Terjemahan dari artikel asli: The Ghost of Gaza: How Hamas Survived
Oleh Gregg Roman*
Pertukaran Sandera: Terwujudnya Bahaya Moral
Sebanyak 48 sandera Israel masih ditahan Hamas. Dua puluh sandera diyakini masih hidup dan 28 orang tewas. Merekalah aset strategis terakhir Hamas. Sekaligus titik lemah emosional Israel.
Pembebasan mereka dalam 72 jam setelah penarikan mundur Israel dari Gaza menjadi prestasi kemanusiaan paling langsung dari gencatan senjata. Sayangnya keputusan Israel ini membuatnya menghabiskan biaya strategis paling besar.
Israel bakal membebaskan 250 warga Palestina yang menjalani hukuman seumur hidup atas pelanggaran terkait terorisme. Di samping itu, Israel masih membebaskan sekitar 1.700 warga Palestina yang ditahan sejak 7 Oktober, termasuk perempuan dan anak-anak.
Ini pembebasan tahanan terbesar dalam sejarah Israel. Bahkan lebih besar dari Kesepakatan Shalit pada 2011 yang membebaskan 1.027 tahanan. Yang juga membebaskan Yahya Sinwar, dalang mengatur aksi pembantaian warga Israel 7 Oktober 2023.
Kalkulus moral yang dihadapi para pemimpin Israel sangat kejam. Mereka harus mempertimbangkan, “apakah menerima persyaratan Hamas dan memulangkan sandera, atau melanjutkan tekanan militer yang mungkin menyebabkan para sandera terbunuh tetapi menghindari pemberdayaan terorisme Hamas pada masa datang.”
Keluarga para sandera, yang berkumpul di Lapangan Sandera di Tel Aviv tentu saja, bersorak kegirangan mendengar pengumuman itu. Einav Zangauker, ibu dari sandera bernama Matan, mengaku: “Saya telah berdoa untuk air mata ini … Matan akan pulang!
Kekuatan emosional momen ini tak terbantahkan. Urgensi kemanusiaan untuk menyelamatkan nyawa sangatlah besar.
Tidak seorang pun pemimpin Israel yang dapat dengan mudah memberi tahu keluarga-keluarga ini bahwa orang yang mereka cintai harus tetap ditawan demi pertimbangan strategis.
Namun, pertukaran tahanan menjadi preseden baru. Ia justru praktis menjamin bahwa penyanderaan bakal terjadi lagi pada masa mendatang. Padahal, serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan 1.195 warga Israel dan menyandera 251 orang. Meski Israel meresponsnya dengan aksi militer sehingga menghancurkan Hamas selama dua tahun dan menewaskan para pemimpinnya, menghancurkan infrastruktur, dan membuat Hamas hanya menguasai 20-25 persen wilayahnya sebelum perang, Hamas berhasil menegosiasikan pembebasan 2.000 tahanan, termasuk 250 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup.
Dari perspektif Hamas dan organisasi teroris lain yang mengamati persoalan itu, rasio pertukaran ini memvalidasi bahwa penyanderaan adalah tindakan yang efektif secara strategis. Serangan masa datang akan memprioritaskan penangkapan warga Israel, mengingat jumlah sandera yang cukup bakal mendorong terjadinya negosiasi, terlepas dari keberhasilan militer Israel menghancurkan Hamas.
Pembebasan tahanan-tahanan tertentu memperkuat kekhawatiran ini. Meski Israel mengonfirmasi bahwa Marwan Barghouti—pemimpin Fatah yang menjalani lima hukuman seumur hidup dan calon pemimpin Palestina masa depan—tidak akan dibebaskan, 250 tahanan hukuman seumur hidup lainnya akan dibebaskan.
Mereka adalah orang-orang yang dihukum karena merencanakan atau melaksanakan serangan yang menewaskan warga Israel. Banyak yang punya keahlian teknis, pengalaman operasional dan komitmen ideologis yang menjadikan mereka aset berharga Hamas.
Beberapa dari mereka bakal langsung segera kembali kepada terorisme. Yang lain bakal melatih anggota baru Hamas, membangun kembali jaringan dan mentransfer pengetahuan. Pelajaran dari Kesepakatan Shalit 2011 bersifat instruktif: Yahya Sinwar yang dibebaskan dalam pertukaran itu, menjadi pemimpin Hamas di Gaza dan arsitek tragedi pembantaian terhadap warga Israel 7 Oktober 2023. Berapa banyak calon Sinwar yang termasuk dalam 250 orang saat ini?
Ada 1.700 warga Palestina ditahan sejak tragedi pembantaian warga Israel 7 Oktober 2023. Ketika dibebaskan, mereka seharusnya menjadi kekhawatiran tersendiri. Soalnya, mereka adalah pelaku aksi pembantaian 7 Oktober, operator Hamas yang ditangkap dan warga sipil yang terlibat dalam operasi militer.
Rencana Trump memang menawarkan amnesti kepada anggota Hamas yang berkomitmen untuk hidup berdampingan secara damai dengan Israel dan menonaktifkan senjata sehingga bisa aman pergi ke negara penerima mereka yang ingin meninggalkan Gaza.
