Oleh: Wibisono
HARI anti korupsi sedunia yang diperingati setiap taggal 9 Desember adalah momen penting untuk merefleksikan dan memperkuat komitmen kita dalam memerangi korupsi. Momen penting ini jangan hanya dijadikan seremonial tahunan dan retorika semata tanpa ada semangat pemberantasan.

Hari anti korupsi bukan sekedar untuk diingat, tetapi merupakan panggilan untuk bergerak dan bertindak dengan membangun kolaborasi antara 3 pilar negara yakni Yudikatif, Legislatif dan Eksekutif. Kegagalan kolektif di beberapa level Aparat Penegak Hukum (APH) dalam menegakkan hukum yang bebas nilai adalah bentuk ketidakseriusan kolaborasi.
Adalah menarik menyimak pidato perdana Prabowo Subianto usai dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden Republik Indonesia ke-8. Beberapa hal penting yang disampaikan adalah mengenai pemberantasan korupsi, judi online, penyelundupan dan narkoba.
Tekad dan komitmen Presiden Prabowo Subianto terhadap program pemberantasan korupsi hendaknya tidak dijadikan ‘guyonan’ para penegak hukum. Karena, hanya orang-orang yang faham dan mengerti hukumlah yang bisa menyiasati dan mencari celah untuk melanggar hukum!
Konflik kepentingan –baik pada individu maupun lembaga– sangat dominan melatari. Tidak sedikit contoh kasus korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum sendiri tidak pernah ditangani secara serius. Ujungnya, tiba-tiba lenyap atau demi menggugurkan kewajiban formal kasus berhenti pada tahapan pemeriksaan internal, tahapan prematur.
ADALAH ironis jika apparat penegak hukum hendak membersihkan sampah dan bau bangkai yang merebak di tengah masyarakat jika di lembaga-lembaga peradilan dan instansi penegak hukum bau sampah dan bangkai lebih menyengat. Ini adalah sebuah paradok!
Bau bangkai tanpa terlihat mayat, adalah istilah yang pantas ketika kolaborasi nyata-nyata menjelma menjadi konspirasi jahat. Karenanya, kekompakan kolaborasi 3 pilar negara harus tetap dipelihara dan dijaga dalam komitmen pemberantasan korupsi.
Sudah terlalu banyak bagaimana para oknum yang katanya aparat penegak hukum mengocok dan memperdagangkan pasal-pasal. Hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas sudah menjadi candaan anak-anak di warung kopi dan angkringan.
Jika Masyarakat sudah menjadi apatis dan apriori atas perilaku para oknum penegak hukum adalah sesuatu yang wajar. Oleh karena itu, hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah bagaimana apparat penegak hukum membersihkan tangannya dari kotoran yang sudah begitu mengerak di tangannya.
Ada pemeo, “Tangan yang kotor tidak bisa membersihkan apapun!”
Tidak jarang peristiwa korupsi terjadi lantaran ada persekongkolan yang dilakukan oleh ke 3 pilar kekuasaan negara dengan membangun orkestrasi, dimana mereka berperan sebagai pelaku korupsi. Sungguh ironis!
Bila hal tersebut dibiarkan, maka dapat menciptakan siklus korupsi yang sulit dihentikan. Lantas, siapakah yang bisa menghentikan ‘konspirasi mewah’ seperti itu?
Korupsi tidak hanya merugikan secara finansial bagi negara, tapi fenomena korupsi yang masif juga membuat aprioritas yang tinggi masyarakat kepada penegakan hukum.
Barikade aparat berintegritas adalah pagar kokoh negara yang bisa menjadi andalan untuk menghadang fenomena kejahatan kerah putih yang pergerakannya sangat sistemik, meskipun modus operandinya sebenarnya sangat klasik.
Marilah kita jadikan Indonesia dalam membangun masa depan sebagai Negara yang bersih dari berbagai bentuk korupsi, Indonesia yang sejahtera bukan sengsara.
Ini bukan sebagai mimpi atau kemustahilan tapi sebagai kenyataan yang berwujud.
Sebaliknya kemustahilan akan terwujud dan akan selalu hadir bila kita tidak yakin dalam berjuang. Dan, apakah pemberantasan korupsi adalah sebuah keniscayaan?