Penulis : Jayadi | Editor : Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM-JAKARTA- Pemerintah melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14 Tahun 2025 menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) sebesar Rp6.500 per kilogram. Presiden Prabowo Subianto turut menegaskan agar pengusaha penggilingan tidak menekan petani demi keuntungan. Meski demikian, kebijakan ini menuai kompleksitas akibat ketidakselarasan dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang tidak mengalami penyesuaian.

Kepatuhan Penggilingan dan Tantangan Profitabilitas
Persatuan Perusahaan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) menyatakan anggotanya telah mematuhi HPP, bahkan membeli GKP di atas ketentuan (Rp6.700–Rp7.000/kg). Namun, Ketua Umum Perpadi Sutarto Alimoeso mengungkapkan, margin keuntungan penggilingan kecil sangat tipis akibat biaya produksi, persaingan ketat, dan rendemen pengolahan.
“Kapasitas penggilingan nasional tiga kali lipat produksi gabah, sehingga keuntungan per kilogram sangat minim,” jelasnya. Penggilingan besar masih bisa bertahan karena volume produksi tinggi, sementara usaha kecil kesulitan menutupi biaya.
Dilema HET yang Tidak Naik
Meski HPP dinaikkan 8,3–10,8% untuk menjamin insentif petani, HET beras tahun 2025 tetap sama seperti sebelumnya: Rp12.500/kg (medium) dan Rp15.800/kg (premium). Sutarto menegaskan, pengusaha tetap berpatokan pada HET sebagai acuan harga pasar. Namun, kebijakan ini menuai kritik dari Khudori,
Khudori, Pengamat Ekonomi Pertanian AEPI, Menurutnya, ketidaknaikan HET berisiko memicu dua dampak:
1. Penurunan Kualitas Beras: Penggilingan mungkin memotong biaya produksi dengan menurunkan kualitas beras agar sesuai HET.
2. Hilangnya Beras Premium di Pasar Modern: Ritel modern dan supermarket akan kehilangan merek beras premium karena pengusaha lebih memilih menjualnya di luar HET atau beralih ke beras khusus yang tidak diatur HET.
Khudori memprediksi, situasi Maret-April 2024—saat beras premium menghilang dari pasar—akan terulang. “Beras yang beredar didominasi beras SPHP Bulog atau beras khusus, sementara merek premium perlahan hilang,” ujarnya.
Dampak Jangka Panjang
Kenaikan HPP patut diapresiasi sebagai upaya melindungi petani dari kenaikan biaya produksi. Namun, stagnansi HET berpotensi menggerus keseimbangan pasar.
Jika tidak ada penyesuaian kebijakan, konflik antara kepentingan petani, penggilingan, dan konsumen akan terus terjadi, dengan risiko utama berupa defisit beras berkualitas di pasaran serta tekanan ekonomi pada pelaku usaha kecil.
Pemerintah diharapkan melakukan evaluasi menyeluruh untuk memastikan kenaikan HPP diikuti kebijakan HET yang realistis, sehingga seluruh mata rantai pasok beras—dari petani hingga konsumen—dapat beroperasi secara berkelanjutan.***