Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-“Alasan utama mengapa saya angkat senjata (melawan Belanda) adalah karena Pangeran Diponegoro berjanji akan membangun suatu pemerintahan Islam. Percaya janji itu, saya langsung bergabung kepadanya,” sebut Kyai Mojo suatu kali.
“Namun belakangan, saya mendapati bahwa itu bukanlah tujuan yang sebenarnya, dan ia sebenarnya hanya ingin mendirikan suatu kerajaan baru di Jawa,” imbuh mantan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro ini. “Saya sendiri mengajukan keberatan atas hal itu dan kami berdebat dengan sengit akan tujuan pemberontakan (perlawanan terhadap Belanda) ini hingga akhirnya ia menyarankan agar saya berhenti berperang.”
Ungkapan getir itu ditulis Kyai Mojo saat menjalani kehidupannya di tanah pembuangan di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Peter Carey, peneliti yang kerap berkutat dengan riset tentang Diponegoro dan Perang Jawa (1825-1830), menemukannya dalam catatan yang ditulis Raden Mas Djojodiningrat, bekas ajudan sang pangeran.
Kyai Mojo punya peran penting misal ia menjadi wakil Diponegoro dalam perundingan penting dengan Belanda pada 29 Agustus 1827 di Klaten. Dalam upaya diplomasinya, Kyai Mojo dengan tegas mengajukan sejumlah tuntutan. Namun, tuntutan itu dinilai terlalu berat sehingga tidak ditemukan kesepakatan dalam perundingan tersebut (Abdul Qadir Djaelani, Perang Sabil versus Perang Salib, 1999:34).
Kyai Mojo sempat bermukim di Mekah setelah menunaikan ibadah haji. Pulang dari tanah suci, ia melanjutkan peran sang ayah mengelola pesantren di desanya dan berhasil menghimpun cukup banyak pengikut. Bersama para santrinya, Kyai Mojo menggalang gerakan anti-pemurtadan yang marak di kalangan bangsawan kraton.
Ulama pembela Islam ini juga punya cita-cita, suatu saat nanti, tanah Jawa akan dikelola dengan pemerintahan berdasarkan syariat Islam. Dan itulah yang dijanjikan oleh Pangeran Diponegoro sehingga Kyai Mojo beserta para pengikutnya bersedia bergabung untuk menghadapi Belanda dalam Perang Jawa.
Mulanya, Diponegoro memang melihat wacana pembentukan pemerintahan Islam sangat berguna untuk menggaet pengikut demi memperkuat pasukan untuk melawan Belanda. Dengan taktik itu, mengalirlah dukungan dari tokoh-tokoh agama. Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 menyebut sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Namun, setelah berjuang bersama selama sekitar tiga tahun, mulai muncul bibit-bibit keretakan antara keduanya. Kyai Mojo menilai ada gelagat kurang baik dari sepupunya itu. Diponegoro memang lebih cenderung kejawen, berbeda dengan Kyai Mojo yang memegang teguh ajaran agama Islam.
Kyai Mojo melihat, Pangeran Diponegoro mulai menggunakan cara-cara yang dianggapnya menyimpang dari Islam untuk menarik simpati rakyat demi menambah kekuatannya. Diponegoro memakai sentimen budaya Jawa melalui konsep Ratu Adil atau juru selamat dalam kampanye merekrut pasukan.
Salah satu gejalanya adalah ketika Diponegoro mengaku memperoleh tugas suci dari Tuhan yang didapatnya saat bersemedi. Diponegoro juga mengklaim telah diangkat sebagai Ratu Adil dengan gelar “Jeng Sultan Abdulhamid Herucakra Sayidin Panatagama Khalifah Rasullullah” di tanah Jawa (KRT Hardjonagoro, Sultan Abdulkamit Herucakra Khalifah Rasulullah di Jawa 1787-1855, 1990).
Dalam salah satu versi Babad Diponegoro disebutkan bagaimana Pangeran Diponegoro, secara tersirat, menyamakan pengalaman spiritual yang diklaimnya dengan pengalaman Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi Rasul. Diponegoro juga mengeksplorasi peristiwa-peristiwa khusus Rasullah terkait statusnya itu, seperti menyendiri di gua atau menerima wahyu dari Malaikat Jibril.
Efeknya cukup besar. Pangeran Diponegoro dilayani pengikutnya bak raja. Kendati lebih sering memakai jubah putih, namun ia juga punya koleksi pribadi berupa barang-barang mewah seperti pusaka, keris, kuda, dan lain-lain. Diponegoro juga sering menonjolkan gaya dan atribut kerajaan, termasuk dipayungi para pengawalnya dengan payung berlapis emas dalam setiap kemunculannya (Ali Munhanif, 2003).
