Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Ratu Mas Blitar atau Ratu Mas Balitar dikenal sebagai wanita yang melahirkan raja-raja besar Mataram Islam, baik trah Surakarta maupun trah Yogyakarta.
Ratu Mas Blitar punya hubungan dengan Retno Dumilah, begini silsilahnya:
Retno Dumilah menikah dengan Panembahan Senopati, punya anak bernama Panembahan Juminah.
Panembahan Juminah punya putra bernama Adipati Blitar, punya cucu bernama Pangeran Blitar.
Nah, Pangeran Blitar inilah ayah dari Ratu Mas Blitar, yang kelak bergelar Ratu Pakubowono setelah menikah dengan Pakubuwono I.
Dari pernikahannya dengan Pakubuwono I, Ratu Mas Blitar dianugera beberapa putra.
Yang paling terkenal adalah yang kelak bergelar Sunan Amangkurat IV.
Dari Amangkurat IV lalu lahir Pakubuwono II dan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Arya Mangkunegara.
Pakubuwono II punya anak Pakubuwono IIL yang kelak memindahkan keraton Mataram Islam dari Kartasura ke Surakarta.
Sementara Pangeran Mangkubumi akhirnya memisahkan diri dan mendirikan keraton di Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I.
Arya Mangkunegara sendiri nantinya punya anak bernama Raden Mas Said yang kelak bergelar Mangkunegara I.
Sementara dari Hamengkubuwono I lahir salahnya seorang putra bernama Pangeran Natakusuma, pendiri Kadipaten Pakualaman.
Ratu Mas Blitar menjadi Bupati Madiun pada 1703 hingga 1704, itulah kenapa namanya tak setenar Retno Dumilah.
Ahli Spiritual dan Sastra
Di lingkungan keraton Kartasura, Ratu Mas Blitar dikenal sebgai sosok dekat dengan spiritualitas dan sastra.
Ratu Mas Blitar disebut sebagai satu-satunya sufi perempuan di Indonesia yang menulis dan menyalin karya sufistik Jawa.
Karya-karya itu di antaranya Carita Iskandar, Serat Yusuf, dan Kitab Usulbiyah.
Serat Iskandar ditulis pada 1729-1730 diterangkan bahwa agama Islam merupakan sumber kekuatan untuk menghadapi kekuatan kafir, pemeluk Majusi, dalam hal ini adalah VOC.
Dalam serat ini Ratu Mas Blitar juga terang-terangan mengkritik elite Mataram Islam yang berkompromi dengan Belanda.
Ratu Pakubuwana menikah dengan Pangeran Puger, yang pada 1704 memberontak terhadap Amangkurat III (bertakhta 1703–8; wafat 1734). Puger melarikan diri ke Semarang, pusat kumpeni Belanda di pesisir Jawa. Kumpeni mengakui dia sebagai Susuhunan Pakubuwana I (bertakhta 1704–19) dan mengumpulkan kekuatan untuk menyerang keraton Kartasura.
Sebelum penyerangan itu dapat dilaksanakan, pada 1705 Amangkurat III melarikan diri dari keratonnya ke Jawa Timur. Lalu Pakubuwana I bersama Ratu Pakubuwana masuk ke keraton yang ditinggalkan kosong itu. Akan tetapi ada isu yang cepat muncul: pusaka-pusaka kerajaan adalah barang-barang kebesaran bekekuatan gaib yang biasanya dianggap syarat mutlak sebelum seorang raja dianggap sah?
Soalnya, kebanyakan pusaka-pusaka itu selalu dirahasiakan dan hanya boleh dilihat atau dipegang oleh beberapa orang yang kekuatan spiritualnya setara dengan kekuatan gaib benda pusaka itu. Oleh karena itu, tidak banyak orang yang dapat mengenal pusaka-pusaka tersebut. Pakubuwana I menugaskan isterinya Ratu Pakubuwana untuk mencarikan dan mengidentifikasi pusaka-pusaka itu.
Itu merupakan bukti bahwa Sang Ratu adalah ahli ilmu gaib dalam lingkungan keraton. Akan tetapi, segera menjadi jelas bahwa hampir semua pusaka-pusaka –lebih dari 60 keris, tombak, dan sebagainya– dibawa oleh Amangkurat III waktu melarikan diri ke Jawa Timur.
Kisah pusaka-pusaka itu berlangsung cukup lama sehingga barang-barang itu akhirnya dikembalikan ke Kartasura pada 1737, sesudah Pakubuwana I dan Ratu Pakubuwana wafat.
Sang ratu itu juga muncul sebagai peminat dan pencipta beberapa buku penting yang hampir semuanya berakar dalam tradisi suci Islam. Dia tampil sebagai ingkang ayasa (yang menciptakan) naskah Serat Menak yang tertua yang pernah diketahui, ditulis pada 1715 dan masih tersimpan di Perpustakaan Nasional RI.
Serat Menak itu sebagian dari tradisi suci mengenai para nabi Islam. Tokoh utama dalam buku itu adalah Menak Amir Hamza, paman Nabi Muhammad. Sekitar awal 1720-an, Ratu itu juga tampil sebagai ingkang ayasa sebuah naskah yang berjudul Babad Jawi, yang menceritakan sejarah Jawa dari tokoh-tokoh legendaris yang paling awal (Adam, Watu Gunung dan sebagainya) sehingga zaman keraton Kartasura.
Diawasi VOC
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan Pakubuwana I, Ratu Pakubuwana –isteri utama (garwa padmi) sang raja itu– sangat berpengaruh. Pengaruhnya agak ditakuti oleh kompeni Belanda. Satu sumber VOC menggambarkan dia sebagai seorang yang ambisius dan mudah melepaskan rasa dendam. Dia ibu sang raja muda yang kelak menjadi Amangkurat IV (1719-26), tapi hubungan antara ibu dan anak itu cukup buruk.
