Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Masyarakat Bali tentu familiar dengan nama Kebo Iwa. Ia adalah panglima pasukan Kerajaan Bedahulu, Bali pada masa pemerintahan Sri Tapahulung atau Prabu Sri Astasura Ratna Bhumi Banten awal abad ke-14.

Dalam berbagai cerita rakyat, Kebo Iwa kerap digambarkan sebagai pemuda bertubuh tinggi besar yang menguasai seni berperang. Nama Kebo Iwa sendiri mengandung arti “paman kerbau” yang seolah mencerminkan perawakannya tersebut.
Bagi masyarakat Bali, Kebo Iwa merupakan tokoh yang mengorbankan dirinya dalam sebuah peristiwa kepahlawanan di balik bersatunya Kerajaan Bali dan Majapahit. Peristiwa itulah yang menjadi salah satu cikal-bakal persatuan Nusantara. Bagaimana kisahnya? Simak ulasan singkatnya dalam artikel berikut.
Kebo Iwa merupakan sosok yang sangat disegani banyak orang, termasuk oleh Gajah Mada, patih Kerajaan Majapahit pada masa itu. Selama ada Kebo Iwa, Majapahit tidak pernah berhasil menguasai wilayah Bali. Berkat kekuatan dan kesaktiannya, semua kapal Kerajaan Majapahit yang menuju Bali ditenggelamkan olehnya.
Pada 1337 Masehi, Kerajaan Bali dikenal dengan sebutan Kerajaan Bali Aga. Konon, pusat pemerintahan kerajaan ini terletak di Bedahulu. Karena itu, Kerajaan Bali Aga sering disebut Kerajaan Bedahulu atau Bedulu.
Raja terakhir Kerajaan Bali Aga bernama Sri Ratna Bumi Banten. Sang raja inilah yang menentang ekspansi Kerajaan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada pada 1343. Sang raja tidak takut dengan cerita kehebatan Majapahit karena mereka sendiri memiliki balatentaranya yang militan.
Belum lagi Patih Kebo Iwa yang memiliki kesaktian. Sosok inilah yang bisa menggentarkan nyali Mahapatih Gajah Mada. Disebutkan bahwa Gajah Mada takut berhadap langsung dengan Kebo Iwa yang tinggal di Belahbatuh itu.
Patih Gajah Mada memang merasakan ada kesulitan besar yang menghantui dirinya dan belum dirasakan sebelumnya saat ia menaklukkan sejumlah kerajaan di Nusantara bahkan di luar Nusantara.
Tak seperti biasanya Gajah Mada merasa enteng saat berhadapan dengan musuh lebih besar dan lebih kuat dan memiliki peralatan perang serba lengkap. Namun saat menghadapi Kerajaan Bali Aga, ada rasa takut dalam diri Gajah Mada.
Mengutip buku 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara oleh Marina Asril Reza, dengan tipu dayanya, Gajah Mada mengundang anak dari Panglima Rakyan Buncing tersebut ke Majapahit untuk mempererat tali silaturahmi antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Bedahulu.
Gajah Mada memuji pemerintahan Sri Astasura Bumi Banten. Ia juga berjanji akan memperkenalkan Kebo Iwa kepada seorang gadis yang bisa dia persunting. Setelah itu, patih Gajah Mada meminta tolong kepada Kebo Iwa untuk membangun sumur di Kerajaan Majapahit yang saat itu sedang kekeringan.
Namun, karena sudah mengucapkan sumpah Palapa, penaklukan terhadap Kerajaan Bali Aga harus dilakukan, apa pun tantangannya. Konon, suatu hari semua pembesar Kerajaan Majapahit melakukan rapat membicarakan penaklukan Kerajaan Bali Aga.
Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun, Kebo Iwa menyanggupi permintaan tersebut. Menurutnya, ini adalah salah satu cara yang bisa ia lakukan untuk membantu kepentingan rakyat banyak.
Malangnya, niat tulus Kebo Iwa itu justru membuatnya terjebak dalam siasat Gajah Mada. Sesampainya di Majapahit, sang patih dibunuh oleh seluruh pasukan Majapahit di bawah perintah Gajah Mada.
Kala itu kedua patih yang sakti itu mengadu ketangkasan dan keunggulan ilmu, konon pertarungan berjalan seimbang, tidak ada yang tumbang. Padahal peluh dan akal cerdik sudah maksimal digunakan keduanya. Pertarungan berlangsung lama, membuat keduanya lelah dan sepakat melakukan gencatan senjata.
Saat itulah, Kebo Iwa membuka tabir rahasia kematiannya, sekaligus sumpah serapah yang membawa kutukan. Kebo Iwa menyampaikan, bahwa dirinya hanya bisa dikalahkan kalau Gajah Mada menguburinya dengan serbuk kapur. Namun, akan datang waktunya, Nusantara yang dipersatukan oleh Majapahit akan dijajah bangsa kulit putih dan berhidung mancung. Begitu ucapan Kebo Iwa saat melawan Gajah Mada.
Begitulah saat Kebo Iwa menggali sumur untuk calon istrinya, Gajah Mada yang kemudian sudah tahu kelemahannya menguburnya dengan batu kapur.***