Kyai Mojo merasa tidak sreg dengan ekspresi Diponegoro macam itu. Kyai Mojo menilai Pangeran Diponegoro telah mengingkari janjinya untuk membentuk pemerintahan yang sesuai dengan ajaran Islam dan justru berambisi ingin mendirikan kerajaan tandingan di tanah Jawa.
Sempat terjadi perdebatan sengit saat Kyai Mojo mempertanyakan komitmen Diponegoro tentang rencana dibentuknya pemerintahan Islam. Ia mempertanyakan dengan keras apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai dalam peperangan melawan Belanda itu. Hingga akhirnya, Diponegoro menyarankan agar Kyai Mojo berhenti berperang. Itu artinya, Kyai Mojo dan pengikutnya diminta keluar dari barisan pasukan Pangeran Diponegoro.
Kyai Mojo yang sudah jengah dengan kelakuan Diponegoro akhirnya berinisiatif menemui Belanda untuk mengadakan perundingan demi berakhirnya perang. Dalam pertemuan pada 25 Oktober 1828 itu, Belanda bertanya kepada Kyai Mojo, bagaimana jika Pulau Jawa “dikembalikan” kepada Pangeran Diponegoro. Dengan kata lain, Diponegoro akan mendapatkan jatah sebagai raja baru di Jawa (Heru Basuki, 2007:73).
Mendapat pertanyaan itu, Kyai Mojo tidak menjawab secara langsung mengenai persetujuannya atau tidak. Namun, ia hanya berkata jika itu yang terjadi, maka akan disambut dengan senang hati oleh Diponegoro dan perang pun akan usai. Pernyataan ini menyiratkan persepsi Kyai Mojo yang menilai Diponegoro memang mengincar gelar raja Jawa dan ingin memimpin kerajaan baru meskipun tidak dengan pemerintahan Islam.
Pertanyaan itu rupanya hanya pancingan belaka. Ditegaskan, Diponegoro tidak akan memperoleh jatah apapun jika tidak bersedia kembali kepada Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta yang sudah dikendalikan Belanda. Terkait permintaan Kyai Mojo yang ingin agar Islam dijadikan sebagai agama negara, Belanda juga tidak memenuhinya serta menyerahkan persoalan itu kepada raja Yogyakarta dan Surakarta.
Pembicaraan berakhir buntu. Belanda pun segera menyiapkan taktik lanjutan setelah melihat perpecahan antara Kyai Mojo dengan Pangeran Diponegoro. Tanggal 12 November 1828, Kyai Mojo dan para pengikutnya disergap di daerah Mlangi, Sleman, dekat Sungai Bedog, kemudian dibawa ke Salatiga (Saleh Asʾad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng, 1827-1830, 2004:192).
Dalam penahanan, Kyai Mojo meminta agar para pengikutnya dibebaskan dan ia bersedia mengikuti apapun keputusan Belanda terhadap dirinya. Pilihan itu, agaknya, didorong oleh sikap hendak mempertanggungjawabkan segala di pundaknya sendiri, tanpa mengorbankan anak buahnya. Belanda mengabulkan permintaan itu dan hanya menyisakan Kyai Mojo beserta orang-orang dekatnya dan beberapa tokoh berpengaruh, sementara sebagian besar pengikutnya dilepaskan.
Tanggal 17 November 1828, Kyai Mojo beserta orang-orang yang masih menyertainya dikirim ke Batavia dan diputuskan akan diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Di tanah pembuangan, Kyai Mojo terus berdakwahhingga wafat pada 20 Desember 1849. Perang Jawa sendiri berakhir dua tahun setelah hengkangnya kubu Kyai Mojo dari pasukan Diponegoro.
Beda Prinsip
Sementara itu, dalam Babad Diponegoro yang juga ditulis oleh Diponegoro, ia mengatakan, perselisihan antara dirinya dengan Sang Kiai terjadi karena Kiai Mojo tidak setuju dengan prinsip-prinsip Diponegoro.
Sang Kiai menentang kedudukan Sang Pangeran sebagai Sultan Erucokro. Kiai Mojo meminta agar Sang Pangeran membagi kekuasaan menjadi 4 macam.
Pertama, Kekuasaan Ratu atau Raja. Kedua, kekuasaan wali atau ulama. Ketiga, kekuasaan pandita atau kekuasaan cendekia dalam bidang hukum. Empat, kekuasaan mukmin yang dipercaya.
Kiai Mojo menyarankan agar Sang Pangeran hanya memilih satu di antara beberapa kekuasaan tersebut. Harapan Kiai Mojo adalah, antara Sang Pangeran dengan dirinya membagi dua kekuasaan yakni kekuasaan raja dan kekuasaan ulama.
Kekuasaan raja dipegang oleh Sang Pangeran dan kekuasaan ulama dipegang oleh dirinya. Kiai Mojo berkaca pada zaman kewalian di Jawa, bahwa antara kekuasaan politik dan kekuasaan agama dipegang oleh orang yang berbeda.
