Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijoyo
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Diponegoro ditinggalkan oleh panglima perangnya, Sentot Prawirodirjo, sejak 17 Oktober 1829. Ada yang membuat Sentot memilih berpihak kepada Belanda dan mengapa?
Sentot panglima yang disegani, ia juga dijuluki “Napoleon Jawa”, dia memimpin 1000 pasukan dengan menyandang senjata dan mengenakan jubah dan sorban.
Struktur pasukannya pun mirip seperti pasukan Turki Utsmani.
Sentot juga berhasil memenangkan peperangan di Kroya dan merampas 400 pucuk senjata, meriam berikut mesiunya serta menawan ratusan serdadu Hindia Belanda.
Untuk menangkap Sentot, Jenderal De Kock membujuk bupati Madiun, Prawirodiningrat, yang merupakan kakaknya, agar bersedia berunding dengan Hindia Belanda.
Sentot Prawirodirjo dan pasukannya disambut dengan upacara militer oleh Belanda saat masuk Yogyakarta pada 24 Oktober 1829. Panglima Perang Diponegoro itu telah setuju untuk meninggalkan Diponegoro pada 17 Oktober 1829.
Jenderal Hendrik Merkus De Kock sengaja datang dari Magelang untuk menyambut Sentot di Yogyakarta. Pada 20 Oktober 1829 De Kock mengirim surat kepada Gubernur Jenderal memberi tahu bahwa ia telah meminta kepada Residen Yogyakarta agar menyenangkan hati Sentot.
Hal itu diperlukan agar Sentot tidak kembali lagi ke Diponegoro. “Apabila Sentot sudah berada di pihak kita, makin lama makin mengikat dia pada kepentingan kita, sungguhpun hal ini harus disertai beberapa pengorbanan dari pihak kita,” tulis De Kock.
Apa yang diminta Sentot? Ia meminta:
– Tunjangan sebesar 10 ribu gulden.
– Dibolehkan membentuk pasukan terdiri dari 1.000 prajurit, lengkap dengan pakaiannya.
– Disediakan 500 senjata.
– Sentot dan pasukannya di bawah komando langsung dari gubernemen, tidak di bawah komando dari sultan Yogyakarta.
– Tetap dibebaskan menjalan perintah agama Islam.
– Tidak dipaksa meminum jenewer atau arak.
– Pasukan diizinkan memakai surban.
Belanda kemudian memag memenuhi saran De Kock untuk menyenangkan hati Sentot. Tetapi tidak memenuhi 100 persen permintaan Sentot.
Misalnya, Belanda hanya memberikan tunjangan sebesar 5.000 gulden, separuh dari yang diminta Sentot. Lalu, belanda jugahanya memberi 200 pucuk senjata, tidak sampai sepatuh dari yang diminta Sentot.
Permintaan soal komando, benar-benar menyenangkan Sentot. Ia berada di bawah perintah langsung Jenderal De Kock, tetapi juga masih tetap di bawah Sultan Yogyakarta.
Jumlah prajurit yang disetujui berada di bawah Sentot ya hanya 500 orang. Ini sesuai jumlah prajurit yang selama Perang Diponegoro ia pimpin sebagai ali basah.
Diponegoro memiliki tiga ali basah (panglima senior perang ala Turki)). Sentot diberi tugas di selatan Yogyakarta. Sumonegoro diserahi tugas di utara Yogyakarta, sedangkan Ngabdulkamid diserahi tugas di daerah antara kali Progo dan Kali Bogowonto.
Sentot menjadi ali basah yang disegani Belanda. Gerak cepatnya membuat pasukan Belanda takut menghadapinya.
Sejak Juli 1829, Belanda mencari cara untuk menjinakkan Sentot. Belanda meminta bantuan Pangeran Prawirodiningrat, kakak Sentot, untuk membujuk Sentot agar bersedia menghentikan perang.
Sentot mematuhi kakaknya dengan mengajukan beberapa syarat. Pada 23 Juli 1829, Sentot menuliskan syarat-syarat yang ia minta untuk diberikan kepada Belanda.
Residen Yogyakarta Van Nes ingin menyenangkan hati panglima perang Diponegoro itu. Ia membalas surat Sentot dan menjanjikan, jika Sentot menyerah, ia akan ditempatkan sebagai ajudan Jenderal De Kock dengan pangkat letnan kolonel. Juga dijanjikan akan diberikan tunjangan sesuai pangkatnya.
Raden Tumengung Notowijoyo yang dianggap berjasa kepada Belanda dalam perundingan-perundingan dengan Sentot, oleh Belanda diberi hadiah berupa kuda tunggangan beserta alat-alatnya seharga kurang lebih 400 gulden.
Menyimak perjalanan hidupnya, Sentot menyerah bukan semata-mata sebab keegoisannya. Namun, keputusan tersebut diambil sebagai alternatif terbaik dengan bobot lebih kecil dari dua pilihan yang sama-sama mengandung kerugian. Tetap berperang dan rakyat semakin menderita atau menyerah untuk mengurangi korban dan kerugian di pihak rakyat. Pengasingannya ke Bangkulu jelas menunjukkan status Sentot di mata musuh.***