Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Perselingkuhan Ganda Berakhir Maut di Keraton Mataram Islam

badge-check


					Peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Plered Perbesar

Peninggalan Kerajaan Mataram Islam di Plered

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Amangkurat II tak hanya bermuslihat dalam hal politik, tapi juga asmara. Sebagaimana ayahnya yang mata keranjang, saat masih menjadi putra mahkota ia sudah menjalin hubungan gelap dengan istri Pangeran Singasari, yang tak lain adik iparnya sendiri.

Seturut C.F. Winter Sr. dalam Babad Tanah Jawi, The Chronicle of Java (2022:104), skandal tersebut tidak diketahui sang adik karena Raden Ayu Singasari, setali tiga uang dengannya, juga memiliki hubungan asmara dengan pria lain lagi. Ironisnya, pria bernama Pangeran Dhobras itu adalah salah satu anak Pangeran Pekik dari Surabaya.

Pangeran Pekik adalah mertua Amangkurat I sekaligus kakek sang putra mahkota dari pihak ibu. Artinya, diam-diam Raden Ayu Singasari bermain mata dengan kakak iparnya sendiri, yakni putra mahkota sekaligus paman putra mahkota yaitu Pangeran Dhobras.

Ketika mengetahui perselingkuhan istrinya dengan Pangeran Dhobras, Pangeran Singasari marah besar. Sementara itu, Amangkurat II melihat skandal tersebut sebagai jalan untuk mengaburkan fakta, yakni dengan pura-pura bersimpati pada sang adik sembari memanas-manasinya dengan berbagai gosip tentang hubungan gelap tersebut.

Pangeran Singasari akhirnya menjebak Pangeran Dhobras dengan mengajaknya pergi ke area perbukitan. Di tempat tersebut, ia menghabisi nyawanya. Jenazah Pangeran Dhobras kemudian dibuang di sebuah sumur. Di bagian atas sumur itu ditanam pohon pisang sebagai penanda.

Babad Tanah Jawi pernah menceritakan peristiwa pembunuhan tersebut. Dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek karya J.J. Meinsma, disebutkan bahwa pembunuhan terhadap Raden Dobras memang benar dilakukan Pangeran Singasari.

Pemicunya adalah Raden Dobras melakukan serong dengan istri Pangeran Singasari, Raden Ayu Singasari. Tidak hanya dengan putra Pangeran Pekik, sang istri juga memiliki kekasih lain, yakni: Pangeran Adipati Anom.

“Ketika putra mahkota tahu bahwa istri Singasari juga berbuat serong dengan Raden Dobras diberi tahunya adiknya perihal penyelewengan istrinya itu,” ujar De Graaf.

Setelah mendapat informasi tersebut, imbuh Meinsma, Pangeran Singasari lantas mengundang Raden Dobras. Dia lalu membawanya ke sebuah kebun di pegunungan. Di tempat itulah Raden Dobras dibunuh. Mayatnya kemudian dilemparkannya ke dalam sumur. Keesokan harinya, Pangeran Pekik meminta seseorang mencari putranya. Dia pun mendapati putranya telah menjadi mayat.

Rupanya tidak hanya cerita tutur saja yang mencatat peristiwa pembunuhan tersebut. Sebuah laporan dari pejabat pemerintahan Belanda di Mataram juga merekamnya. Menurut peneliti Belanda Francois Valentijn, seperti dikutip De Graaf, kisah perselisihan dua pangeran itu cukup terkenal di kalangan orang-orang Belanda.

Meski ada sedikit perbedaan dengan kisah dari Babad Tanah Jawi, seperti nama Raden Dobras menjadi “Radin du Bras”, dan istri Pangeran Singasari dikenal dengan nama “Ratu Blitar”.

“Konon, pada suatu malam putra mahkota bersama beberapa orang kawan, di antaranya Radin du Bras mengunjungi istri Pangeran Singasari sejak pukul 12 sampai pukul 3 dini hari, ketika Pangeran Singasari sedang bersembahyang di masjid. Ketika suami yang dikhianati itu pulang, mereka lari: tetapi Radin du Bras tidak sempat kabur, sehingga tertangkap. Karena ia tidak mau mengkhianati putra mahkota, dan tidak mau menjawab segala pertanyaan yang diajukan, ia ditikam dengan keris oleh Pangeran Singasari, dan dengan diam-diam dikuburkan di belakang rumah,” ungkap Valentijn, sebagaimana dikutip De Graaf.

