Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Karaeng Galesong Trengginas Setelah Nikahi Putri Trunojoyo, Hancurkan Mataram di Plered

badge-check


					Pejuang dari Makassar anti-VOC Perbesar

Pejuang dari Makassar anti-VOC

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-Karaeng Galesong adalah seorang pejuang dan salah satu bangsawan Makassar yang sangat membenci VOC.

Sejak masih muda, ia telah berjuang bersama sang ayah, Sultan Hasanuddin, untuk mengusir bangsa penjajah dari tanah kelahirannya.

Setelah pamor Kerajaan Gowa-Tallo jatuh, Karaeng Galesong mengembara bersama anak buahnya untuk memerangi VOC di Jawa hingga akhir hidupnya.

Selain bangsa Eropa, Galesong juga tercatat dalam sejarah berhasil menghancurkan istana Mataram di Plered. Galesong meski tidak berumur panjang, dikenang sejarah sebagai salah satu putera terbaik Nusantara dari pulau rempah-rempah.

Karaeng Galesong adalah harta berharga Kerajaan Gowa (Makassar, Sulawesi Selatan). Ia adalah putra Sultan Hasanuddin, tapi bukan putra mahkota. Galesong adalah putra keempat sultan dari istri yang bernama I lo’mo Tobo.

Saat masih berusia muda, Galesong sudah sering diterjunkan dalam peperangan untuk meredam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa. Bakatnya sebagai ahli strategi dan panglima perang sudah terasah sejak usia belia.

Nama asli Karaeng Galesong adalah I Manindori. Nama gelar lengkapnya adalah Karaeng Galesong Karaeng Tojeng. Selain ahli seni perang, Galesong adalah kesatria gagah perkasa yang menguasai ilmu pengetahuan tinggi. Galesong adalah nama sebuah daerah Kerajaan Gowa di bagian selatan. Galesong adalah daerah yang makmur dan menjadi lumbung pangan Kerajaan Gowa.

Empat tahun setelah Perjanjian Bongaya ditandatangani pada 1671, Karaeng Galesong memutuskan pergi meninggalkan tanah leluhurnya. Ia pergi mengembara berlayar ke arah barat untuk menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan melawan Belanda, bangsa asing dari eropa yang sangat ia benci.

Kekalahan Kerajaan Gowa atas Belanda tidak menyurutkan mental Galesong melanjutkan perjuangan. Dari Gowa, Karaeng Galesong berhasil mendarat bersama rombongannya di Pelabuhan Banten pada Oktober 1671. Tujuan kedatangan Karaeng Galesong ke Banten adalah untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan VOC. Pertempuran yang terjadi antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan VOC dikenal sebagai Perang Banten.

Di tengah berlangsungnya Perang Banten, Raden Kajoran mertua dari Raden Trunojoyo dari Madura yang sedang mempersiapkan pergerakan melawan Sunan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram, datang untuk meminta bantuan. Raden Kajoran kemudian memohon agar Karaeng Galesong mau membantu Trunojoyo melawan VOC di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Pada masa itu, di wilayah Jawa Timur terdapat dua penguasa besar dan disegani, yaitu Sri Susuhunan Prabu Tawangalun II di Blambangan dan Panembahan Maduretno Pangeran Trunojoyo di Sampang, Madura. Sudah sejak lama kedua penguasa besar ini saling bantu untuk melawan VOC. Mereka berdua juga sama-sama menjadi incaran penguasa Mataram Sri Susuhunan Amangkurat I.

Kedatangan Karaeng Galesong di Jawa Timur disambut baik oleh Trunojoyo dan Tawangalun. Trio ini kemudian mengadakan pertemuan di Kedhaton Keraton Sampang. Mereka bersatu padu melanjutkan perlawanan terhadap kerajaan Mataram dan Belanda pada 1676-1679. Trunojoyo secara terang-terangan menyatakan diri berpisah dengan Kerajaan Mataram. Trunojoyo kemudian resmi mendeklarasikan diri sebagai Raja Madura dengan dukungan Sunan Giri dan Raden Kajoran.

