Bagian Pertama
Oleh Gregg Roman*
Tanggal 10 Oktober 2025, pukul 01.20. Gencatan senjata mulai berlaku di Gaza. Keputusan politik itu mengakhiri konflik dua tahun yang dimulai dengan pembantaian yang Hamas lakukan terhadap warga Israel, 7 Oktober 2023. Kabinet Israel terpaksa menyetujuinya karena tekanan yang tidak pernah ada sebelumnya dari Presiden Donald Trump pada satu pihak dan krisis politik internal yang melandanya pada pihak lain.
Persoalan strategis pun bakal dihadapi Israel. Seperti soal negosiasi dengan teroris dari posisi menang yang belum tuntas, membebaskan militan yang tangguh dengan imbalan sandera, dan menerima janji demiliterisasi yang ambigu pada masa mendatang sebagai ganti kekalahan militer saat ini.
Apakah yang terjadi selanjutnya?
Tahap pertama perjanjian mengamanatkan penarikan taktis Israel dari Kota Gaza, pembebasan 48 sandera yang tersisa dalam waktu 72 jam, dan pertukaran 250 tahanan Palestina yang dijatuhi hukuman seumur hidup ditambah lagi 1.700 tahanan lainnya.
Tahap kedua, yang dijadwalkan untuk memulai negosiasi selama implementasi tahap pertama, konon membahas perlucutan senjata Hamas, penarikan penuh Israel, dan masa depan politik Gaza.
Setiap preseden historis menunjukkan bahwa Fase Dua akan bermasalah akibat kontradiksinya; Ia menempatkan Israel dalam posisi yang lebih buruk daripada sebelum gencatan senjata. Sementara itu, Hamas justru bisa membangun kembali kemampuannya dan mendeklarasikan kemenangan strategis.
Perjanjian ini punya kesalahan mendasar. Soalnya, dia memperlakukan Fase Satu dan Fase Dua sebagai komponen berurutan dari sebuah rencana terpadu. Padahal keduanya merupakan kerangka kerja yang tidak kompatibel yang dipaksakan.
Fase Satu berasumsi bahwa Hamas dapat menjadi mitra yang andal dalam pembebasan sandera dan transisi pemerintahan.
Fase Dua berasumsi bahwa Hamas dapat dipaksa untuk melucuti senjata dan tersisih dari dunia politik secara permanen.
Asumsi-asumsi ini tidak bisa sama-sama benar. Hamas justru mempertahankan kekuasaan dan legitimasi yang cukup untuk berperan sebagai otoritas pemerintahan yang mampu membebaskan sandera. Dia tidak akan pernah menyetujui pelucutan senjata menyeluruh. Dia mengklaim tidak terkalahkan —atau dikalahkan sedemikian rupa sehingga tidak memiliki kapasitas untuk memerintah, yang dalam hal ini mekanisme Fase Satu menjadi tidak dapat dijalankan.
Israel telah memilih pendekatan terburuk dari kedua pendekatan tersebut. Ia memberi legitimasi kepada Hamas melalui negosiasi, ketika dia tidak punya pengaruh untuk memaksa Hamas untuk patuh terhadap tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam perjanjian.
Kontradiksi Kerangka Kerja
Rencana 20 poin Presiden Trump yang diumumkan pada 29 September lalu merupakan diplomasi ambisius yang menangani berbagai dimensi secara bersamaan. Mulai dari persoalan pembebasan sandera, bantuan kemanusiaan, transisi pemerintahan, kerja sama keamanan regional, dan pembangunan ekonomi jangka panjang.
Dokumen tersebut jelas canggih. Namun, implementasinya tidak. Rencana itu mengamanatkan bahwa Hamas tidak boleh memiliki peran apa pun. Baik langsung maupun tidak langsung dalam pemerintahan Gaza di masa depan. Atau dalam bentuk apa pun.
Sementara pada saat yang sama rencana itu mewajibkan Hamas untuk membebaskan sandera, mengkoordinasikan penarikan pasukan, dan menerima penggantian secara teknokratis. Logika sirkuler ini berasumsi bahwa Hamas akan memfasilitasi pembubarannya sendiri.
Perhatikan soal ketentuan pelucutan senjata. Kerangka kerja Trump menuntut demiliterisasi total, dengan semua infrastruktur militer dihancurkan di bawah pengawasan internasional dan senjata ditempatkan secara permanen hingga tidak dapat digunakan.
Hamas memang menanggapi kesepakatan itu, pada 3 Oktober lalu. Organisasi teroris itu menerima pembebasan sandera dan transisi pemerintahan. Tetapi ia tidak menyebutkan pelucutan senjata.
Pejabat senior Hamas, Mousa Abu Marzouk, menyatakan secara eksplisit: “Kami akan menyerahkan senjata [kami] kepada Negara Palestina di masa depan. Siapa pun yang memerintah Gaza akan memegang senjata di tangannya.” Ketika ditantang bahwa Israel telah menghancurkan sebagian besar kemampuan Hamas, Abu Marzouk menjawab: “Jika Israel menghancurkan 90% kemampuan militer Hamas dan membunuh sebagian besar pejuang Qassam, seperti dikatakan Presiden Trump, maka senjata siapa yang akan kalian lucuti?”