Asumsinya, para anggota Hamas bakal sungguh-sungguh meninggalkan perjuangan mereka. Asumsi ini bertentangan dengan komitmen ideologis dan jaringan keluarga/sosial pengikat mereka untuk terus melanjutkan perlawanan. Soalnya, sebagian besar tahanan yang dibebaskan akan tetap berada di Gaza atau Tepi Barat, tempat mereka bergabung kembali dengan jaringan Hamas atau membentuk jaringan baru.
Masa 72 jam pembebasan tahanan Hamas dan warga Gaza memberikan kerumitan tambahan. Penilaian intelijen Israel menunjukkan bahwa Hamas mungkin tidak mengetahui lokasi 7-15 sandera yang tewas, yang jasadnya mungkin terkubur di bawah reruntuhan bangunan berat di wilayah yang hancur akibat pemboman Israel.
Beberapa sandera ditahan oleh kelompok-kelompok yang tidak sepenuhnya dikendalikan Hamas, termasuk Jihad Islam dan faksi-faksi lain. Jika Hamas tidak membebaskan semua sandera dalam kurun waktu 72 jam, apakah Israel menganggap perjanjian tersebut dilanggar lalu melanjutkan operasi?
Rencana Trump tidak menyediakan mekanisme untuk mengatasi skenario ini. Atau, jika Israel menerima pengembalian sebagian sandera, apakah insentif yang Hamas dapatkan untuk menemukan sandera yang tersisa di kemudian hari?
Selama masa penyanderaan, Hamas melakukan manipulasi emosional; mereka merilis video sandera berjuang hidup dalam kondisi menyedihkan, yang sangat kekurangan gizi berikut penyiksaan psikologisnya. Cara itu berhasil menekan Israel untuk melakukan negosiasi. Teknik ini bagaimanapun akan direplikasi, diulang-ulang pada masa datang.
Organisasi teroris masa depan yang menyaksikan keberhasilan Hamas akan pahami bahwa melakukan penyanderaan dengan cara cukup kejam lalu merilis video yang mendokumentasikan penderitaan, sambil menunggu tekanan publik untuk memaksa pemerintah memberikan konsesi merupakan strategi yang terbukti berhasil.
Preseden ini menggeser taktik utama terorisme dari kekerasan langsung kepada penyanderaan berkelanjutan.
Pendekatan alternatifnya seharusnya dipergunakan adalah mempertahankan tekanan militer tanpa melakukan negosiasi untuk mendapatkan sandera. Pendekatan ini tampaknya sangat keras, tetapi mewakili logika pencegahan jangka panjang. Jika penyanderaan tetap terbukti kontraproduktif karena Israel merespons dengan operasi militer intensif yang membunuh para penyanderanya tanpa memberikan konsesi, kelompok-kelompok di masa depan akan menghindari taktik tersebut.
Operasi militer Sri Lanka melawan Macan Tamil terus berlanjut meskipun ada korban sipil dan tekanan internasional hingga organisasi tersebut hancur total. Pendekatan Rusia terhadap teroris Chechnya pelaku penyanderaan di Teater Dubrovka Moskow dan Sekolah Beslan melibatkan serangan militer yang menewaskan mereka sekaligus sandera, alih-alih negosiasi. Pendekatan ini mencegah penyanderaan terjadi pada masa mendatang karena ia menunjukkan bahwa upaya itu akan gagal.
Namun, masyarakat Israel tidak dapat mempertahankan kekejaman seperti itu mengingat akuntabilitas demokratis dan ikatan emosional antara mereka dan tentara. Pernyataan Forum Sandera dan Keluarga Hilang (Israel) bahwa “perjuangan kami belum berakhir—dan tidak akan berakhir—hingga sandera terakhir kembali” mencerminkan sentimen publik yang tidak dapat diabaikan oleh Pemerintah Israel selamanya.
Dorongan kemanusiaan ini mencerminkan kekuatan moral masyarakat Israel, tetapi menciptakan kerentanan strategis yang bisa dieksploitasi oleh organisasi teroris. Bahaya moral yang melekat dalam pertukaran ini yaitu menyelamatkan para sandera bisa mendorong terjadinya penyanderaan pada masa mendatang. Pendekatan ini bagaimanapun tidak dapat diselesaikan melalui kebijakan, tetapi justru sebaliknya mencerminkan ketegangan mendasar antara nilai-nilai demokrasi dan keharusan untuk menjalankan kontraterorisme (Bersambung).***
- Gregg Roman adalah Direktur Eksekutif Middle East Forum, AS. Ia dianggap sebagai satu dari 10 pemimpin muda Yahudi yang menginsipirasi masyarakat. Ia pernah menjadi penasehat politik Wakil Menlu Israel dan bekerja untuk Kementerian Pertahanan Israel. Selain berbicara dalam berbagai saluran televisi, tulisannya bermunculan dalam berbagai media papan atas dunia.