Ratu Pakubuwana lebih suka anaknya lain, yakni Pangeran Purbaya. Seorang pangeran yang taat Islamnya dan juga lebih disukai oleh orang banyak, bersama dengan seorang anak Ratu Pakubuwana lain, Pangeran Blitar. Pakubuwana I sendiri, yang sudah tua (umur 70-an) dan sudah agak pikun, juga lebih suka Purbaya dan Blitar daripada raja mudanya. Akan tetapi, kompeni Belanda bersikeras bahwa raja muda itu harus tetap dipelihara sebagai penggantinya.
Pada tanggal 22 Pebruari 1719, Pakubuwana I wafat. Raja muda –sekarang Susuhunan Amangkurat IV– diantarkan ke keratonnya oleh wakil VOC di Kartasura. Tapi, selama dua bulan dia menolak untuk dilantik secara resmi sebagai raja baru, sementara menunggu konfirmasi dari markas besar kompeni Belanda di Batavia.
Selama dua bulan itu, dia minta supaya Ratu Pakubuwana memelihara pusaka-pusaka yang ada (yang tidak banyak pada waktu itu). Sekali lagi Sang Ratu tampil sebagai ahli ilmu gaib keraton.
Namun Ratu Pakubuwana dan cukup banyak tokoh keraton lain kurang senang pada Amangkurat IV dan lebih memihak Pangeran Blitar dan Purbaya. Pada Juni 1719, Pangeran Blitar memberontak dengan dukungan Purbaya dan kebanyakan tokoh agama di Kartasura.
Penyerangan mereka terhadap keraton ditentang oleh kekuatan Kumpeni dan akhirnya gagal. Para pemberontak terpaksa melarikan diri ke arah tanah Mataram (Kartasura, di wilayah tanah Pajang). Dengan demikian mulailah Perang Suksesi Jawa II (1719-23).
Pada akhir 1719, para pemimpin kompeni di Batavia menggambarkan Amangkurat IV sebagai ‘seorang raja yang ditinggalkan oleh semua rakyatnya dan menghadapi hampir semua dunia Jawa sebagai musuhnya’.
Pemberontakan itu sangat mengganggu hati Ratu Pakubuwana, yang harus menyaksikan perang berdarah di antara anak-anaknya. Menurut sumber Jawa Babad Utama Surakarta (versi yang selesai ditulis pada 1836), dia malah sempat berpikir untuk bunuh diri.
Karena dia sangat dicurigai oleh kompeni, Sang Ratu dijaga ketat di Kartasura oleh VOC. Selama perang itu berlangsung, ada dugaan bahwa Sang Ratu bersama tokoh-tokoh tinggi lain sebetulnya tetap memihak secara rahasia dengan para pemberontak.
Pemberontakan itu akhirnya gagal. Pangeran Blitar meninggal pada 1721 dan dikuburkan di Nitikan (sekarang bagian dari Yogyakarta). Pangeran Purbaya, bersama beberapa tokoh pemberontak lain, menyerah pada 1723. Purbaya ditahan oleh kompeni di Tangerang, dekat Batavia, dan wafat di situ pada 1726, sedangkan tokoh-tokoh lain diasingkan ke Sri Lanka.
Walaupun VOC dan Raja Amangkurat IV yang didukungnya menang dalam perang suksesi Jawa II itu, wenang Susuhunan itu tetap kurang stabil. Menurut sebuah laporan kompeni pada tahun 1720, sang Raja itu ‘dibenci oleh banyak orang dan kegiatan-kegiatannya diruntuhkan dan ditentang secara rahasia oleh ibunya sendiri, Ratu [Pakubuwana]’. Sang Ratu Pakubuwana tetap memainkan peranan yang menonjol dalam intrik-intrik keraton pada jaman Amangkurat IV itu.
Pada Maret 1726 Amangkurat IV jatuh sakit berat. Dia menyangka diracun dan mencurigai beberapa tokoh antara elit, termasuk ibunya, Ratu Pakubuwana. Tapi kelak, pada waktu sudah dekat dengan ajalnya, sang raja hanya mempercayai ibunya untuk mempersiapkan semua obat dan makanannya.
Itulah sesuatu yang agak mengejutkan, karena hubungan ibu-anak itu tidak pernah hangat. Pada waktu itu, Ratu Pakubuwana sudah tunanetra, toh masih sangat berpengaruh dalam lingkungan keraton. Pada 20 April 1726 Amangkurat IV akhirnya wafat.
Susuhunan baru, Pakubuwana II (bertahta 1726-49) adalah cucu muda Ratu Pakubuwana (umurnya baru 16 tahun) dan berada di bawah pengaruh eyang putrinya. Bagi Ratu Pakubuwana, raja muda ini memberikan kesempatan bagus baginya untuk membentuk karakter dan wewengan yang sesuai dengan harapan serta mimpi sang eyang putri.
Ratu Pakubuwana memimpikan sebuah kerajaan yang diilhami oleh kesalehan dan standar-standar Islam yang murni melalui gaya Sufi. Aliran tarekat sufi mana yang dianut oleh Ratu Pakubuwana tidaklah jelas, tapi pada waktu itu tarekat Shattariyah rupanya yang paling kuat antara kalangan elite Jawa, termasuk para perempuan elite.
Ratu Mas Blitar meninggal dunia pada 5 Januari 1732 di usia 75 tahun dan dimakamkan di Godean, Sleman, DIY.***