Pertanyaan retoris ini mengungkapkan kontradiksi utama perjanjian itu sendiri. Jika Hamas telah dikalahkan secara militer sejauh yang diklaim, maka pelucutan senjata pun menjadi persoalan yang mubazir atau mustahil. Mubazir karena kemampuannya tidak ada lagi. Mustahil karena senjata yang terkubur di bawah reruntuhan atau terbagi-bagi di antara sel-sel yang terpisah.
Jika Hamas mempertahankan kemampuan militernya yang signifikan, maka ia punya daya tawar untuk menolak perlucutan senjata lalu menggunakan periode gencatan senjata itu untuk membangun kembali negaranya.
Bagaimanapun, ketentuan perlucutan senjata hanya ada di atas kertas tanpa mekanisme penegakan hukum di luar operasi militer berkelanjutan yang hanya bakal mengembalikan kedua belah pihak ke status quo sebelum gencatan senjata.
Transisi pemerintahan menghadirkan masalah serupa. Hamas diminta mundur dan digantikan oleh “komite teknokratis Palestina yang terdiri dari orang-orang Palestina yang punya kualifikasi dan pakar internasional” yang diawasi oleh “Dewan Perdamaian” yang diketuai oleh Trump dan beranggotakan Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair.
Hamas langsung menolak struktur ini. Abu Marzouk menyatakan: “Kami tidak akan pernah menerima siapa pun yang bukan orang Palestina untuk menguasai Palestina.” Ia secara khusus menolak Blair mengingat perannya dalam Perang Irak 2003.
Sementara itu, Otoritas Palestina (PA), yang konon diposisikan untuk mengambil alih kendali sambil menunggu reformasi politik, masih saja tetap lemah, korup dan sangat tidak populer. Presiden Abbas, 89 tahun, yang menjalani tahun kedua puluh dari masa jabatan empat tahunnya, menyebut anggota Hamas sebagai “anak anjing” namun pada saat yang sama, dia tidak memiliki kapasitas untuk memerintah wilayah yang mereka kuasai.
Urutan penarikan pasukan Israel memperkuat kontradiksi ini. Netanyahu berulang kali menekankan dalam wawancaranya pada 5 Oktober bahwa “Israel melakukan penarikan taktis dan tetap berada di Gaza.” Namun, pemimpin Hamas, Khalil al-Hayya, menuntut penarikan penuh dari Jalur Gaza dengan “jaminan nyata” bahwa perang berakhir secara permanen. Rencana Trump menyatakan penarikan akan “berdasarkan standar, tonggak, dan kerangka waktu yang disepakati terkait demiliterisasi.”
Bahasa ini tidak menyelesaikan apa pun karena demiliterisasi itu sendiri masih diperdebatkan. Israel tidak akan sepenuhnya menarik diri sampai Hamas melucuti senjatanya. Hamas sebaliknya tidak akan melucuti senjata sampai Israel sepenuhnya menarik diri. Ini bukanlah perbedaan sikap politik yang dapat dinegosiasikan. Sebaliknya, ia Adalah kontradiksi eksistensial yang tidak dapat diselesaikan dengan bahasa diplomatik apa pun.
Dimensi Milite: Misi yang Tidak Selesai
Operasi Gideon’s Chariots II Israel diluncurkan 15 September. Sebanyak 60.000 pasukan cadangan dan tiga divisi penuh dikerahkan. Operasi itu merupakan kampanye paling ambisius dalam perang itu. Berkaitan dengan perebutan sistematis Kota Gaza untuk memaksa Hamas menyerah tanpa syarat. Pada 1 Oktober, IDF berhasil merebut Koridor Netzarim, memisahkan Kota Gaza dari Gaza tengah sekaligus memisahkan kawasan utara dari selatan.
Menteri Pertahanan Israel Katz lalu mengumumkan bahwa Israel “memperketat pengepungan” di sekitar Kota Gaza serta memperingatkan bahwa itu adalah “kesempatan terakhir” bagi warga Gaza untuk mengungsi ke selatan. Orang-orang yang bertahan di Gaza akan diperlakukan sebagai “teroris dan pendukung teror.”
Logika militer ofensif tersebut masuk akal. Operasi itu memusatkan kekuatan yang luar biasa, mengisolasi kepemimpinan Hamas, menghancurkan infrastruktur yang tersisa, dan memaksa Hamas menyerah dari posisi dominan. Antara 27 September dan 3 Oktober, Israel menyerang lebih dari 300 target di seluruh Kota Gaza. Netanyahu mengklaim, “50 menara teror dirobohkan dalam dua hari.” Sekitar 1.250 bangunan hancur hingga 30 September. Tekanan militer mulai membuahkan hasil. Realitas perang ini menyebabkan Hamas menerima kerangka kerja Trump pada 3 Oktober.
Kemudian pada 4 Oktober, Netanyahu memerintahkan penghentian serangan menyusul seruan Trump secara publik agar Israel “segera menghentikan pengeboman Gaza.” IDF lalu beralih kepada “operasi pertahanan saja.” Artinya pasukan mempertahankan posisi tanpa maju atau mundur.
Keputusan ini, yang dibuat pada saat Israel berada di posisi puncak, merupakan titik balik kritis perang. Alih-alih menyelesaikan operasi dan bernegosiasi dari posisi dominasi absolut dengan kepemimpinan Hamas yang terisolasi dan infrastruktur yang hancur, Israel menerima gencatan senjata yang mempertahankan struktur organisasi Hamas dan memberikan ruang bernapas baginya untuk melakukan rekonstruksi.
