Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Konflik selalu terjadi di dalam keluarga Kerajaan Mataram Islam. Perselisihan ini terjadi karena adanya perebutan tahta kerajaan. Perselisihan melibatkan tiga tokoh kerajaan, yaitu Susuhunan Pakubuwana II, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said atau juga dikenal sebagai Pangeran Sambernyawa.
Ditambah peran VOC yang punya kekuatan militer dan kerajaan Mataram punya utang perang keadaan semakin runyam.
Ketiganya memiliki silsilah keluarga yang dekat. Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi adalah dua bersaudara yang juga putra dari Amangkurat IV, sedangkan Raden Mas Said adalah cucu dari Amangkurat IV, keponakan dari Pakubuwana II dan Pangeran Mangkubumi.
Setelah Amangkurat IV meninggal dunia, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said merasa berhak mewarisi tahta yang ditinggalkannya. Namun, VOC saat itu malah mengangkat Prabasuyasa atau Pakubuwana II untuk menjadi raja Kesultanan Mataram.
Pusat Kesultanan Mataram yang semula berada di Kartasura, oleh Pakubuwana II dipindahkan ke Surakarta karena istana di Kartasura rusak akibat pemberontakan Sunan Kuning pada 1742.
Raden Mas Said yang merupakan anak dari putra sulung Amangkurat IV, merasa jauh lebih berhak memegang tahta Kesultanan Mataram. Ayah dari Raden Mas Said, Pangeran Arya Mangkunegara adalah sosok yang seharusnya mewarisi tahta yang ditinggalkan Amangkurat IV.
Namun, Pangeran Arya Mangkunegara tidak mau tunduk kepada VOC. Ia diasingkan dan tidak mendapatkan haknya sebagai penerus Amangkurat IV.
Maka dari itu, Raden Mas Said melakukan perlawanan kepada VOC dan Pakubuwana II. Raden Mas Said ingin membalas dendam atas apa yang VOC lakukan kepada ayahnya dan juga menuntut VOC dan Pakubuwana II untuk menyerahkan tahta kepadanya.
Jalannya perlawanan
Pada umur remaja, Raden Mas Said resah karena karena sikap Pakubuwono II yang menempatkannya sebagai Gandhek Anom (Bangsawan Rendahan) di Mataram. Padahal seharusnya ia mendapat kedudukan sebagai Pangeran Sentana.
Raden Mas Said memutuskan keluar dari istana dan melakukan pemberontakan di berbagai daerah Mataram bersama para bangsawan yang merasa kecewa dengan pemerintahan Pakubuwono II seperti Sutawijaya dan Suradiwangsa.
Pemberontakan yang dilakukan oleh RM Said dan pasukannya sangat meresahkan Pakubuwono II, sehingga ia membuat sayembara untuk mengatasi pemberontakan tersebut.
Barangsiapa mampu meredam pemberontakan RM Said, ia akan diberi tanah seluas 3.000 hektar. Pangeran Mangkubumi menerima sayembara tersebut dan mampu memukul mundur RM Said dan pasukannya dari daerah Sokawati.
Namun setelah mampu meredam perlawanan RM Said, Mangkubumi dikecewakan dengan pelanggaran janji Pakubuwono II yang telah dihasut oleh VOC sebelumnya.
VOC menganggap hadiah tanah seluas 3.000 hektar terlalu berlebihan dan menyuruh Pakubuwono II untuk menyerahkan hanya 1000 hektar kepada Mangkubumi.
Peristiwa pengingkaran janji dan tindakan semena-mena Pakubuwono serta VOC menyebabkan Mangkubumi berbalik arah melawan mereka.
Mangkubumi bergabung dengan perlawanan Raden Mas Said pada 1746. Dalam buku Yogyakarta dibawah Sultan Mangkubumi 1749-1792 (2002) karya M.C Ricklefs, disebutkan bahwa hingga akhir 1947 Mangkubumi memiliki 13.000 pasukan dengan 2.500 diantaranya adalah pasukan berkuda.
Perlawanan Mangkubumi dan RM Said meluas di seluruh wilayah Mataram hingga Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka mampu memenangkan pertempuran di Juwana, Grobogan dan sempat membakar sejujlah rumah dan mengancam keraton.
Perlawanan Mangkubumi berakhir ketika VOC mengadakan perjanjian damai dengan Mangkubumi. Perjanjian tersebut dilaksanakan pada Februari 1755 di desa Giyanti (ejaan Belanda), sekitar desa Jantiharjo, Karanganyar.
Isi dari perjanjian Giyanti mengatur tentang pembagian wilayah dan kedudukan Mataram menjadi 2, yaitu Kasunanan dan Kasultanan.
Perjanjian Giyanti
Peristiwa ini terjadi pada 13 Februari 1755 yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian di Desa Giyanti, Dukuh Kerten, Jantiharjo, Karanganyar, Jawa Tengah.
Perjanjian Giyanti berupa perjanjian antara VOC dengan pihak Kerajaan Mataram Islam yang diwakili oleh Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi.
Pada 22-23 September 1754 VOC mengundang Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi untuk membahas pembagian wilayah kekuasaan Mataram.
Pertemuan tersebut kemudian mencapai kesepakatan pada 13 Februari 1755 dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti yang membagi Mataram Islam menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.
Pangeran Mangkubumi mendapat setengah wilayah dan membentuk Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia menjadi raja dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Adapun beberapa poin dari isi Perjanjian Giyanti adalah:
1. Pangeran Mangkubumi diangkat menjadi Sultan Hamengkubuwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifattullah dengan separuh dari kerajaan Mataram, dan hak kekuasan diwariskan secara turun-temurun.
2. Senantiasa diusahakan kerja sama antara rakyat yang berada di bawah kekuasaan VOC dengan rakyat kesultanan.
3. Sebelum Pepatih Dalem dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus melakukan sumpah setia pada VOC di tangan Gubernur.
4. Sri Sultan tidak akan mengangkat atau memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati sebelum mendapatkan persetujuan dari VOC.
5. Sri Sultan akan mengampuni Bupati yang memihak VOC dalam peperangan.
6. Sri Sultan tidak akan menuntut haknya atas Pulau Madura dan daerah-daerah pesisir yang telah diserahkan oleh Sri Sunan Pakubuwana II kepada VOC dalam kontraknya tertanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya, VOC akan memberi ganti rugi kepada Sri Sultan sebesar 10.000 real tiap tahunnya.
7. Sri Sultan akan memberi bantuan kepada Sri Sunan Pakubuwana III sewaktu-waktu jika diperlukan.
8. Sri Sultan berjanji akan menjual bahan-bahan makanan dengan harga tertentu kepada VOC.
9. Sultan berjanji akan menaati segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara penguasa Mataram terdahulu dengan VOC, khususnya perjanjian-perjanjian yang dilakukan pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749.***