Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Mengapa Pangeran Diponegoro begitu mudah ditipu oleh Jenderal De Kock untuk datang ke wisma Residen Magelang untuk berunding dan akhirnya ditangkap dengan mudah?
Leluhur Diponegoro seperti Sultan Mangkubumi dan Mas Said begitu sangat berhati-hati jika Belanda mengajak berunding untuk menyelesaikan perang.
Sultan Mangkubumi sangat waspada terhadap sikap Belanda apabila mengajak berunding. Sultan Mangkubumi memahami benar bahwa Kolonial Belanda selalu bertindak culas dan mengunakan tipu daya untuk menangkap para pangeran yang melakukan perlawanan.
Untuk mengakhiri Perang Giyanti, Gubernur Pantai Timur Jawa Nocholas Hartingh menemui Pangeran Mangkubumi di Desa Pedagangan Grobogan pada tanggal 22 September 1754 yang kelak akan melahirkan Kesultanan Yogyakarta.
Dalam pertemuan itu, Mangkubumi masih memelihara kewaspadaan. Dia mengerahkan 7.000 prajurit yang diparkir sejauh kurang lebih 500 meter dari tempat perundingan. Tentu saja Hartingh yang saat itu didampingi Kapten Dongkel dan sejumlah prajurit Belanda lainnya berunding dengan sangat hati-hati.
Ketika VDB (van den Bosch) pertama kali datang ke Batavia pada 4 Januari 1830 menjabat sebagai gubernur jenderal yang baru, dia membawa perintah dari raja Willem I (bertakhta 1813-1840) agar Diponegoro ditangkap atau dibunuh.
Mendapat perintah itu, tentu saja Jenderal De Kock berpikir keras bagaimana cara menangkapnya. Menurut Sang Jenderal, jika menangkap Diponegoro tanpa ada perundingan sangat sulit, karena Diponegoro sangat licin untuk ditangkap di tempat terbuka dan di medan perang.
Tidak berapa lama kemudian, De Kock menulis surat kepada Diponegoro apabila Diponegoro setuju untuk bertemu, maka Belanda akan sangat berterima kasih.
Sebenarnya, Diponegoro masih ragu dengan perkataan Belanda karena bisa jadi Belanda melakukan tipu daya. Melihat keraguan Diponegoro, kemudian Belanda mencari cara untuk meyakinkan Diponegoro, bahwa Belanda benar-benar ingin bertemu untuk membicarakan perdamaian.
Untuk itu Belanda meminta Kiai Pekih Ibrahim dan kawan lamanya Diponegoro, Haji Badarudin untuk menemani Kolonel Cleerens bertemu dengan Diponegoro di Remokamal, di Hulu Sungai Cingcingguling sekitar 16 km di utara Benteng Belanda di Remo.
Sebelum pertemuannya dengan Kolonel Cleerens, Diponegoro menguji seberapa besar niat baik Belanda untuk berdamai. Diponegoro meminta kepada Belanda yang kira-kira tidak mungkin dipenuhi oleh Belanda yaitu menyediakan kain hitam untuk sekitar 400 prajurit berkuda yang akan dikenakan pengawal Diponegoro di Remokamal.
Diponegoro juga meminta uang kontan sebesar 200 gulden. Tidak lupa Diponegoro juga meminta payung berwarna emas sebagai simbul kebesaran dan martabat kerajaan Diponegoro. Permintaan terakhir Diponegoro adalah dua buah gunting yang digunakan untuk memotong rambutnya yang mulai memanjang dan juga untuk memotong rambut prajuritnya yang sudah panjang.
Permintaan berat itu rupanya dipenuhi Belanda sehingga Diponegoro bersedia berunding dengan Kolonel Cleerens di Remokamal.
Diponegoro dan para prajuritnya berkuda menuju pertemuan itu. Karena masih merasa was-was dengan tipu daya Belanda, Diponegoro membawa keris pusakanya Kiai Bondoyudo yang diselipkan di pinggang depan untuk menolak bala. Sebenarnya saat itu Kolonel Cleerens sangat menaruh hormat kepada Diponegoro.