Implikasi militernya meluas ke berbagai dimensi. Israel mengklaim telah menewaskan 17.000-23.000 militan Hamas, meskipun basis data intelijen Israel sendiri per Mei 2025 mengonfirmasi hanya 8.900 pejuang Hamas dan Jihad Islam yang disebutkan namanya tewas.
Meski mengalami kerugian personil, pihak intelijen AS memperkirakan Hamas merekrut sekitar 15.000 pejuang baru selama perang. IDF pada saat yang sama mengumumkan telah membubarkan 20 dari 24 batalyon Hamas. Pasukan Israel menguasai sekitar 75 persen wilayah Jalur Gaza. Dengan demikian, Hamas hanya memiliki kendali efektif atas 20-25 persen wilayah tersebut.
Angka statistik ini dapat diinterpretasikan secara berbeda. Tergantung perspektif masing-masing. Dari satu sudut pandang, kemampuan perang Hamas memang menurun dahsyat akibat terhapusnya kepemimpinan senior, hancurnya struktur komando, dan berkurangnya kendali teritorial menjadi seperempat wilayah Jalur Gaza.
Dari sudut pandang lain, Hamas justru menunjukkan daya tahannya yang luar biasa. Organisasi teroris yang dibiayai Qatar itu mampu merekrut pejuang sebanyak yang hilang, mempertahankan kohesi organisasi meskipun para pemimpinnya tewas, tetapi ia mampu memaksa Israel untuk menerima negosiasi meski dia hanya menguasai 20-25 persen wilayahnya sebelum perang.
Pertanyaannya bukanlah interpretasi mana yang akurat. Tetapi mana yang lebih penting secara strategis. Hamas yang terdegradasi tetap utuh sehingga terus bertempur pada hari lain merupakan keberhasilan strategis organisasi tersebut terlepas dari kerugian taktis yang dialaminya.
Pertimbangkan soal jaringan terowongan. Itu aset strategis Hamas paling berharga. Sekaligus infrastruktur yang memungkinkan terjadinya peristiwa 7 Oktober. Israel memang menghancurkan banyak pintu masuk dan terowongan, pemetaan komprehensif dan penghancuran seluruh jaringan. Tetapi, tetap saja, penghancuran itu belum tuntas ketika operasi dihentikan.
Perjanjian gencatan senjata mengamanatkan penghancuran terowongan di bawah pengawasan internasional, tetapi mekanisme penegakannya masih belum jelas.
Akankah pemantau internasional memiliki akses ke semua lokasi terowongan yang dicurigai? Akankah mereka memiliki keahlian teknis untuk memverifikasi penghancuran total?
Akankah Hamas bekerja sama untuk mengidentifikasi terowongan yang telah dibangunnya selama puluhan tahun?
Ada persoalan lebih mendasar lagi. Pasca-penarikan mundur pasukan Israel dan pemantauan menurun, apa yang mencegah Hamas membuka kembali terowongan yang telah ditutup atau membangun terowongan baru dengan menggunakan keahlian yang sama yang membangun jaringan aslinya?
Gencatan senjata menyisakan sekitar 10-15 persen persenjataan roket Hamas sebelum perang yang terdiri dari 20.000 proyektil utuh dengan kemampuan peluncuran sporadis. Meski merosot jumlahnya akibat rentetan serangan berkelanjutan sejak Oktober 2023, kapasitas senjata yang tersisa menjadi signifikan secara strategis selama rekonstruksi Gaza.
Hamas pun masih punya pengetahuan teknis, keahlian teknik, dan infrastruktur industri untuk memproduksi roket selama perang meskipun dibombardir oleh Israel.
Gencatan senjata dengan demikian memberikan waktu dan ruang baginya untuk membangun kembali fasilitas produksi, melatih personel baru, dan memulihkan kemampuan. Kecuali jika “program penonaktifan” yang disebutkan dalam rencana Trump mencakup juga penghancuran fisik setiap mesin bubut, mesin penggilingan, dan bengkel di Gaza—yang mustahil—Hamas pada akhirnya akan memulihkan produksi roket.
Yang paling kritis adalah munculnya Izz al-Din al-Haddad. Yang terkenal dengan julukan “Hantu Al-Qassam.” Ia tampil sebagai pemimpin militer dan administratif baru Hamas setelah kematian Mohammed Sinwar pada Mei 2025. Komandan berusia pertengahan 1950-an yang fasih berbahasa Ibrani ini, yang selamat dari enam upaya pembunuhan oleh Israel dan kehilangan dua putranya selama perang, masih tetap memegang komando. Israel menawarkan $750.000 (setara Rp 12,5 miliar) untuk informasi yang mengarah pada penangkapan atau kematiannya.
Al-Haddad memegang hak veto atas gencatan senjata atau kesepakatan penyanderaan apa pun. Ia pun digambarkan lebih pragmatis daripada para pendahulunya dalam hal negosiasi, namun tetap berkomitmen pada perlawanan bersenjata. Gencatan senjata dengan demikian membuatnya tetap hidup, memegang komando, dan diposisikan untuk mengatur pembentukan kembali Hamas.