Hubungan Galesong dengan Trunojoyo semakin dekat dan pada akhirnya menjadi keluarga. Galesong jatuh cinta dengan putri Trunojoyo yang berparas jelita. Trunojoyo suka dengan pribadi Galesong, ia mengambil Galesong sebagai menantunya.

Menginjakkan kaki di pulau garam, Galesong yang cerdas dan tampan dalam waktu singkat langsung menjadi perhatian di kalangan orang-orang Madura. Ketampanan dan kharisma Galesong memikat hati putri cantik dari Madura yang bernama Maduretno. Maduretno tak lain adalah putri dari Trunojoyo.

Maduretno dan Galesong diam-diam saling jatuh cinta setelah sang pangeran Gowa berkunjung ke Keraton Sampang. Di sisi lain, Trunojoyo sangat ingin menjodohkan putrinya dengan Galesong. Trunojoyo yakin, Galesong akan jadi suami yang baik bagi putrinya.

Maduretno yang cantik itu sangat berbahagia ketika mendapat panggilan dan kabar dari ayahnya. Sang ayah, Trunojoyo memanggil sang putri untuk menanyai apakah ia mau dinikahkan dengan Galesong, sang putri tidak menolak dan hatinya berbunga-bunga. Di tempat lain di markas pasukan Makassar di Demung, Galesong yang gagah perkasa sedang murung dan banyak melamun. Galesong sedang kasmaran, ia terbayang-bayang dengan wajah cantik dan senyum manis kembang gula dari Madura, putri Maduretno.

Kegalauan Galesong mendadak sembuh seketika saat kedatangan utusan pembawa kabar dari Sampang. Utusan itu mendatangi Galesong di Demung. Dengan agak gugup, utusan menyampaikan kepada Galesong bahwa penguasa Madura yaitu Trunojoyo ingin menikahkan Galesong dengan putri Maduretno.

Mendengar kabar itu, hati dan otak Galesong bagai tersambar petir. Senyum mengambang di bibir Galesong, ia langsung memerintahkan utusannya untuk mempersiapkan pernikahannya.

Upcara pernikahan dilaksanakan begitu cepat. Setelah mengucapkan ijab qabul, Karaeng Galesong sah menjadi menantu Pangeran Trunojoyo. Upacara pernikahan dilaksanakan pada siang hari dan disaksikan oleh tamu-tamu dari seluruh Madura. Pernikahan ini kemungkinan berlangsung di sekitaran tahun 1675. Pasangan ini kemudian melahirkan seorang anak yang lahir pada 1677.

Selain murni perjodohan, ada versi lain terkait pernikahan Galesong dengan putri Maduretno. Sumber itu menyatakan Trunojoyo berkenan menikahkan putrinya dengan Galesong dengan syarat sang Pangeran Gowa merebut Surabaya dan Gresik dari kekuasaan Mataram. Galesong sepakat dengan apa yang diinginkan Trunojoyo, keduanya pun melakukan perjanjian.

Sesuai dengan perjanjiannya dengan Trunojoyo, Karaeng Galesong kemudian mengerahkan pasukannya untuk menyerang wilayah Jawa yang dikuasai Amangkurat I. Tak tanggung-tanggung, empat pelabuhan laut berhasil direbut pasukan Makassar. Empat pelabuhan itu adalah daerah dengan penduduk yang banyak yaitu Pasuruan, Panjarakan, Gombong dan Gerongan. Serangan ini kemungkinan berlangsung pada bulan-bulan terakhir tahun 1675.

Galesong yang berstatus pengantin baru benar-benar trengginas. Dalam waktu singkat ia Surabaya digempur dari berbagai penjuru. Kota-kota sebelah selatan, timur diserang dalam waktu yang begitu cepat oleh pasukan Makassar. Pasukan Makassar tak punya lelah, tempat-tempat di sebelah utara dan barat kota pelabuhan itu jadi sasaran serangan berikutnya.

Penduduk Surabaya begitu ketakutan dan mengungsi ke Gunung Giri. Keadaan semakin memburuk bagi Mataram. Tanggal 7 Desember 1675, Gresik dikabarkan telah musnah dan jatuh ke tangan pasukan Makassar.

