Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pakubuwana I wafat pada tahun 1719 setelah memerintah Kesultanan Mataram selama 15 tahun. Pengganti Pakubuwana I adalah Raden Mas Suryaputra yang bergelar Amangkurat IV. Amangkurat IV adalah putra Pakubuwana I.

Para sejarawan menyebutkan bahwa Sunan Amangkurat IV merupakan Wiji Ratu Tanah Jawa. Mengingat dari benihnya, lahirlah raja-raja di tanah Jawa.
Sunan Amangkurat dari pernikahannya dengan Ratu Amangkurat (permaisuri) memiliki Raden Mas Prabasuyasa yang kelak menjadi raja di Kasunanan Kartasura bergelar Sunan Pakubuwana II. Hal itu dikutip dari “Untung Surapati Melawan VOC Sampai Mati : Kisah dan Sejarah Hidup Untung Surapati Sejak Jadi Budak hingga Pahlawan”.
Sedangkan dari istrinya yang lain, yakni Mas Ayu Tejawati, kelak lahir Raden Mas Sujono, Pangeran Mangkubumi, atau Sri Sultan Hamengku Buwana I yang merupakan pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Sementara dari Mas Ayu Karoh lahirlah Arya Mangkunegara – ayah Raden Mas Said, Pangeran Sambernyawa, atau KGPAA Mangkunegara I yang merupakan pendiri Praja Mangkunegaran.
Sebagaimana masa pemerintahan Kasunanan Kartasura sebelumnya, masa raja-raja pemerintahan Sunan Amangkurat IV pula diwarnai sejumlah pemberontakan.
Pengangkatan Amangkurat IV yang pro-VOC tidak didukung oleh paman dan adik-adiknya.
VOC menyebut Amangkurat IV sebagai penguasa yang dimusuhi oleh hampir seluruh rakyat Tanah Jawa.
Hal itu karena setelah kendali Kerajaan Mataram Islam dipegang Amangkurat IV, rakyatnya terpecah ke dalam banyak golongan yang menentang kedudukan raja.
Konflik bermula saat Amangkrat IV menurunkan pangkat serta mengambil wilayah kekuasaan dua adiknya, yaitu Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya, yang dirasa terlalu besar.
Pada Juni 1719, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya yang sakit hati terhadap tindakan kakaknya melancarkan serangan ke Keraton Kartasura.
Mereka didukung oleh putra-putra Untung Surapati, kalangan ulama di istana, dan mendapatkan simpati dari sang ibu, Ratu Pakubuwono.
Pangeran Blitar memiliki nama asli Raden Mas Sudomo.
Ia adalah anak dari Pakubuwana I dengan permaisuri Ratu Mas Balitar, yang merupakan keturunan dari Pangeran Juminah atau Blitar.
Merupakan putra dari Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Islam.
Pangeran Blitar memiliki hubungan darah dengan raja-raja Mataram sebelumnya dan juga dengan Untung Suropati, pahlawan perlawanan terhadap VOC.
Pada Juni 1719, Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya menyerang Keraton Kartasura, ibu kota Mataram saat itu.
Pangeran Blitar kemudian membangun kembali kota Karta, bekas istana Mataram zaman Sultan Agung.
Ia mengangkat diri sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustafa Paku Buwana, dan kerajaannya disebut Mataram Kartasekar.
Namun, keberhasilan Pangeran Blitar tidak bertahan lama. Amangkurat IV dan VOC segera melakukan serangan balasan dengan bantuan pasukan dari Madura dan Bali.
Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya pun mundur ke Yogyakarta, tepatnya di Kartasari yang pernah menjadi kedudukan Sultan Agung.
Di situlah Pangeran Blitar dinobatkan sebagai raja bergelar Sultan Ibnu Mustapa Pakubuwana Senapati Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panatagama.
Pangeran Purbaya diangkat menjadi panglima perang bergelar Panembahan Purbaya.
Sultan Ibnu Mustapa terus memberontak terhadap Amangkurat IV, tetapi dengan cara berbeda.
Pemberontakan tidak dilakukan dengan serangan, tetapi dengan tidak menyerahkan upeti ataupun menghadap Amangkurat IV, dan melakukan perluasan wilayah.