Dimensi Psikologis: Kemenangan Israel Tidak Diakui
Perang berakhir bukan ketika satu pihak tak mampu lagi berperang, melainkan ketika ia menerima kenyataan bahwa ia tak mampu menang. Dimensi psikologis ini lebih penting daripada metrik medan perang. Dimensi ini memberikan keyakinan lawan bahwa perlawanan berkelanjutan sia-sia.
Militer Nazi Jerman misalnya hancur pada akhir 1944. Namun perang berlanjut setahun kemudian hingga pendudukan fisik Reich dan Hitler bunuh diri sekaligus menghancurkan harapan untuk menang perang.
Jepang masih memiliki kapasitas untuk terus berperang setelah Hiroshima dan Nagasaki. Tetapi pidato radio Kaisar Jepang yang belum pernah terjadi sebelumnya yang mengumumkan penyerahan diri Jepang mematahkan tekad rakyat.
Macan Tamil menguasai wilayah dan memimpin para pejuang hingga Prabhakaran meninggal dunia. Tetapi, ketika militer Srilanka mengepung mereka, kejadian itu menunjukkan secara meyakinkan bahwa perjuangan Macan Tamil telah kalah.
Kesediaan Hamas untuk menerima kerangka kerja Trump merupakan penyesuaian pragmatis terhadap realitas medan perang. Bukan kekalahan psikologis. Organisasi itu terbukti bertahan, kader kepemimpinannya terus beroperasi dari Doha, komandan militernya tetap hidup di Gaza, dan berhasil memaksa Israel untuk bernegosiasi meski hanya menguasai seperempat wilayah.
Dari perspektif Hamas, gencatan senjata ini merupakan keberhasilan strategis: mereka menyerang Israel, menewaskan 1.195 warga Israel termasuk 815 warga sipil, menyandera 251 orang, memicu perang yang menghancurkan sebagian besar infrastruktur Gaza, namun tetap muncul dengan kapasitas untuk menegosiasikan persyaratan dan organisasi itu terus hidup secara utuh.
Narasi yang akan disebarluaskan Hamas di seluruh dunia Arab dan Islam cukup jelas: mereka membuat Israel berdarah pada 7 Oktober, mampu bertahan dari pemboman Israel selama dua tahun, memaksa pasukan Israel (IDF) menarik diri dari Kota Gaza akibat perlawanan, lalu menegosiasikan pembebasan 2.000 tahanan Palestina, termasuk 250 teroris yang dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hamas akan membingkai penghancuran Gaza sebagai pengorbanan heroik perlawanan terhadap pendudukan. Korban sipil—akibat langsung dari penggunaan perisai manusia oleh Hamas dan penempatan infrastruktur militer di wilayah sipil—akan sepenuhnya disalahkan kepada Israel oleh mesin propaganda mereka.
Perhatikan nasib para pemimpin senior Hamas. Ya, benar Israel melenyapkan Yahya Sinwar, Mohammed Deif, Mohammed Sinwar, Marwan Issa, dan Ismail Haniyeh. Pokoknya seluruh pimpinan senior yang merencanakan pembantaian warga Israel 7 Oktober 2023. Namun dari perspektif ideologis Hamas, orang-orang ini gugur karena memperjuangkan tujuan mereka.
Yahya Sinwar gugur melawan pasukan Israel, bukan menyerah. Mohammed Deif dilenyapkan saat masih memimpin operasi militer. Kematian mereka akan diperingati, jalan-jalan akan diberi namai sesuai nama mereka, dan rekrutan baru akan terinspirasi oleh teladan mereka.
Ketiadaan pengadilan publik berarti tidak ada konfrontasi atas kejahatan mereka. Tidak ada pengakuan paksa atas kekejaman. Tidak ada pengingkaran narasi kemartiran. Mereka gugur sebagai teroris alih-alih menghadapi keadilan atas kejahatan mereka.
Komite kepemimpinan sementara yang beranggotakan lima orang yang berbasis di Doha akan terus memerintah Hamas bersama Khaled Mashal, Khalil al-Hayya, dan lainnya yang beroperasi secara terbuka di Qatar. Pemilihan pimpinan yang tertunda karena perang pada akhirnya akan dilaksanakan, sehingga kepemimpinan pun berlanjut.
Berbeda dengan Macan Tamil, yang seluruh kepemimpinannya terbunuh atau ditangkap, atau Jalan Terang (The Shining Path), yang kepercayaannya terhadap kekuatan mistiknya pecah ketika Abimael Guzmán dikurung, kepemimpinan eksternal Hamas tetap utuh, didanai dengan baik, dan diperlakukan sebagai mitra negosiasi yang sah oleh berbagai aktor internasional.
Buktinya, ada pertemuan antara pejabat pemerintahan Trump dengan perwakilan Hamas dan mediator Arab yang memfasilitasi diskusi memberikan legitimasi organisasi yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun.
Dampak psikologisnya rencana Trump terhadap masyarakat Palestina perlu dinilai secara jujur. Meski beberapa warga Gaza berdemonstrasi menentang Pemerintahan Hamas dengan meneriakkan “keluar, keluar, Hamas keluar,” dan jajak pendapat Mei 2025 menunjukkan 48 persen dukungan terhadap demonstrasi anti-Hamas, organisasi itu tetap mempertahankan dukungan ideologis yang signifikan.