Saat itu Jenderal De Kock terus didesak pihak Batavia agar segera menangkap Diponegoro. De Kock kemudian memerintahkan kepada Kolonel Cleerens segera membujuk Diponegoro berangkat ke Magelang untuk menemui De Kock.
Diponegoro mengatakan, “Tidak ada gunanya berangkat ke Magelang, baiknya kita bertemu dengan De Kock dengan beramah tamah saja.” Diponegoro menambahkan, “Pembicaraan yang serius tidak mungkin dilakukan saat bulan puasa.”
Dalam pertemuan itu, Kolonel Cleerens berjanji atas nama Jenderal De Kock dengan mengatakan, “Jika perundingan itu tidak sesuai dengan kemauan Pangeran Diponegoro, dia akan dibiarkan kembali ke Bagelen untuk melakukan perlawanan tanpa diciderai.”
Bagi Sang Pangeran, janji dalam adat istiadat Jawa harus ditepati. Untuk itulah Diponegoro dengan Kolonel Cleerens sepakat perundingan dijadwalkan menunggu sampai bulan puasa telah usai, saat hari lebaran untuk halal bihalal.
Sebelum pertemuan di Wisma Residen Magelang, Diponegoro dan pengikutnya dalam menjalankan ibadah puasa ditempatkan Belanda di Metesih. Tempat ini adalah pulau kecil di tengah-tengah Sungai Progo (sekarang tempat itu masih ada).
Metesih adalah sebuah tempat yang tidak jauh letaknya dengan Wisma Residen Magelang, tempat rencana diadakan perundingan. Sementara itu, saat di Meteseh dalam menjalankan ibadah puasa, Jenderal De Kock juga nampak bersahabat dengan Sang Pangeran.
Rupanya Jenderal De Kock ingin mengambil hati Diponegoro dan pengikutnya agar mereka hilang kewaspadaan untuk ditangkap kolonial.
De Kock memberikan hadiah istimewa kepada Sang Pangeran, berupa seekor kuda abu-abu yang bagus dan uang 10.000 gulden yang diberikan dua kali secara bertahap untuk biaya hidup para pengikutnya selama bulan puasa di Metesih. Jenderal De Kock juga mengizinkan keluarga Sang Pangeran yang sedang ditawan di Yogyakarta dan Semarang untuk bergabung.
Sikap bersahabat De Kock juga nampak saat dia menyempatkan berkunjung ke kediaman Diponegoro di Metesih sebanyak 3 kali. Dua kali untuk jalan-jalan bersama Diponegoro setelah sholat Subuh dan satu kali De Kock datang sendiri ke kediaman Diponegoro satu hari sebelum bulan puasa.
Dalam babadnya (Babad Diponegoro, red), ia mengatakan bahwa tiga pertemuan itu berlangsung sangat menyenangkan dan santai. Keduanya bertukar canda sambil sesekali tertawa bersama sehingga suasana sangat menyenangkan.
Untuk memuaskan Diponegoro, Residen Magelang, Valck, juga sering mengunjungi Sang Pangeran, sambil menanyakan apa saja keperluan yang dibutuhkan oleh Sang Pangeran.
Banyaknya pengikut Diponegoro yang datang ke Mateseh itu sangat membutuhkan tempat tinggal. Untuk itu Belanda memerintahkan untuk membuat tempat tinggal sementara terbuat dari bambu. Agar pembuatan menjadi murah dan cepat, maka De Kock memerintahkan kerja paksa.
Perhatian dan sikap bersahabat dari Jenderal De Kock dan anak buahnya ini memang membuat Diponegoro benar-benar mempercayai Jenderal De Kock karena menurut Diponegoro Jenderal De Kock dianggap tulus ingin menyelesaikan perang dengan cara damai.
Dalam pikiran De Kock, kedatangan Diponegoro dan pengikutnya secara sukarela menunjukkannya telah kalah secara de facto. Sementara itu, selama bulan puasa, De Kock bertemu dengannya sebanyak tiga kali, yakni sebanyak dua kali saat jalan subuh di taman keresidenan dan satu kali ketika De Kock datang sendiri ke pesanggarahan.