Selang beberapa hari kemudian melalui surat tertanggal 28 Desember 1675, Residen Belanda di Jepara mengabarkan bahwa kota pelabuhan Surabaya telah hancur. Sebanyak 7.000 hingga 8.000 orang Jawa di Surabaya mengungsi ke hutan.

Pasukan Makassar yang dendam dan ingin mengancurkan VOC membakar Gresik dan Surabaya. Wilayah kekuasaan Trunojoyo pun semakin luas. Selain Sampang, Trunojoyo dengan kemenangan ini juga menguasai Sumenep, Arosbaya, Sedekari, Gembong, Gedongbatu, Pasuruan dan daerah sekitarnya.

Lepasnya Gresik dan Surabaya ke tangan Karaeng Galesong membuat Amangkurat I marah. Menurut sumber-sumber Jawa, penyebab kekalahan dari serangan ini adalah ketidakhadiran penguasa lokal ketika terjadi pertempuran. Pada waktu itu, penguasa daerah setempat sedang berada di ibukota Mataram di Plered (Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta).

Selanjutnya di tahun-tahun berikutnya setelah peristiwa ini, Karaeng Galesong bersama Trunojoyo kemudian menyerang Mataram dan VOC dengan mengerahkan pasukan gabungan dari Madura, Makassar, dan Surabaya yang berkekuatan 9.000 prajurit. Perlawanan ini cukup fenomenal, pada Oktober 1676, pasukan Mataram dan Belanda berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Gegodog yang diikuti dengan serangkaian kemenangan di pihak Trunojoyo dan Karaeng Galesong.

Serangan Galesong bersama pasukan dari Makassar ini merupakan sejarah baru bagi Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa. Sebelumnya di zaman Sultan Agung, Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa sangat kompak dalam menjalankan pemerintahan untuk melindungi rakyat dan memerangi kezaliman. Dua kerajaan ini juga sama-sama membenci Belanda.

Dua kerajaan ini juga sama-sama pemeluk islam yang taat. Hingga masa akhir pemerintahan Sultan Agung, persekutuan yang dijalin dua kerajaan ini benar-benar tepelihara dengan baik.

Kerajaan Mataram dan Kerajaan Gowa terus berhubungan, komunikasi itu di antaranya dilakukan dengan saling berkirim surat. Pada 1644 utusan Mataram untuk Kerajaan Gowa dibalas dengan surat-surat dan banyak hadiah.

Sayang, hubungan baik yang dijalin dua kerajaan besar ini pada akhirnya meredup di zaman Sunan Amangkurat I, Raja Mataram berikutnya yang menggantikan Sultan Agung. Pada 1646, tidak ada lagi utusan Kerajaan Gowa yang datang ke Mataram. Retaknya hubungan kedua kerajaan ini bisa jadi adalah kompeni.

Sultan Agung dikenal sebagai raja yang sangat anti Belanda, tapi tidak dengan Amangkurat I. Sang raja penerus yang naih tahta di usia muda itu dikenal menjalin perdamaian dan bersahabat dengan kompeni. Sikap Amangkurat I ini membuat orang-orang Gowa jadi tidak menyukai Mataram. Berbanding terbalik dengan Mataram, Kerajaan Gowa dibawah Sultan Hasanuddin tetap konsisten, Belanda tetap dianggap sebagai musuh yang harus dibinasakan.

Melihat mulai retaknya hubungan kedua kerajaan itu, Van Goens duta Belanda untuk Mataram memprovokasi Amangkurat I untuk mengibarkan genderang perang dengan Kerajaan Gowa. Van Goens meyakinkan Amangkurat I, bahwa Mataram pasti bisa menaklukkan Gowa dan menjadikan kerajaan di pulau rempah-rempah itu sebagai bawahan Mataram. Namun hasutan itu tak dihiraukan Amangkurat I.

Van Goens tidak menyerah meski hasutannya tidak ditanggapi oleh sang raja. Ia terus meyakinkan Amangkurat I untuk mengibarkan perang untuk menaklukkan Kerajaan Gowa. Bahkan dengen pede Van Goens mengatakan Mataram akan jadi kerajaan terbesar di dunia jika berhasil mengalahkan Gowa. Sayang, Amangkurat I tetap tidak tertarik dengan mimpi-mimpi yang diucapkan Van Goens.