Mesin propaganda Hamas akan memuji ketentuan soal aspek kemanusiaan gencatan senjata sebagai keberhasilan mereka melakukan negosiasi. Soalnya, bantuan, dana rekonstruksi dan pemulihan layanan justru melonjak. Mereka tidak lagi melihat semua itu sebagai akibat kekangan Israel atau tekanan internasional.
Tujuan Israel yang dinyatakan ketika memasuki perang ini adalah melenyapkan Hamas sebagai kekuatan militer dan pemerintahan. Persoalannya, dua tahun kemudian, Hamas memang tidak lagi memerintah, tetapi hadir sebagai organisasi politik-militer. Ia mampu mengerahkan para pejuangnya, menegosiasikan kesepakatan, dan menghimpun loyalitas. Ini menunjukkan bahwa tujuan perang Israel gagal, terlepas dari keberhasilan militer taktisnya.
Ketika Vietnam Utara menerima Perjanjian Damai Paris pada tahun 1973, mereka memang belum mengalahkan Amerika Serikat secara militer. Tetapi mereka telah cukup lama bertahan untuk melampaui kemauan politik Amerika. Dua tahun kemudian, Saigon jatuh. Kasu situ bisa disamakan dengan sabarnya strategis Hamas dan ini terlihat jelas sekaligus mengancam.
Dimensi Institusional: Kekosongan Pemerintahan
Hamas jauh lebih dari sekadar militan bersenjata di dalam terowongan. Selama lebih dari 18 tahun memerintah Gaza sejak 2007, ia membangun infrastruktur kelembagaan komprehensif yang menyentuh setiap aspek kehidupan Palestina: Mulai dari pendidikan, layanan kesehatan, layanan sosial, lembaga keagamaan, media, administrasi sipil, dan aktivitas ekonomi.
Mendalamnya akar lembaga di Gaza menjelaskan ketahanan Hamas meskipun kepemimpinannya dipenggal dan militernya didegradasi. Menghancurkan organisasi ini membutuhkan pembongkaran lembaga-lembaga ini dan menggantinya dengan alternatif yang melayani penduduk Gaza tanpa memberdayakan teroris.
Perjanjian gencatan senjata mengasumsikan masa transisi dapat terjadi melalui penggantian teknokratis yang diawasi oleh pemantau internasional. Tetapi, bukti sejarah menunjukkan sebaliknya.
Pertimbangkan soal UNRWA, Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mempekerjakan orang-orang yang turut membantai warga Israel 7 Oktober dan menjadikan fasilitasnya sebagai tempat penyimpan senjata Hamas. Rencana Trump mengharuskan UNRWA ditutup permanen di Gaza, karyawannya diselidiki dan afiliasi Hamas dituntut.
Ini kebijakan yang tepat, tetapi menimbulkan pertanyaan langsung: Siapa yang menyediakan pendidikan, layanan kesehatan, dan layanan sosial bagi dua juta warga Palestina jika UNRWA menghentikan operasinya? Rencana Trump menyebutkan “struktur bantuan non-politik” baru, tetapi menciptakannya dari awal sementara UNRWA tutup akan menciptakan kesenjangan layanan yang sangat besar.
Hamas berkembang pesat dengan mengisi kesenjangan layanan ketika Otoritas Palestina terbukti tidak efektif. Geng-geng kriminal dan milisi saingan mengisi kekosongan kekuasaan di wilayah-wilayah di mana Hamas kehilangan kendali. Kecuali jika lembaga-lembaga pengganti didirikan bersamaan dengan penggulingan Hamas. Jika tidak, kekacauan bakal merajalela, alih-alih pemerintahan teknokratis
Sistem pendidikan merupakan medan pertempuran paling kritis bagi masa depan Gaza. Buku-buku pelajaran Hamas mengajarkan kemartiran dan antisemitisme kepada seluruh generasi. Para guru mengindoktrinasi siswa. Fasilitas sekolah berfungsi sebagai depot senjata dan pintu masuk terowongan.
Referensi rencana Trump kepada para teknokrat yang mengembangkan kurikulum baru yang menekankan matematika, sains, dan pelatihan kejuruan terdengar masuk akal, tetapi mengabaikan hambatan praktis. Korps guru Gaza dididik di bawah Pemerintahan Hamas, dipekerjakan oleh kementerian-kementerian Hamas, dan dalam banyak kasus aktif berkolaborasi dengan operasi-operasi Hamas.
Mustahil untuk memeriksa setiap guru; mengganti mereka secara massal berarti tidak ada sekolah yang beroperasi. Alternatifnya—menerima guru-guru lulusan Hamas yang menyampaikan kurikulum “reformasi” di bawah pengawasan internasional—hanya memberi infrastruktur pendidikan Hamas dengan citra baru.
Jaringan masjid yang digunakan untuk perekrutan dan aksi hasutan menghadirkan tantangan serupa. Penangkapan para imam Muslim yang menyebarkan pemikiran tentang kekerasan dan penghancuran masjid yang digunakan sebagai gudang senjata terdengar tepat, tetapi bermasalah. Kepemimpinan agama di Gaza berkembang selama beberapa dekade dalam kerangka kerja yang dikendalikan Hamas.
Untuk menemukan “kepemimpinan agama baru, yang teruji yang menolak kekerasan dan ekstremisme” membutuhkan orang yang mampu mengidentifikasi Muslim Palestina yang dihormati yang bisa dipercaya dari sudut agama sekaligus yang berani menentang Hamas. Namun populasi mereka sangat kecil mengingat realitas politik Gaza. Untuk memantau khotbah Jumat supaya bisa melihat adanya hasutan mengasumsikan pemantaunya punya kapasitas yang saying tidak ada dan tidak dapat dipertahankan.
