Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, BOGOR– Rompi antipeluru untuk prajurit TNI dan Polri kini tidak hanya mengandalkan material sintetis, tetapi juga mulai dikembangkan dari bahan ramah lingkungan.
Salah satunya berasal dari limbah kelapa sawit yang sebelumnya kerap dipandang tidak bernilai, namun kini menunjukkan potensi sebagai material strategis pertahanan nasional.
Terobosan tersebut diwujudkan melalui rompi antipeluru berbahan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) hasil riset tim IPB University.
Produk ini dinyatakan lolos uji balistik dan memperoleh sertifikasi setelah melewati serangkaian pengujian ketat di Laboratorium Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Darat (Dislitbang TNI AD) di Batujajar, Bandung, Jumat (19/12).
Keberhasilan ini menjadi tonggak penting riset biomaterial IPB University dalam mendukung pengembangan industri pertahanan berbasis sumber daya lokal.
Pencapaian tersebut merupakan hasil riset jangka panjang biomaterial TKKS yang dikembangkan selama bertahun-tahun, dengan fokus pada material antipeluru sejak 2023 hingga akhirnya memenuhi standar kualifikasi militer.
Inovasi ini dihasilkan melalui kolaborasi tim multidisiplin IPB University yang diketuai Dr Siti Nikmatin, peneliti Pusat Studi Sawit sekaligus dosen Departemen Fisika.
Tim peneliti melibatkan Dr Irmansyah, Rima Fitria Adiati, MT, Dr Agus Kartono dari bidang Fisika, serta Tursina Andita Putri, MSi dari Agribisnis.
Penguatan hilirisasi riset juga didukung keterlibatan mitra industri, yakni Andika Kristinawati, M.Si dari PT Interstisi Material Maju.
Proses sertifikasi turut disaksikan pimpinan IPB University, di antaranya Prof Anas Miftah Fauzi selaku Kepala Lembaga Riset Internasional Teknologi Maju dan Prof Budi Mulyanto sebagai Kepala Pusat Studi Sawit.
Selama proses pengujian balistik, kegiatan dipantau langsung oleh perwira peneliti TNI AD, yaitu Kolonel Cpl Kries Kambaksono, Kolonel Yayat Priatna P, Kolonel Hiras M.S Turnip, serta Kolonel Tri Handoko.
Rompi berbahan serat TKKS diuji menggunakan amunisi kaliber 9×19 mm dari jarak tembak lima meter, baik dalam kondisi kering maupun basah, serta melalui uji ketahanan terhadap tusukan dan bacokan senjata tajam.
Hasil penilaian tim penguji menyatakan rompi tersebut lulus uji karena mampu menahan proyektil tanpa tembus, dengan deformasi atau lekukan belakang di bawah 44 mm.
Capaian ini dinilai sangat kompetitif jika dibandingkan dengan rompi antipeluru level IIIA yang beredar di pasaran saat ini.
Selain aspek perlindungan, rompi ini juga unggul dari sisi ergonomi. Bobotnya tercatat di bawah 2 kilogram dengan ketebalan kurang dari 2 sentimeter.
Pengembangan proyek ini didanai melalui Program Dana Padanan (Kedaireka) Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi pada tahun anggaran 2024–2025.
Dr Siti Nikmatin menegaskan pentingnya langkah lanjutan menuju tahap komersialisasi. Menurutnya, bahan baku serat sawit tersedia sangat melimpah.
Namun proses produksi masih membutuhkan dukungan investasi permesinan dan permodalan karena sejumlah tahapan masih dilakukan secara manual.
“Semoga inovasi ini dapat mengubah potensi limbah kelapa sawit menjadi kekuatan baru bagi kedaulatan industri pertahanan Indonesia di masa depan,” harapnya.
Selama ini, rompi antipeluru level IIIA umumnya dibuat dari serat sintetis fleksibel seperti Kevlar, Dyneema, atau UHMWPE yang dirancang untuk menghentikan peluru pistol hingga kaliber .44 Magnum.
Material tersebut disusun berlapis agar tetap ringan dan lentur, berbeda dengan rompi level III atau IV yang memerlukan pelat keras seperti keramik.
Kevlar masih banyak digunakan karena memiliki kekuatan tarik tinggi dan bobot ringan. Dyneema dan UHMWPE dinilai lebih unggul dari sisi bobot, memungkinkan rompi lebih tipis dengan kemampuan menahan tembakan berulang.
Twaron memiliki karakteristik serupa Kevlar, sementara aramid campuran dikembangkan untuk perlindungan multi-arah.
Pada standar perlindungan, level IIIA dirancang menahan peluru handgun seperti 9 mm, .357 Magnum, dan .44 Magnum sesuai standar NIJ, dengan kecepatan hingga 1.440 fps.
Rompi jenis soft armor ini lazim digunakan untuk pemakaian harian dengan bobot sekitar 1–2 kilogram. Inovasi IPB University berbahan TKKS yang telah lolos uji TNI AD menunjukkan performa setara level IIIA dengan deformasi belakang kurang dari 44 mm.
Dalam perkembangan terkini, material UHMWPE dan Dyneema semakin dominan karena dinilai lebih kuat dan ringan dibanding Kevlar konvensional.
Di Indonesia, produk rompi level IIIA masih banyak dipasarkan berbahan Kevlar, namun riset lokal mulai mengembangkan alternatif dari bahan alami seperti TKKS untuk menekan biaya. Namun Aspek sertifikasi tetap menjadi faktor penting untuk menjamin keamanan dan keandalan produk.***







