Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiqwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Bagi Belanda, Perang Diponegoro adalah perang terbuka dengan mengerahkan berbagai jenis pasukan, mulai dari pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri, yang sejak Perang Napoleon selalu menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal.
Front pertempuran terjadi di berbagai desa dan kota di seluruh Jawa dan berlangsung sangat sengit. Penguasaan suatu wilayah selalu silih berganti. Jika ada suatu wilayah dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, demikian pula sebaliknya.
Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang.
Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama, karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Pada puncak peperangan tahun 1827, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu, suatu hal yang belum pernah terjadi di suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur, tetapi dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Berdasarkan sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern, baik metode open warfare (perang terbuka) maupun metode guerilla warfare (perang gerilya) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run (tabrak lari) dan pengadangan.
Ini bukanlah sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini dilengkapi dengan taktik psywar (perang urat saraf) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan, serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. Selain itu, perang ini juga menggunakan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Berbagai cara licik juga terus dilakukan Belanda untuk menangkap Diponegoro, bahkan sayembara pun digunakan dengan mengeluarkan maklumat pada 21 September 1829, yaitu siapa saja yang dapat menangkap Pangeran Diponegoro, baik hidup atau mati, akan diberi hadiah sebesar 50.000 Gulden, beserta tanah dan penghormatan.
Perubahan strategi Belanda terjadi ketika Gubernur Jenderal De Kock diangkat menjadi panglima seluruh Hindia Belanda tahun 1827. Untuk membatasi ruang gerak dan strategi gerilya dari Diponegoro, De Kock menggunakan strategi perbentengan (Benteng Stelsel).
Benteng-benteng dengan kawat berduri didirikan begitu pasukan Belanda berhasil merebut daerah kekuasaan pasukan Diponegoro. Tujuannya agar pasukan Diponegoro tidak dapat kembali dan mempersempit ruang geraknya. Jarak antarbenteng berdekatan dan dihubungkan dengan pasukan gerak cepat.
Benteng didirikan karena pergerakan pasukan Pangeran Diponegoro telah meluas ke daerah Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang, dan Rembang.
Sedangkan ke arah timur mencapai Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitarnya, hingga disebut mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa.
Bahkan, semua kekuatan dari rakyat, bangsawan, dan ulama di Jawa, turut bersatu mendukung Pangeran Diponegoro melawan Belanda.
Penggunaan strategi Benteng Stelsel pada satu sisi berhasil mempercepat peperangan yang banyak menghabiskan biaya, dengan menjepit kedudukan musuh sekaligus dapat mengendalikan wilayah yang dikuasai, namun sisi lain taktik ini memberi dampak pada pengerahan tenaga kerja paksa yang banyak terutama untuk membangun infrastruktur dalam mendukung strategi tersebut.
Pada awalnya taktik perang ini kurang disukai oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda de Gisignies yang dianggapnya juga memerlukan biaya yang besar namun tekanan untuk dapat mempercepat penyelesaian perang di Hindia Belanda, strategi ini tetap dipertahankan.
Dalam Perang Diponegoro, pada tahun 1827 strategi ini mulai diterapkan,[3] untuk dapat mempersempit kedudukan Pangeran Diponegoro, maka dibangun benteng di Semarang, kemudian Ambarawa, Muntilan, Kulon Progo, dan Magelang. Penerapan dari taktik ini kemudian menghasilkan sekitar 165 benteng baru yang tersebar di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Banyaknya benteng baru yang dibangun Belanda dalam perang ini tidak lepas dari taktik gerilya yang diterapkan oleh Pangeran Diponegoro serta posisi komandonya yang selalu berpindah tempat.
Perlawanan Diponegoro semakin melemah sejak akhir tahun 1828, yaitu setelah Kiai Madja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap pada 12 Oktober 1828. Disusul kemudian Sentot Prawirodirdjo dan pasukannya pada 16 Oktober 1828. Keadaan itu semakin diperparah karena pasukan Diponegoro kesulitan biaya, serta istrinya R.A Ratnaningsih dan putranya tertangkap pada 14 Oktober 1829.
Di perang ini juga serdadu bule belanda terbanyak yang tewas sekitar 7000 nyawa bule belanda tewas, sedang 8000 nya adalah prajurit pribumi londo. Diperkirakan 200.000 nyawa orang Jawa melayang.
Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak. Pemerintah Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat. Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak. Sayang, titah Raja Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.***