Persoalan yang lebih mendasar lagi, teologi radikal yang dikhotbahkan Hamas tidak hanya terjadi di Gaza, tetapi mencerminkan interpretasi ekstremis yang lebih luas yang lazim di seluruh wilayah. Mengubah budaya keagamaan Gaza dengan demikian membutuhkan transformasi generasi, bukan perombakan institusional.
Layanan kesehatan yang digunakan Hamas untuk keperluan militer, dengan rumah sakit yang menjadi rumah pusat komando dan staf medis yang terlibat dalam kegiatannya, perlu dibangun kembali berdasarkan ketentuan kemanusiaan gencatan senjata. Rencana Trump dengan tepat mencatat bahwa hanya 14 dari 36 rumah sakit yang masih sebagian berfungsi hingga Oktober sementara tidak satu pun rumah sakit yang beroperasi penuh.
Dengan bantuan internasional fasilitas kesehatan, pelatihan dan pemulihan layanan bisa dilakukan. Administrator yang berafiliasi dengan Hamas disingkirkan dan tenaga medis yang terlibat dalam aksi terorisme dicabut izinnya. Jika tidak, sistem layanan kesehatan yang dibangun kembali hanya akan memulihkan infrastruktur Hamas.
Alternatifnya, mengimpor tenaga medis asing untuk menggantikan dokter dan perawat. Cara ini tidaklah layak dan tidak bisa dipertahankan kelanjutannya. Gaza butuh tenaga medis profesional sendiri. Soalnya, para profesional yang ad aitu beroperasi dalam jaringan politik-sosial yang telah dipupuk Hamas selama bertahun-tahun.
Kekosongan pemerintahan yang diciptakan oleh kesepakatan Hamas untuk melepaskan pemerintahan formal menciptakan peluang munculnya pusat-pusat kekuasaan alternatif. Geng-geng kriminal mengisi kekosongan kekuasaan di wilayah-wilayah Hamas kalah. Bersamaan dengan itu “rasa takut terhadap Hamas yang selama ini menjadi penghalang terkikis” di antara warga sipil Gaza.
Kelompok-kelompok ekstremis saingan yang lebih radikal daripada Hamas pun bersaing berebut pengaruh. Klan keluarga dan struktur kesukuan menegaskan kembali otoritas tradisionalnya. Otoritas Palestina, yang lemah dan korup, tidak dihormati. Dalam kekacauan ini, rencana Trump menyuntikkan “komite Palestina teknokratis” yang diawasi oleh “Dewan Perdamaian” internasional yang ditolak Hamas.
Sekalipun dibentuk, apa sebenarnya yang diatur oleh komite ini? Mereka tidak mengendalikan angkatan bersenjata, rakyat tidak loyal kepada mereka, tidak punya kekuasaan yang berakar kuat dari aspek kelembagaan, dan sepenuhnya bergantung pada perlindungan dan pendanaan eksternal. Mereka adalah otoritas yang legitimasinya berasal dari sponsor asing, alih-alih persetujuan domestik.
Dimensi Regional: Bangsa Arab yang Kelelahan Karena Tidak Selaras
Rencana Trump memanfaatkan situasi negara-negara Arab yang nyata-nyata kelelahan menyaksikan perjuangan Palestina supaya bisa membangun arsitektur keamanan regional yang mendukung gencatan senjata.
Mesir, yang membanjiri terowongan Hamas dengan air dan menetapkannya sebagai teroris, menjadi tuan rumah negosiasi penting di Sharm el-Sheikh. Qatar menjadi penengah meskipun menjadi tuan rumah bagi kepemimpinan Hamas di Doha. Yordania menyambut baik kerangka kerja tersebut. Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Maroko, dan Bahrain—para penandatangan Perjanjian Abraham ditambah Saudi—semuanya mendukungnya secara terbuka.
Konsensus regional ini merupakan kemajuan diplomatik yang nyata dan menjawab kekhawatiran Israel yang sah tentang Gaza yang mengancam stabilitas regional di masa depan.
Namun, dukungan Arab tetap bersyarat, terbatas, dan pada akhirnya selaras dengan kepentingan Arab, bukan kepentingan Israel.
Pertimbangkan peran Mesir. Presiden el-Sissi menyebut gencatan senjata sebagai “momen bersejarah yang mewujudkan kemenangan tekad untuk perdamaian,” dan Mesir akan mengirimkan pasukan keamanan di Gaza selatan berdasarkan rencana itu.
Namun, kepentingan utama Mesir adalah mencegah kekacauan Gaza menyebar hingga perbatasan Sinai sambil tetap menjaga hubungan baik dengan Pemerintahan Trump yang akan datang. Mesir tidak berkepentingan untuk memerintah Gaza, menghadapi Hamas secara militer atas nama Israel atau menerima pengungsi Gaza. Ketika Hamas merebut Gaza pada 2007, Mesir menutup perbatasan dan membiarkan warga Palestina kelaparan alih-alih membuka penyeberangan.
“Kerja sama keamanan” Mesir berarti mencegah penyelundupan senjata dan menjaga keamanan perbatasan memang berharga tetapi tak cukup untuk memastikan kekalahan permanen Hamas.
