Terjemahan dari artikel asli: The Houthi Sudan Nexus Grows
Oleh Fernando Carvajal*

Sebuah kapal container bermuatan kargo di Port Sudan. Foto/Shutterstock
Faksi Houthi di Yaman dan Dewan Kedaulatan Pemerintahan Transisi Sudan terus memperkuat hubungan mereka. Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, Ketua dewan pemerintahan transissi sekaligus pemimpin de facto Sudan pun memperluas hubungan negeranya dengan para pemberontak Yaman jauh melampaui perdagangan senjata sebelumnya. Ia pun kini tawarkan Port Sudan sebagai jalur penyelamat bagi Houthi untuk mengangkut minyak dan bahan bakar.
Pada Oktober 2025, para pengamat memperdebatkan data yang menunjukkan kapal tanker minyak berangkat dari Port Sudan menuju pelabuhan Hodeidah yang dikuasai Houthi, yang dapat dikatakan menyebabkan Burhan terlibat membantu Organisasi Teroris Asing (Foreign Terrorist Organization—FTO) yang ditetapkan AS.
Padahal, selama enam bulan terakhir, AS dan Israel menggempur Houthi. Serangan udara AS berusaha melumpuhkan kemampuan drone dan rudal Houthi. Sementara Israel menyasar para pemimpin Houthi di Sana’a.
Serangan Israel sebagian besar menghancurkan Pelabuhan Hodeidah, pelabuhan terbesar Yaman. Termasuk terminal minyaknya di Ras Issa dan silo gandumnya di Salif.
Houthi menderita kerugian yang parah. Industri minyak dan bahan bakarnya tak lagi mampu menyediakan pendapatan yang mereka butuhkan untuk melanjutkan perang. Apalagi, Amerika Serikat memperluas sanksinya. Terutama terhadap kolaborator Houthi.
Menurut Wakil Menteri Keuangan AS, kerja sama Houthi-Sudan menyebabkan “Faksi Houthi mendapat untung besar dari impor produk minyak bumi dan memungkinkannya mendapatkan akses kepada sistem keuangan internasional.”
Ketika Houthi mengancam hendak meningkatkan konflik melawan Israel dan negara-negara tetangga Yaman, Theodore Karasik, seorang peneliti non-residen di Jamestown Foundation, mengatakan bahwa elemen-elemen di Port Sudan tampaknya mendukung “jaringan maritim yang melibatkan Houthi dan mitra dagang mereka dari Sudan.”
Sementara itu, menurut Departemen Keuangan AS, jaringan itu melibatkan pedagang Yaman yang menggunakan pelabuhan dan metode bongkar muat yang sudah “disepakati dengan pihak Houthi untuk mengimpor gas dan minyak, termasuk produk minyak bumi Iran.”
Iran tampaknya menjadi sumber sebagian besar minyak yang dikirim kepada Houthi. Laporan menunjukkan bahwa Houthi menerima “produk minyak bumi Iran senilai sekitar $12 juta dolar” atau setara Rp 200 miliar dari ” Persian Gulf Petrochemical Industry Commercial Company yang dikirimkan melalui pelabuhan Ras Isa” paling lambat Juli lalu.
Analisis data pelacakan kapal terbaru oleh pengamat seperti Guled Ahmed, seorang akademisi di Middle East Institute, menunjukkan betapa “aliansi Houthi-Sudan yang ditempa diam-diam pada akhir 2024 kini muncul terdorong oleh oportunisme bersama.” Hal itu terjadi karena perkembangan yang ada memperlihatkan bagaimana “Khartoum diam-diam mengizinkan minyak mentah Sudan Selatan dijual kembali minyak mentah kepada Houthi.”
Ahmed setuju bahwa Sudan menawarkan “koridor belakang baru untuk penyelundupan minyak dan senjata Iran.” Tidak hanya untuk Houthi, tetapi juga Tanduk Afrika setelah aksi militer AS, Israel, dan multinasional.
Ia karena itu memperingatkan bahwa “kemitraan ini bukan sekadar taktis, melainkan kelahiran poros Laut Merah yang nyaman. “Proksi-proksi Iran memperluas pengaruh di Tanduk Afrika,” melemahkan kekuatan regional dan “membentuk kembali tatanan energi dan keamanan regional melalui jaringan-jaringan terlarang.”
Beberapa pihak mempertanyakan analisis pergerakan kapal dari Port Sudan menuju Pelabuhan Hodaidah, dengan menunjukkan dampak “pengacakan GPS” di wilayah itu. Tetapi pelacakan kapal lebih lanjut dapat mengungkapkan pelabuhan-pelabuhan tempat kapal berlabuh dan rute yang diambil setelah mereka berangkat dari wilayah seperti Port Sudan.
Karasik menunjuk pada “perdagangan minyak bermutu rendah (low-level) yang sedang berlangsung yang melibatkan kapal curah plus kapal tanker kimia dan LNG … ketika GPS-nya kacau balau ” yang memungkinkan aktor seperti penyelundup Houthi mengelabui teknologi pelacakan sehingga bisa mencapai tujuan mereka.
Para pembuat kebijakan AS perlu memperhatikan hal ini. Sebagaimana kebakaran hutan yang hanya sebagian dikendalikan akan kembali meluas kobaran apinya, demikian pula Houthi akan meluaskan pengaruh dan kekuatannya jika Gedung Putih yakin dapat mencapai kesepakatan terpisah dan mengabaikan masalah tersebut.
Kegagalan membasmi Houthi memungkinkan mereka untuk bangkit kembali dan berkembang. Dengan demikian, pengaruh mereka, yang dapat diukur dari aliran senjata dan pendapatan, kini meluas di Afrika Timur dan Jazirah Arab.
Ancaman terhadap kebebasan navigasi juga akan meningkat. Soalnya, Houthi sudah menguasai pesisir Laut Merah Yaman sementara Angkatan Bersenjata Sudan yang berkolaborasi dengannya berada di pesisir barat Laut Merah.
- Fernando Carvajal, adalah Direktur Eksekutif The American Center for South Yemen Studies. Ia pernah menjadi menjadi anggota Dewan Pakar Dewan Keamanan PBB untuk Yaman, sejak April 2017 hingga Maret 2019 sebagai pakar kelompok bersenjata kawasan tersebut.










