Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Genosida pernah terjadi di beberapa wilayah era Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Jenderal Johannes van den Bosch.

Di era Van Bosch, penderitaan rakyat Indonesia berada di titik nadir. Di kepemimpinannya, Van den Bosch melancarkan cuulturstelsel atau sistem tanam paksa.
Penduduk yang tidak memiliki tanah diwajibkan kerja rodi selama 60 hari dalam setahun. Mereka yang kerja rodi tak diupah sepeser pun.
Sistem yang memelaratkan rakyat ini telah digugat Eduard Douwes Dekker atau Multatuli dalam bukunya ‘Max Havelaar’ pada 1860. Sebagai tanda protes Multatuli meminta berhenti sebagai asisten residen Lebak di Banten.
Isaac Fancen, orang Belanda lainnya yang pernah menjadi pengurus sebuah pabrik gula di Jawa, dalam sebuah karyanya mengungkapkan, “Cuulterstelsel sama sekali pemerasan, sumber utama kemelaratan rakyat di pulau Jawa, dan suatu perangsang untuk keangkuhan, ketamakan dan kerakusan Belanda.”
Beberapa data akurat akibat sistem yang menggencet petani dapat dilihat dari data di bawah ini.
– Di Cirebon pada 1844 terjadi bahaya kelaparan yang ambil korban ribuan orang.
– Pada 1848 penduduk Demak tinggal 120 ribu dari 336 ribu. Lebih 2/3 penduduk mati kelaparan.
– Pada 1849, Grobogan, Jateng, yang berpenduduk 98.500 orang, hanya tersisa 9 ribu orang. Sebanyak 9/10 penduduk mati kelaparan.
Ratusan ribu rakyat Jawa mati seperti tikus kelaparan di tanah airnya yang subur. Sementara Van den Bosch diberi gelar ‘Graaf’ oleh rajanya.
Ia dianggap pahlawan karena berhasil menyelamatkan dan memulihkan ekonomi Belanda. Saat itu perekonomian Belanda hancur lebur gara-gara berbagai peperangan, termasuk Perang Jawa melawan pasukan Pangeran Diponegoro.
Pemerintah Belanda sudah menetapkan jenis-jenis tanaman tertentu yang memiliki nilai ekspor tertinggi, seperti:
Indigo
Indigo adalah tanaman bahan baku yang diolah menjadi pewarna biru untuk tekstil.
Sebelum kebijakan Cultuurstelsel berjalan, sudah banyak para petani yang menanam Indigo di Jawa, salah satunya adalah Cirebon.
Berdasarkan catatan Raffles, Cirebon merupakan penghasil Indigo terbesar. Maka dari itu, Belanda memaksimalkan produksi indigo di Cirebon semasa sistem tanam paksa berlangsung.
Dari sistem ini, banyak para laki-laki yang dipaksa untuk bekerja di perkebunan indigo selama 7 bulan penuh.
Bahkan, masyarakat di sana tidak diberi waktu untuk menanam padi sampai menimbulkan krisis beras dan bencana kelaparan di Cirebon, Demak, Grobogan, dan Purwodadi.
Kopi, Gula, dan Kina
Kopi dan Tebu adalah tanaman yang difokuskan van den Bosch selama cultuurstelsel karena bernilai tinggi di pasar global.
Luas lahan pertanian yang dipakai sangat besar dan membutuhkan banyak tenaga manusia.
Dikabarkan sebanyak 450.000 orang diminta untuk menggarap tanaman kopi di tahun 1856, 300.000 orang untuk menanam tebu, dan 110.000 orang kerja di perkebunan kina.
Ironisnya, para pekerja ini menerima upah yang sangat kecil. Bahkan, mereka juga menanggung beban pajak dan gagal panen yang tidak sesuai dengan kebijakan di awal.
Setelah mendapat kecaman dari berbagai aktivis, akhirnya pemerintah Belanda menghapus sistem tanam paksa secara bertahap.
Cultuurstelsel lada dihapus pada 1860 dan tanaman nila dan teh dihapus pada tahun 1865.
Seperti masa-masa lalu, pada tahun 1940-an sebelum Hindia Belanda ditaklukkan Jepang keuntungan yang diperoleh di pasaran dunia hampir seluruhnya mengalir ke Belanda. Jumlahnya mencapai satu miliar gulden tiap tahun.
Bahkan, menurut data dari pihak Belanda sendiri, tanpa adanya suntikan uang yang berasal dari Indonesia, pemulihan ekonomi dan industrialisasi Belanda setelah Perang Dunia II, pasti akan berjalan lebih alot.
Tanam paksa sangat membebani rakyat Indonesia, bahkan membuat sengsara. Namun, kalau dilihat semua kebijakan ada sisi positif dan negatifnya. Sisi positif tanam paksa bagi bangsa Indonesia adalah rakyat Indonesia mengenal berbagai jenis tanaman ekspor.
Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia IV (2008) karya Marwati Djoened dan Nugroho, dijelaskan dampak positif pelaksanaan tanam paksa bagi rakyat Indonesia, di antaranya:
– Rakyat Indonesia mengenal berbagai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
– Meningkatnya jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
– Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
– Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik serta gudang untuk hasil budidaya.***