Posisi Yordania pun serupa. Setelah menghancurkan pemberontakan Palestinanya sendiri selama September Hitam, Yordania memahami ancaman ekstremisme Palestina. Kerja sama intelijen Yordania ketika memeriksa administrator dan personel keamanan membantunya mengidentifikasi penyusup Hamas.
Namun Yordania tidak akan mengerahkan pasukan ke Gaza, memerintah wilayah Palestina, atau menerima tanggung jawab atas hasil politik Palestina. Populasi mayoritas Palestina di Yordania membuat stabilitas kerajaan itu bergantung pada kenyataan bahwa mereka tidak dianggap menekan aspirasi Palestina. Yordania bekerja sama dari jauh, sambil memastikan masalah Gaza tetap menjadi tanggung jawab pihak lain.
Negara-negara Teluk menawarkan dana rekonstruksi dengan harapan bisa mendapatkan keuntungan komersial. UEA dapat membangun kembali pelabuhan Gaza; Arab Saudi dapat membiayai Pembangunan perumahan. Proyek-proyek ini menyediakan lapangan kerja, memulihkan infrastruktur dan memperlihatkan manfaat perdamaian nyata. Namun, pendanaan Teluk datang dengan syarat. Terutama reformasi tata kelola dan stabilitas keamanan Palestina. Jika Tahap Kedua Rencana Trump gagal dan kekerasan kembali terjadi, investasi Teluk akan menguap. Lebih lanjut, negara-negara Teluk semakin memprioritaskan pembangunan ekonomi dan sekaligus menahan Gerak maju Iran dibandingkan dengan isu-isu Palestina. Dukungan mereka terhadap rencana Trump mencerminkan keselarasan dengan kebijakan Amerika dan kepentingan pribadi dalam stabilitas regional, bukan komitmen untuk memastikan keamanan Israel dari kebangkitan Hamas.
Posisi Arab Saudi patut diperhatikan secara khusus. Kerajaan itu termasuk di antara “negara-negara Arab Muslim kunci” yang mendapatkan dukungan Trump, bergabung dengan pernyataan bersama pada 29 September yang menyambut baik upayanya. Namun, Arab Saudi menegaskan bahwa normalisasi dengan Israel tetap bergantung pada kemajuan menuju kenegaraan Palestina berdasarkan Prakarsa Perdamaian Arab, berakhirnya pendudukan dan penarikan Israel dari wilayah-wilayah pendudukan.
Syarat-syarat ini tidak terpenuhi oleh pernyataan Trump yang samar tentang “jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri Palestina” ketika reformasi Otoritas Palestina selesai. Arab Saudi menginginkan jaminan keamanan Amerika, teknologi nuklir, dan kepemimpinan regional—tujuan yang dicapai dengan mendukung rencana Trump terlepas dari dampaknya bagi Israel.
Peran Turki sangat jelas menunjukkan keterbatasan konsensus regionalnya. Presiden Erdoğan, yang menggambarkan Hamas sebagai “kelompok pembebasan” alih-alih organisasi teroris, menyatakan pada 4 Oktober bahwa “sebuah jendela peluang telah terbuka untuk perdamaian abadi.” Dukungannya terhadap rencana itu mencerminkan membaiknya hubungan Erdoğan dengan Trump dan keinginannya untuk kerja sama ekonomi, bukan keselarasan sejati dengan kepentingan keamanan Israel.
Turki tidak akan menekan Hamas melebihi apa yang diperlukan untuk mempertahankan niat baik Trump. Intelijen Turki tidak berbagi informasi dengan Israel. Organisasi masyarakat sipil Turki yang akan berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza mendukung Hamas secara ideologis dan memberikan perlindungan bagi kelanjutan pengaruh Hamas.
Negara-negara anggota Perjanjian Abraham—UEA, Bahrain, Maroko—mewakili mitra regional yang paling menjanjikan mengingat hubungan formal mereka dengan Israel. Namun, hubungan ini tetap bergantung pada selarasnya kebijakan Israel dengan kepentingan Arab. Paket sanksi Uni Eropa bulan September yang menargetkan individu-individu Israel tertentu, meskipun memerlukan persetujuan bulat Uni Eropa untuk diterapkan, menandakan meningkatnya tekanan internasional.
Jika negosiasi Fase Dua gagal dan Israel melanjutkan operasi militer, negara-negara anggota Perjanjian Abraham akan menghadapi tekanan domestik untuk menjauhkan diri dari Israel. Dukungan mereka terhadap gencatan senjata mencerminkan keselarasan politik saat ini. Namun dukungan mereka terhadap Israel jika gencatan senjata gagal itu tidak pasti .
Dimensi Internasional: Tekanan Politik Tanpa Strategi
Gencatan senjata antara Hamas dan Israel kali ini mendapatkan dukungan internasional yang luar biasa. Sekretaris Jenderal PBB Guterres menyambut baik. Uni Eropa mendukung prinsip-prinsip demiliterisasi. Presiden Prancis Macron berterima kasih kepada Trump atas “komitmennya terhadap perdamaian.” Kanselir Jerman Merz menyebutnya “peluang terbaik untuk perdamaian.” Perdana Menteri Inggris Starmer pun menggambarkannya sebagai “langkah maju yang signifikan”.
