Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III sebagai susuhunan tetap melanjutkan pemerintahan di Surakarta, sedangkan Mangkubumi bergelar Hamengkubuwana I menjadi sultan di Yogyakarta. Kemudian, Mangkubumi resmi menjadi sultan namun ia belum mendirikan keraton untuk tempat pemerintahnya. Untuk mendirikan keraton Mangkubumi kepada VOC mengajukan uang persekot sewa pantai utara Jawa tetapi VOC saat itu belum memiliki yang diminta oleh Mangkubumi.
Pada bulan April 1755 Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota Kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya. Sebelumnya, di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ayogya sebuah dalem yang bernama Dalem Garjiwati; lalu dinamakan ulang oleh Pakubuwana II sebagai Dalem Ayogya.[4] Oleh karena itu, ibu kota baru dari kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat.
Sejak tanggal 7 Oktober 1756 Hamengkubuwana I pindah dari desa Banaran menuju Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaannya menjadi lebih populer. Kesultanan yang dipimpin oleh Hamengkubuwana I kemudian lebih dikenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta atau Kesultanan Ngayogyokarta Hadiningrat.
Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berambisi ingin mengembalikan Mataram menjadi kerajaan yang utuh. Surakarta saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III yang mendapat perlindungan dari Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk memerangi Surakarta sulit diwujudkan, apalagi masih ada kekuatan ketiga yaitu Mangkunagara I yang memiliki ambisi yang sama, sehingga cita cita menyatukan kembali Mataram yang utuh bukan monopoli seorang saja.
Pada tahun 1788 Pakubuwana IV naik takhta. Ia merupakan raja yang jauh lebih cakap daripada ayahnya. Pakubuwana IV sebagai susuhunan memiliki kesamaan dengan Hamengkubuwana I. Pakubuwana IV juga berambisi mengembalikan keutuhan Mataram.
Dalam langkah politiknya Pakubuwana IV mengabaikan atas berdirinya Yogyakarta dengan mengangkat saudaranya menjadi Pangeran Mangkubumi, hal yang menyebabkan ketegangan dengan Hamengkubuwana I. Setelah pengangkatan saudaranya menjadi pangeran, Pakubuwana IV juga tidak mengakui hak waris takhta adipati anom (putra mahkota) Yogyakarta.
Pihak VOC mulai resah menghadapi raja baru tersebut karena ancaman perang terbuka di Jawa kembali bisa menyebabkan keuangan VOC terkuras.
Pakubuwana IV mengambil langkah konfrontatif dengan Yogyakarta dengan tidak mau mencabut nama Mangkubumi untuk saudaranya. Memang dalam Perjanjian Giyanti tidak diatur secara permanen soal suksesi Kesultanan Yogyakarta, sehingga sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini dapat dimengerti bahwa penguasa Surakarta memahami tanggung jawab kerajaan.
Sikap konfrontatif Pakubuwana IV ini beriring dengan munculnya penasihat penasihat spiritual yang beraliran keagamaan dan ini yang meresahkan VOC dan dua penguasa lainnya, karena ancaman perang yang meluluh lantahkan Jawa bisa terulang kembali.
Pada tahun 1790 Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I kembali bersekutu bersama untuk pertama kalinya sejak zaman pemberontakan dulu. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta karena Pakubuwana IV memiliki penasihat spiritual yang membuat khawatir VOC.
Pakubuwana IV akhirnya menyerah untuk membiarkan penasihat spiritualnya dibubarkan oleh VOC. Ini adalah kerja sama dalam kepentingan yang sama yaitu mencegah bersatunya penasihat spiritual dengan golongan bangsawan yang merupakan ancaman potensial pemberontakan kembali.
Hamengkubuwana I pernah berupaya agar putranya dikawinkan dengan putri Pakubuwana III dengan tujuan untuk mempersatukan kembali Mataram namun gagal. Pakubuwana IV yang merupakan pewaris takhta Pakubuwana III lahir untuk menggantikan peran ayahnya.
Rasa benci Hamengkubuwana I terhadap penjajah asing ini kemudian diwariskan kepada Hamengkubuwana II, raja selanjutnya. Maka, tidaklah berlebihan jika pemerintah Republik Indonesia menetapkan Hamengkubuwana I sebagai pahlawan nasional pada tanggal 10 November 2006 beberapa bulan sesudah gempa melanda wilayah Yogyakarta
Keberadaan Prajurit Keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari perang antara Pangeran Mangkubumi melawan VOC (1746-1755). Dalam perang yang disebut juga sebagai “Perang Mangkubumen” ini, Pangeran Mangkubumi dibantu oleh banyak pihak, termasuk kerabat dari lingkungan keraton. Di antaranya ada Raden Rangga Prawirasentika, Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Singasari, Pangeran Hangabehi, dan Raden Mas Said. Beberapa kerabat tersebut memiliki pasukan sendiri yang tentu saja turut serta dalam perang yang dijalankan oleh pemimpin mereka.
Hamengkubuwana I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai sultan terbesar Yogyakarta layaknya Sultan Agung. Yogyakarta memang negeri baru namun kebesarannya waktu itu telah berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara VOC di Jawa.
Tidak mengherankan apabila kemudian kekuatan militer Keraton Yogyakarta pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono I tergolong sangat kuat. Sebagai gambaran, pada tahun 1781, Sri Sultan Hamengku Buwono I mampu memenuhi permintaan bantuan dari Belanda yang sedang berperang melawan Inggris. Sri Sultan Hamengku Buwono I mengirim 1132 prajurit ke Batavia. Jumlah itu terdiri dari 1000 prajurit biasa, 100 pasukan milik Putra Mahkota (Adipati Anom), dan 32 perwira yang terdiri dari para pangeran.***