Adik tiri Amangkurat IV, yakni Pangeran Dipanagara, juga memberontak.
Pangeran Dipanagara pada masa pemerintahan Pakubuwono I ditugaskan ke daerah Jawa Timur dan dinobatkan sebagai raja bawahan Mataram bergelar Panembahan Herucakra dengan kedudukan di Madiun.
Selain dari adik-adiknya, Amangkurat IV juga menghadapi penolakan dari pamannya, Arya Mataram.
Arya Mataram, yang awalnya tidak ambil tindakan, akhirnya memberontak dengan meninggalkan istana Kartasura menuju pesisir utara Jawa.
Di daerah Pati, Arya Mataram pun menobatkan diri menjadi raja dengan nama Sunan Kuning.
Dengan begitu, rakyat Mataram Islam terbagi menjadi empat kubu, yakni kubu Amangkurat IV, kubu Pangeran Blitar-Pangeran Purbaya, kubu Pangeran Dipanagara, dan kubu Arya Mataram, yang menandai dimulainya Perang Takhta Jawa II.
Akhir Perang Takhta Jawa II
Satu-satunya cara Amangkurat IV mempertahankan takhtanya adalah dengan meminta bantuan kepada VOC.
Pasukan VOC yang ada di Semarang dipanggil untuk mengamankan Amangkurat IV di Kartasura.
Setelah strategi disusun, sebagian pasukan VOC dan prajurit dari Kartasura pertama-tama ditugaskan untuk menumpas Arya Mataram.
Arya Mataram menyerah setelah dijepit oleh pasukan VOC di Jepara dan akhirnya dibunuh.
Setelah itu, pasukan gabungan VOC dan Kartasura ditugaskan untuk menyerang kedudukan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya di Kartasari.
Karena kekuatan yang tidak seimbang, keraton Kartasari hancur dan beberapa pejabatnya dihabisi pasukan gabungan VOC dan Kartasura.
Hal itu membuat Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya melarikan diri ke Jawa Timur.
Selama beberapa bulan berikutnya, dua pangeran ini terus diburu oleh VOC sehingga harus berpindah-pindah tempat di pedalaman Jawa Timur.
Dalam pengejaran, Pangeran Blitar jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada 1721 di daerah Malang.
Pangeran Blitar si pemberontak ini adalah putra kesayangan Ratu Mas Blitar adalah keturunan Panembahan Juminah, bekas bupati Madiun yang menurunkan jalur keturunan dengan gelar Blitar. Gelar ini menurun kepada putranya Pangeran Blitar sang pemimpin Perang Suksesi Jawa II.
Pengejaran terhadap Pangeran Purbaya dilanjutkan VOC, yang juga mengiriminya surat.
Dalam surat tersebut VOC meminta agar Pangeran Purbaya menyerah karena peperangan tidak akan ada ujungnya.
Pangeran Purbaya mau kembali ke Kartasura, asalkan seluruh punggawanya dan Pangeran Dipanagara diampuni.
Pada 1723, Perang Takhta Jawa II berakhir dengan pengasingan Pangeran Dipanagara ke Tanjung Harapan karena terbukti melakukan pemberontakan.
Sementara itu, Pangeran Purbaya diizinkan hidup di Tangerang di bawah pengawasan VOC.
Keputusan itu merupakan strategi VOC, yang mengamankan Pangeran Purbaya sebagai cadangan untuk menggantikan Amangkurat IV apabila hubungan mereka memburuk.
VOC memandang Pangeran Purbaya memiliki legitimasi yang sama dengan Amangkurat IV.
Dengan bantuan dari VOC, Amangkurat IV berhasil memenangkan Perang Takhta Jawa II sekaligus mempertahankan takhta Mataram Islam.
Perang suksesi kedua merupakan embrio meletupnya perang suksesi berikutnya yang berlangsung lebih dahsyat. Tokoh lain yang ikut serta begabung dengan kalangan pemberontak adalah Pangeran Arya Mangkunegara, putra dari Sunan Amangkurat IV.
Pangeran ini kelak menurunkan putra bernama Raden Mas Said, tokoh pemberontak dan pejuang tanah Jawa yang dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa.