Ratusan warga keturunan Tionghoa dari perkumpulan sosial Boen Hiang Tong (Rasa Dharma) berbagai daerah, termasuk Semarang, menggelar tradisi ziarah kubur atau ritual Chingbing (ziarah) pertama kali di makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terletak di kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, Sabtu 31 Mei 2025.

Acara ziarah kubur atau tradisi Chingbiing (ziarah) di makam Gus Dur di Jombang dipimpin oleh tokoh-tokoh dari berbagai agama secara bergantian, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Buddha, dan Khong Hu Cu, yang memimpin doa bersama di tengah ratusan peziarah yang hadir.
Asrida Ulinnuha, seorang panitia Cengebeng, mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak Tionghoa, “Maka kami, semua warga dari Semarang bersepakat untuk melakukan ziarah,” katanya seperti video yang diunggah akun Instagram@jombanginformasi_, Sabtu 31 Mei 2025.

Salah satu acara ritual chingbing dengan membawa sapu membersihkan jalur untuk menuju ke makam. Tangkap layar video Instagram@jombanginformasi_
Dia menambahkan bahwa Gus Dur adalah Bapak Tionghoa, “Tanpa ada kebijaksaan Beliau, kami sekarang bisa melaksanakan aktivitas budaya, termasuk Chingbing,” kata dia.
Chngbing ini, kata Asrida, merupakan pertama kalinya dilakukan oleh perkumpulan Boen Hiang Tong dari Semarang. Perkumpulan sosial budaya Rasa Dharma, organisasi sosial budaya peranakan Tionghoa tertua di Semarang dan bahkan mungkin di Indonesia yang masih aktif hingga saat ini.
Perkumpulan ini didirikan pada 9 Februari 1876 di Semarang oleh tokoh-tokoh Tionghoa seperti Luitenant de Chinezen Tan Ing Tjong dan beberapa pendiri lainnya. Boen Hiang Tong bermarkas di Gedung Rasa Dharma, Jalan Gang Pinggir Nomor 31-31A, Semarang.
Nama Boen Hiang Tong berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti “rumah atau perkumpulan untuk berkesenian,” di mana “Boen” berarti budaya atau kesenian, “Hian” berarti keindahan, dan “Tong” berarti rumah.

Peziarah memangul dampar kayu, sebagai bagian penghormatan untuk leluhur, dalam acara chingbing di makam mendiang Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahis alias Gus Dur. Tangkap layar video Instagram@jombanginformasi_
Awalnya, perkumpulan ini berfokus pada pengembangan seni tetabuan Tionghoa, seperti musik Lam Kwan yang rutin dimainkan setiap tanggal 1 dan 15 Imlek. Seiring waktu, Boen Hiang Tong berkembang menjadi perkumpulan sosial budaya yang juga aktif dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk pelayanan kematian dan pelestarian budaya.
Gedung Rasa Dharma juga menjadi tempat akulturasi budaya dan pelestarian seni, termasuk gamelan yang berusia lebih dari 100 tahun yang menjadi bagian dari warisan budaya perkumpulan ini. Selain itu, Boen Hiang Tong aktif menggelar acara seni dan budaya, memperkenalkan tradisi kepada generasi muda, serta berkolaborasi dengan organisasi lain dalam isu pluralisme dan keberagaman.
Perkumpulan ini terbuka untuk siapa saja, termasuk anggota dari etnis lain dan agama berbeda, menandakan semangat inklusif dan toleransi yang dijunjung tinggi oleh Boen Hiang Tong.

Para peziarah memasuki area makam KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, di kawasan pondok pessantern Tebu Ireng, Jombang. Tangkap layar video Instagram@jombanginformasi_
Pada peringatan hari jadinya, seperti HUT ke-149 pada tahun 2025, acara diisi dengan simbol-simbol keberagaman dan budaya Tionghoa, seperti pemotongan tumpeng nasi ulam bunga telang dan perayaan Cap Go Meh.
Perkumpulan Boen Hiang Tong adalah sebuah lembaga sosial budaya bersejarah yang berperan penting dalam pelestarian budaya Tionghoa di Semarang, sekaligus menjadi simbol keberagaman dan toleransi di masyarakat setempat
Secara khusus, tokoh Tionghoa dari Semarang, Harianto (Haryanto) Halim, yang juga ketua perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma) Semarang, berperan penting dalam penyelenggaraan acara ini. Ia bersama Toni Harsono, ketua klenteng Gudo, ikut hadir dan menyatakan niat untuk menjadikan tradisi ini sebagai ritual tahunan untuk mengenalkan Gus Dur kepada generasi muda Tionghoa.
Jadi, acara ini dipimpin secara kolektif oleh para tokoh lintas agama dan tokoh masyarakat Tionghoa seperti Harianto Halim dan Toni Harsono yang memfasilitasi dan mengorganisasi jalannya tradisi tersebut.
Acara ini berlangsung khidmat dan diikuti oleh warga dari Semarang, Surabaya, Jombang, dan sekitarnya. Dalam ritual tersebut, para peserta membawa altar dan papan arwah bertuliskan nama Gus Dur yang digotong bersama sambil diiringi musik tradisional Tionghoa seperti tambur, gong, dan simbal.
Mereka juga melakukan pembersihan makam dan doa bersama sebagai bentuk penghormatan kepada Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan pluralisme dan keberagaman di Indonesia.
Kegiatan ini sudah menjadi tradisi yang dilakukan minimal dua kali, dengan warga Tionghoa menempatkan papan arwah Gus Dur di meja leluhur mereka sebagai penghormatan atas jasanya dalam menyatukan keberagaman.
Makam Gus Dur sekarang ini menjadi destinasi wisata religi yang populer, tidak hanya bagi umat Muslim tetapi juga berbagai kalangan masyarakat, termasuk warga keturunan Tionghoa.
Makam ini berada di kompleks Pesantren Tebuireng yang juga menjadi pusat pendidikan dan dakwah Islam serta tempat peristirahatan terakhir Gus Dur, Presiden ke-4 RI. **