Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM- SURABAYA-Nawal El Saadawi dikenal sebagai penulis, dokter, psikiater, sekaligus aktivis feminis berpengaruh dari Mesir. Karya-karyanya, baik fiksi maupun nonfiksi, menjadi rujukan penting bagi mahasiswa dan aktivis di berbagai belahan dunia.
Novel terkenalnya Perempuan di Titik Nol lahir dari kisah nyata seorang narapidana perempuan yang ditemuinya di penjara. Sementara itu, buku Woman and Sex (1972) sempat dilarang di Mesir selama dua dekade karena dianggap terlalu kontroversial.
Dalam forum internasional, Nawal kerap melontarkan kritik tajam terhadap politik global. Ia menegaskan, “Tidak ada demokrasi di dunia.” Pengalaman dua puluh tahun tinggal di Amerika justru memperkuat pandangannya bahwa sistem politik negara besar tidak benar-benar demokratis. Ia berkata, “Bill Clinton tidak dikeluarkan dengan demokratis. Obama tidak dikeluarkan dengan demokratis. Donald Trump tidak dikeluarkan dengan demokratis.”
Bagi Nawal, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa politik lebih sering digerakkan oleh kepentingan ekonomi dan elite, bukan suara rakyat.
Di Mesir, kritiknya tak kalah keras. Ia mempertanyakan pergantian kekuasaan dengan bertanya, “Anda pikir bahwa Morsi dikeluarkan dengan demokratis?” Menurutnya, campur tangan asing, dukungan finansial, dan keberpihakan politik internasional berperan besar dalam perubahan kepemimpinan di negaranya. Ia bahkan menyinggung keterlibatan tokoh Barat sebagai bukti adanya kepentingan eksternal.
Sebagai latar, Mohamed Morsi adalah presiden kelima Mesir (2012–2013) yang terpilih setelah Revolusi 2011 menggulingkan Hosni Mubarak. Ia mewakili Partai Kebebasan dan Keadilan yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Pada Juni 2013, demonstrasi massal menuntut pengundurannya berujung pada kudeta militer oleh Jenderal Abdel Fattah el-Sisi. Konstitusi ditangguhkan, Morsi ditangkap, dan kemudian menjalani tahanan hingga wafat pada 17 Juni 2019 akibat serangan jantung di pengadilan Kairo.
Lebih jauh, Nawal menilai kekuatan kolonial dan imperialis cenderung mendukung kelompok berbasis agama karena dianggap mampu mencegah lahirnya pemerintahan revolusioner. Baginya, selama kapitalisme, imperialisme, patriarki, dan otoritas religius masih berkuasa, kebebasan sejati sulit tercapai.
Pada akhirnya, ia menutup pandangannya dengan pernyataan tegas: “Demokrasi adalah ilusi.” Menurut Nawal, demokrasi sejati hanya mungkin tumbuh ketika pengaruh kapitalisme, imperialisme, dan kontrol religius dihapuskan. Baginya, “Demokrasi adalah kebebasan yang benar. Kebebasan.”
Melalui kritik konsisten dan keberanian intelektualnya, Nawal El Saadawi dikenang sebagai sosok yang menantang struktur kekuasaan, baik nasional maupun global. Pemikirannya tetap menjadi referensi penting dalam diskusi feminisme, politik, dan keadilan sosial.