Mengenai benar atau tidaknya tindakan serong Pangeran Adipati Anom dengan adik iparnya, Ratu Blitar, De Graaf mencatat jika laporan pejabat Belanda, De opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost Indie, membenarkannya. Hubungan mereka bahkan masih terjalin hingga tahun 1679, setelah Pangeran Adipati Anom menduduki takhta bergelar Amangkurat II. Sementara Pangeran Singasari ketika itu sudah tiada.

“Sulit untuk diragukan apakah kedua pangeran itu benar-benar terlibat dalam persoalan gawat mengenai seorang wanita, Ratu Blitar. Kenyataan kuat mengenai pertengkaran ini ialah adanya Ratu Blitar itu sendiri,” tulis De Graaf.

Persidangan yang Aneh

Kasus itu sendiri mengalami sebuah persidangan di kerajaan menggemparkan rakyat dan pejabat VOC. Dua pangeran Mataram, Pangeran Adipati Anom dan Pangeran Singasari, menjadi aktor utama persidangan. Kasus yang diperkarakan ketika itu adalah pembunuhan putra Pangeran Pekik, Raden Dobras, yang mayatnya ditemukan di dalam sebuah sumur.

Dalam persidangan yang menghadirkan Sunan Mataram Amangkurat I itu, Putra Mahkota menuduh adiknya sebagai pembunuh Raden Dobras. Menurut kesaksiannya, suatu malam Pangeran Singasari mengundang korban makan malam dan setelah itu tidak pernah kembali pulang.

Pangeran Singasari menyangkal pernyataan kakaknya itu. Menurutnya pada malam tersebut, setelah pulang dari masjid, Pangeran Singasari menjumpai seorang pencuri masuk ke rumahnya. Tanpa mengenal siapa pencuri tersebut, Pangeran Singasari langsung membunuhnya.

Setelah mendengar penjelasan kedua pangeran Mataram, persidangan menghadirkan para abdi istana Singasari. Dikisahkan sejarawan Belanda H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram, Amangkurat I lalu bertanya kepada mereka mengenai keributan yang terjadi saat malam pembunuhan. Tetapi para abdi mengatakan jika malam itu mereka tidak mendengar ada keributan atau tanda bahaya apapun. Sebagaimana tradisi yang berlaku di Mataram kala itu, setiap ada keributan pasti ada bunyi bende sebagai tanda bahaya.

Mendengar jawaban para abdi, Amangkurat I menyatakan jika putranya tidak bersalah. Seandainya ada keributan para abdi yang seharusnya bertugas membunyikan tanda bahaya. Karena tidak dibunyikan artinya memang tidak ada keributan malam itu. Persidangan pun ditutup. Namun tidak lama setelah itu, Amangkurat I mengeluarkan titah yang tidak masuk akal. Melalui seorang mantri terkemuka, Sunan mengeluarkan titah agar 34 abdi Pangeran Singasari dibunuh di alun-alun.

“Keputusan terakhir itu sungguh menimbulkan keheranan,” kata De Graaf. “Ternyatalah bahwa kematian 34 orang pengikut Pangeran Singasari itu bukanlah berdasarkan hukum pengadilan, tetapi merupakan pembunuhan.”**

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Hamengkubuwono I Hancurkan VOC dengan Wabah Cacar yang Disebarkan Secara Spiritual

12 April 2025 - 10:23 WIB

Cerita Hari Ini: Pangeran Mangkubumi Jadi Sultan Jogja Melalui Perjanjian Giyanti

11 April 2025 - 10:34 WIB

Geger Rumah Tangga Pakubuwono III: Ratu Kencana Asal Madura Bikin Raja Lari Tunggang Langgang Sampai Celana Lepas

10 April 2025 - 17:30 WIB

Cerita Hari Ini: Pakubuwono III, Raja Jawa Pertama yang Dilantik VOC

9 April 2025 - 17:30 WIB

Terinfeksi Prion, Manusia dan Hewan Mirip Seperti Zombie

8 April 2025 - 09:32 WIB

Cerita Hari Ini: Amangkurat V Raja Jawa yang Diangkat oleh Etnis Tionghoa

8 April 2025 - 09:19 WIB

Cerita Hari Ini: Ratu Mas Blitar Ibu Raja-raja Mataram Islam yang Menyaksikan Anakn-anaknya Berebut Tahta

7 April 2025 - 11:17 WIB

Menulis dengan Tangan Bantu Belajar Lebih Intensif

6 April 2025 - 10:50 WIB

Cerita Hari Ini: Pangeran Blitar Nyaris Dongkel Amangkurat IV

6 April 2025 - 09:50 WIB

Trending di Uncategorized