Namun, mata-mata yang ditanamkan Residen Valck di kesatuan Diponegoro, Tumenggung Mangunkusumo, melaporkan bahwa Diponegoro tetap bersikeras mendapatkan pengakuan Belanda sebagai sultan Jawa bagian selatan ataupun sebagai ratu paneteg panatagama wonten ing tanah Jawi sedaya (raja dan pengatur agama di seluruh tanah Jawa atau kepala agama Islam).
Setelah itu, De Kock memberi perintah rahasia kepada dua komandannya pada 25 Maret 1830, yakni Letnan Kolonel Louis du Perron dan Mayor A.V Michels, mempersiapkan perlengkapan militer untuk mengamankan penangkapan Diponegoro.
Akhirnya, tanggal 28 Maret 1830, bertepatan dengan Idulfitri, Jenderal De Kock bertemu dengan Diponegoro. Jenderal De Kock didampingi Residen Kedu Valck, Letkol Roest (perwira De Kock), Mayor F.V.H.A de Stuers, dan penerjemah bahasa Jawa, Kapten J.J Roefs.
Pangeran Diponegoro didampingi ketiga putranya, penasihat agama, dua punakawan, dan panglima Basah Mertanegara. De Kock memulai pertemuan dengan meminta agar Diponegoro tidak usah kembali ke Metesih. Diponegoro merasa heran dan mempertanyakan kembali kepada De Kock alasannya tidak diizinkan kembali, padahal dia hanya bersilaturahmi menjelang akhir bulan puasa. De Kock langsung bicara akan menahan Diponegoro dan suasana pun langsung berubah tegang.
Diponegoro langsung meresponsnya dengan menanyakan mengenai penyebab dirinya harus ditahan. Dia merasa tidak bersalah dan tidak menaruh benci kepada siapa saja. Mertanegara menyela perbicaraan dan meminta agar masalah politik bisa diselesaikan lain waktu. De Kock langsung memotong perbicaraan dan menegaskan dengan nada tinggi bahwa masalah politik akan dituntaskan hari itu juga.
Diponegoro langsung berbicara dan menuding De Kock hatinya busuk karena keputusannya terburu-buru dan tidak pernah dibicarakan sebelumnya selama bulan puasa. Dia berbicara bahwa dia tidak memiliki keinginan lain, kecuali pemerintah kolonial Belanda mengakuinya sebagai kepala agama Islam di Jawa dan gelar sultan yang disandangnya.
De Kock kemudian memerintahkan Letkol Roest agar Du Perron menyiapkan pasukan. Diponegoro menjawab tindakan itu dengan mengatakan, “Dengan situasi seperti itu dan karena sifat jahatmu, aku tidak takut mati. Aku tidak takut dibunuh dan tidak bermaksud menghindarinya”.
De Kock terhenyak mendengar sikap keras Diponegoro dan dengan suara lirih berbicara bahwa dirinya tidak akan membunuh Diponegoro. Namun, tetap akan memenuhi keinginan Diponegoro. Sempat terbersit dalam benak Diponegoro untuk menghujam keris ke tubuh De Kock, tetapi niat itu diurungkan karena akan merendahkan martabatnya.
Setelah meminum teh dan menghampiri pengikutnya, Diponegoro beranjak keluar dan dia berhasil ditangkap. Dia bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Setelah ditangkap di Magelang, dia diasingkan ke Gedung Keresidenan Semarang yang berada di Ungaran, lalu dibawa ke Batavia pada 5 April 1830 dengan menggunakan kapal Pollux.
Diponegoro tiba di Batavia pada 11 April 1830 dan ditawan di stadhuis (Gedung Museum Fatahillah). Dia kemudian diasingkan ke Manado pada 30 April 1830 bersama istri keenamnya, Tumenggung Dipasena, dan para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruna.
Mereka tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan ditawan di Benteng Nieuw Amsterdam. Pada 1834, Diponegoro dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.***