Memang di awal berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Raden Patah memegang kekuasan politik (panataraja) sedangkan Sunan Giri memegang kekuasaan ulama (panatagama).
Pembagian kekuasaan antara panatagama dengan panataraja dengan orang yang berbeda sebenarnya ditentang keras oleh Sunan Kalijaga.
Menurut Sunan Kalijaga, panatagama mestinya dipegang juga oleh raja, bukan para wali. Lagi pula panatagama yang di tangan raja itu bukan sebatas bagi agama Islam saja, melainkan bagi semua kepercayaan yang ada di masyarakat kerajaan baik itu Islam, Hindu, Budha dan agama lainnya, termasuk agama penduduk asli yakni animisme.
Usulan Kiai Mojo itu ditolak keras oleh Sang Pangeran. Pangeran Diponegoro mencoba menghentikan ambisi Kiai Mojo mengambil alih kedudukan kekuasaan ulama atau panatagama.
Agar Sang Pangeran tidak kehilangan Kiai Mojo, dia mencoba mencari jalan tengah yakni membujuk Kiai Mojo diberi kekuasaan sebagai penghulu (imam masjid dan pemimpin ritual keagamaan).
Tetapi, usulan Sang Pangeran itu ditolak oleh Kiai Mojo dengan mengatakan bahwa dia tidak berasal dari keluarga penghulu sehingga hal itu tidak bisa dilakukan. Kiai Mojo meminta diakui sebagai imam masyarakat Islam seluruh Jawa. Tentu saja permintaan Kiai Mojo itu ditolak dengan keras oleh Sang Pangeran.
Karena tidak sepakat di antara kedua tokoh itulah, akhirnya Kiai Mojo memutuskan berpisah dengan Sang Pangeran.
Naskah itu juga menyebutkan bahwa Sang Pangeran masih terlalu suka pada takhayul dan kepercayaan Jawa. Hal ini dibuktikan dengan memiliki banyak keris pusaka yang sebagian dia dapatkan melalui pertapaan dan persentuhan dengan dunia gaib. Kata naskah itu, bahwa hal itu tidak layak bagi seorang penganut Islam yang saleh.
Sebenarnya tuduhan yang ditujukan kepada Diponegoro bahwa dia suka takhayul juga tidak sepenuhnya benar.
Pernah terjadi sebelum Perang Jawa (1825-1830) ketika ayahandanya sekarat karena sakit keras. Saat itu Pangeran Demang (Paman ayahanda Diponegoro) karena mendapat petunjuk dari seorang dukun berperilaku aneh dengan cara membaca mantra-mantra dan menjilati pusar Sultan Hamengku Buwono III, ayah Pangeran Diponegoro, agar Sultan itu sembuh dari penyakitnya.
Melihat ritual itu, Diponegoro sebagai putranya tidak berkenan, sehingga segera menutup pusar ayahandanya itu dengan kain selimut dan memaksa Pangeran Demang saudara kakeknya itu menghentikan ritualnya.
Memang Pangeran Diponegoro penganut mistik Islam Jawa. Walaupun dia penganut Islam kejawen, tetapi dia tidak setuju dengan beberapa praktik adat istiadat kebatinan Jawa yang selalu diliputi kepercayaan takhayul pada masa itu.
Di ujung seteru antara Sang Pangeran dan Kiai Mojo, akhirnya Sang Kiai lebih memilih berpisah dengan pasukan Diponegoro dan memilih perundingan damai dengan Belanda pada Oktober-November tahun 1828.
Dalam perundingan itu, Kiai Mojo menuntut diberi pasukan dengan kekuatan 500 orang termasuk 300 orang resimen Bulkio yang elite itu. Dia berangkat sendiri melakukan perundingan di Melangi pada 10 November 1828. Namun perundingan di Melangi tidak pernah terjadi karena Kiai Mojo akan ditangkap oleh pasukan Belanda.
Kiai Mojo tidak tinggal diam, dia dan pengikutnya bergegas ke Pajang tempat daerah asal-usulnya, tetapi di daerah sekitar kaki Gunung Merapi dia dicegat oleh pasukan Belanda dan diberi pilihan ditangkap atau bertempur mati-matian.
Kiai Mojo memilih menyerah karena pasukannya tidak mungkin menghadapi pasukan Belanda. Kiai Mojo dipenjara dengan sangat mengenaskan yang panas dan sumpek dalam ruangan bawah tanah Stadhuis di Batavia (sekarang Museum Fatahilah).
Belanda membujuk Kiai Mojo agar menggunakan pengaruhnya untuk menggembosi kekuatan pasukan Diponegoro agar para panglimanya berpihak kepada Belanda, tetapi Kiai Mojo menolaknya. Akhirnya Kiai Mojo diasingkan ke Manado dan meninggal dunia di Tondano di usia 59 tahun pada 20 Desember 1849.***