Mataram semakin mesra dengan VOC, sedangkan Kerajaan Gowa perlahan-lahan berhasil dikalahkan oleh penjajah dari eropa. Kalahnya Kerajaan Gowa di pulau rempah-rempah ternyata bukan akhir dari perang antara Gowa dengan Belanda. Yang terjadi berikutnya justru adalah serangan putra Kerajaan Gowa yang membuat Mataram berada di titik kehancuran. Sang penakluk Mataram dari Kerajaan Gowa itu adalah Karaeng Galesong.

Meski berhasil meraih kemenangan, Karaeng Galesong dan Trunojoyo justru berselisih.

Pada akhir 1676, perselisihan itu telah berkembang menjadi konflik terbuka di antara pengikutnya.

Karaeng Galesong kemudian memilih untuk menetap di Pasuruan dan tidak membantu Trunojoyo ketika Surabaya diambil alih oleh VOC pada Mei 1677. Bahkan ia sempat goyah dan memihak VOC-Mataram.

Namun, Karaeng Galesong dan 800 pengikutnya segera memutuskan hubungan dengan VOC dan mendirikan benteng di Keper, Jawa Timur.

Pada Oktober 1679, tentara VOC berhasil merebut benteng pasukan Karaeng Galesong setelah pengepungan selama lima minggu.

Dalam keadaan sakit, Karaeng Galesong melarikan diri dengan 60 pengikutnya untuk bergabung kembali dengan Trunojoyo.

Karaeng Galesong akhirnya meninggal pada 21 November 1679 pada usia 24 tahun, dan kemudian dimakamkan di Ngantang, Kabupaten Malang.

Ada catatan kuno yang menyatakan Galesong wafat di Kediri. Memang pada masa itu Ngantang adalah wilayah Kabupaten Kediri dan saat ini masuk dalam wilayah administrative Kabupaten Malang. Galesong wafat sekitar dua bulan sebelum Trunojoyo menyerah dan tewas di tangan pasukan gabungan VOC dan Mataram.

Kematian Karaeng Galesong sendiri ada banyak versi. Ada yang mengatakan ia meninggal karena sakit dan ada pula yang menyatakan ia tewas dibunuh oleh pasukan gabungan Belanda dan Mataram.

Makam Karaeng Galesong di Kelurahan Kebonsari, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu hingga kini ramai dikunjungi banyak orang. Banyak pejabat keturunan Makassar yang berziarah ke tempat ini, satu diantaranya adalah mantan Wapres RI Jusuf Kalla. ***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Mulai Sekarang Sediakan Alat Penolong Tersedak, Termasuk Kondisi Darurat

9 Mei 2025 - 10:55 WIB

Kemenangan Liverpool di Liga Inggris Melengkapi Deret Fibonacci yang Misterius

9 Mei 2025 - 07:30 WIB

Cerita Hari Ini: Penyebab Pangeran Diponegoro Berperang Melawan Belanda

9 Mei 2025 - 06:16 WIB

Cerita Hari Ini: Saat Berjuang Pangeran Diponehoro Ditemani Dua Punakawan

8 Mei 2025 - 15:49 WIB

Heboh Video Naga Terbang Melintas di Pulau Sebatik, Bukankah Kawanan Burung?

7 Mei 2025 - 20:58 WIB

Cerita Hari Ini: Pangeran Diponegoro Suka Tebar Pesona Pada Kaum Hawa

5 Mei 2025 - 15:26 WIB

Umi Rahmawati Harahap: Operasi Total Hip Replacement Serasa Wisata di Kuching!

5 Mei 2025 - 11:22 WIB

Liga Inggris 2025: Wasit Tergeletak, Jamie Vardy Tiup Peluit untuk Hentikan Laga Leicester Vs Soton

4 Mei 2025 - 12:29 WIB

Cerita Hari Ini: Pangeran Diponegoro Menolak Menjadi Sultan Yogyakarta Gegara Ini

4 Mei 2025 - 11:41 WIB

Trending di Uncategorized