Kesepakatan diplomatik ini merupakan pencapaian sejati yang membedakan Oktober 2025 dari upaya-upaya sebelumnya yang gagal. Tekanan internasional yang berkelanjutan dari para pejabat Pemerintahan Trump, termasuk Utusan Khusus Steve Witkoff dan Jared Kushner yang berpartisipasi langsung dalam negosiasi, terbukti menentukan. Ultimatum Trump pada 3 Oktober lalu yang memperingatkan akan ada “NERAKA” jika Hamas menolak rencana itu dan seruannya kepada Israel untuk “segera menghentikan pemboman Gaza”, menunjukkan bahwa dia bersedia menekan kedua belah pihak.
Komando Pusat AS akan mengerahkan 200 personal militer ke Israel untuk mendirikan pusat koordinasi yang mendukung pemantauan gencatan senjata dan aliran bantuan kemanusiaan. Langkah itu menandakan bahwa Amerika berkomitmen agar kesepakatan tersebut berhasil.
Yang penting, mereka bukanlah pasukan tempur dan tidak akan dikerahkan ke Gaza. Keterlibatan Amerika tetap semata-mata bersifat diplomatik dan logistik, tanpa jaminan keamanan di luar tekanan politik untuk mematuhinya. Jika Hamas melanggar perjanjian, respons AS akan berupa kecaman diplomatik, bukan aksi militer. Hal ini membatasi pengaruh Amerika pada persuasi, alih-alih paksaan, yang mungkin cukup untuk mempertahankan gencatan senjata, tetapi tidak cukup untuk memaksa Hamas melucuti senjata di luar kehendaknya.
Pemerintahan Trump memiliki kepentingan pribadi agar perjanjian ini berhasil. Dan ini menjadi peluang sekaligus kendala. Trump memang memperjuangkan tujuan itu. Ia kini memimpin “Dewan Perdamaian” dan mempertaruhkan reputasi diplomatiknya untuk mencapai apa yang tidak dapat dicapai oleh pemerintahan sebelumnya. Perhatian sang presiden ini membuatnya sangat terlibat dan terus terlibat karena mengabaikannya berarti menghancurkan perjanjian sehingga bernasib sama dengan perjanjian-perjanjian sebelumnya.
Namun, hal ini juga berarti fleksibilitas kebijakan Amerika dibatasi oleh komitmen pribadi Trump. Jika negosiasi Fase Dua terhenti, Trump menghadapi konsekuensi politik karena mengakui bahwa kerangka kerja itu tidak memberikan hasil yang dijanjikan. Godaan untuk menekan Israel agar menerima pelucutan sebagian senjata Hamas atau komitmen yang samar-samar, menjadi persoalan penting, alih-alih mengakui keterbatasan rencana itu sendiri.
Organisasi kemanusiaan internasional akan membanjiri Gaza dengan dana rekonstruksi, menciptakan insentif ekonomi untuk mempertahankan gencatan senjata. Bank Dunia memperkirakan kerusakan fisik langsung sebesar $53 miliar atau setara dengan Rp 875 Triliun per Februari 2025, dengan 92 persen bangunan tempat tinggal rusak atau hancur.
Biaya rekonstruksi selama 3-5 tahun sesungguh bisa lebih dari $100 miliar (setara Rp 1.650 Triliun). Rekonstruksi menjadi peluang untuk mentransformasi ekonomi Gaza sekaligus meningkatkan kondisi kehidupan masyarakatnya. Namun, dana rekonstruksi yang mengalir melalui teknokrat Palestina tanpa mekanisme antikorupsi yang kuat dan pemantauan terhadap Hamas bisa saja akan disedot untuk rekonstruksi Hamas.
Hal itu terjadi karena kapasitas dunia internasional untuk melakukan pemantauan itu terbatas. Organisasi seperti UNRWA terbukti rentan terhadap infiltrasi Hamas. Dana untuk sekolah dan rumah sakit misalnya dapat digunakan untuk mendanai rekonstruksi terowongan dan pengadaan senjata oleh Hamas.
Daya tarik komunitas internasional terhadap Israel tetap pertama-tama bersifat ekonomi dan diplomatic. Bukan militer. Berbagai badan dan negara internasional dapat memberikan tekanan, tetapi bantuan militer Amerika terus berlanjut terlepas dari pilihan kebijakan Israel.
Efek gabungan ini menciptakan tekanan yang cukup untuk memaksa gencatan senjata diterima ketika keadaan mendukungnya, tetapi tidak cukup untuk memaksa kebijakan Israel diselaraskan dengan preferensi internasional jika Pemerintah Israel memutuskan bahwa keamanannya memerlukan pendekatan yang berbeda. Hal ini menciptakan dinamika yang bermasalah: tekanan internasional mencegah Israel mencapai kemenangan militer yang menentukan, namun tidak dapat mendorong hasil yang benar-benar mengakhiri konflik (Bersambung).***
- Gregg Roman adalah Direktur Eksekutif Middle East Forum, AS. Ia dianggap sebagai satu dari 10 pemimpin muda Yahudi yang menginsipirasi masyarakat. Ia pernah menjadi penasehat politik Wakil Menlu Israel dan bekerja untuk Kementerian Pertahanan Israel. Selain berbicara dalam berbagai saluran televisi, tulisannya bermunculan dalam berbagai media papan atas dunia.