Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pada 1861 sampai dengan 1893, Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh Pakubuwono IX. Dia merupakan anak dari Pakubuwono VI yang meninggal pada 2 Juni 1849.
Lahir pada 22 Desember 1830, Pakubuwono IX memiliki nama asli Raden Mas Suryo Duksina. Saat menginjak dewasa, dia mendapatkan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Prabuwijaya.
Semasa pemerintahannya, Pakubuwono IX aktif dalam menulis karya sastra. Beberapa karyanya yang terkenal adalah Serat Wulang Puteri, Serat Jayeng Sastra, Serat Menak Cina, dan Serat Wirayatna.
Karya-karya tersebut berisi tuntunan agar selalu mengingat Sang Pencipta, keteguhan dalam menjalani hidup, dan budi pekerti yang luhur. Sebagian besar karya Pakubuwono IX memuat tentang tapa brata guna, yaitu sebuah pikiran untuk mencari ketenangan dan terus berbuat baik.
Pada era yang sama, pujangga besar bernama Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito hidup. Layaknya Pakubuwono IX, dia juga jago membuat karya sastra. Sayangnya, bukannya bersinergi membuat karya-karya besar, hubungan keduanya justru nggak harmonis.
Buruknya kedua tokoh ini dipicu oleh pembuangan ayah Pakubuwono IX ke Ambon oleh Belanda pada 1830. Alasannya, dia dianggap bersekutu dengan Pangeran Diponegoro. Masalahnya, muncul isu bahwa hal ini diadukan oleh juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara atau ayah dari Ronggowarsito.
Isunya, Pajangswara ditangkap dan dimintai kesaksian oleh Belanda. Dia disiksa hingga tewas. Nah, pada saat interogasi sadis itulah, Pajangswara memberikan informasi terkait hubungan ayah Pakubuwono IX dengan Pangeran Diponegoro.
Meski nggak bisa dipastikan kebenarannya, kabar burung ini sudah cukup untuk merusak hubungan harmonis dari keluarga Pakubuwono IX dan Pajangswara. Ketidakharmonisan ini menurun sampai anak-anaknya.
Ronggowarsito yang merasa ayahnya nggak berbuat kesalahan tetap menghormati keluarga Pakubuwono IX. Dia bahkan mempersembahkan Serat Cemporet yang berisi nilai-nilai pendidikan kepada Pakubuwono IX.
Belanda yang nggak ingin hubungan dua keluarga ini kembali harmonis pun kembali berulah. Mereka menganggap Ronggowarsito sebagai jurnalis berbahaya. Tulisan-tulisannya dianggap provokatif dan dikhawatirkan bisa membangkitkan semangat kaum pribumi.
Tekanan yang bertubi-tubi dari penjajah membuat Ronggowarsito menyerah. Dia memutuskan untuk undur diri sebagai redaksi surat kabar Bramartani pada 1870 dan menikmati masa tuanya hingga meninggal pada 24 Desember 1873. Tapi, tanggal meninggalnya ini cukup aneh karena sama persis dengan tanggal perilisan Serat Sabdajati. Diduga, dia meninggal karena dieksekusi Belanda.
Sementara itu, Pakubuwono IX masih melanjutkan kepemimpinannya hingga tutup usia pada 17 Maret 1893. Tampuk kepemimpinan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pun berpindah ke puteranya, Pakubuwono X.
Ketidakarmonisan kedua tokoh ini konon juga disebabkan soal ramal meramal.
Konon, kisah kelahiran PB X cermin ketidakharmonisan hubungan antara PB IX dengan pujangga Raden Ngabehi Ronggowarsito. Dikisahkan, pada saat G.K.R.Pakubuwono sedang hamil, Pakubuwono IX bertanya kepada Ronggowarsito apakah beliau kelak menurunkan bayi laki-laki atau perempuan.
Ronggowarsito menjawab bahwa kelak akan lahir “hayu”. Pakubuwono IX sangatlah kecewa atas jawaban tersebut dan mengira anaknya akan lahir “ayu” = cantik alias perempuan. Padahal berharap bisa mendapatkan putra mahkota dari Ratu Pakubuwono .
Selama berbulan-bulan Pakubuwono IX menjalani puasa atau tapa brata berharap anaknya tidak lahir perempuan. Akhirnya, Ratu Pakubuwono melahirkan Sayyidin Malikul Kusno. Pakubuwono IX dengan bangga menuduh ramalan Ronggowarsito tersebut meleset.
Ronggowarsito menjelaskan bahwa istilah hayu bukan berarti ayu atau “cantik”, tetapi singkatan dari “rahayu”, yg berarti “selamat”. Mendengar jawaban Ronggowarsito ini, Pakubuwono IX merasa dipermainkan, karena selama berbulan-bulan beliau terpaksa menjalani puasa berat. Ya saat itu memang belum ada USG ya…jadi kisruh begini.***