Menu

Mode Gelap

Internasional

Memasukkan Suriah dalam Koalisi Global Anti-ISIS itu Langkah yang Salah

badge-check

Para anggota militer duduk bersama Presiden sementara Suriah, Ahmed al-Sharaa (depan tengah) Mei 2025 lalu. (Foto: Shutterstock)

Terjemahan dari artikel asli: It Is a Mistake to Bring Syria Into the Anti ISIS Global Coalition Now

Oleh: Sirwan Kajjo*

 

Presiden sementara Suriah Ahmed al-Sharaa dijadwalkan bertemu Presiden Donald Trump di Washington, November ini. Kunjungan itu monumental karena merupakan kunjungan pertama seorang pemimpin Suriah ke Gedung Putih. Selama kunjungan nanti, al-Sharaa dijadwalkan akan menandatangani perjanjian untuk bergabung dengan koalisi global melawan ISIS.

Dalam koalisi global itu nanti Suriah menjadi kekuatan utama perang melawan ISIS. Pengumuman itu tampaknya merupakan langkah yang pantas disambut baik.

Namun, dari perspektif kontraterorisme langkah itu mengkhawatirkan. Soalnya, Al-Sharaa itu mantan anggota al-Qaeda yang berhubungan dengan ISIS. Ia menggulingkan rezim Bashar al-Assad Desember 2024 dengan koalisi pasukan kaum radikal dan jihadis. Kelompok-kelompok tersebut kini menjadi inti militer Suriah.

Presiden Suriah itu mungkin sudah tidak lagi menganut ideologi ekstremisnya. Tetapi banyak faksi di kalangan militer—termasuk ribuan pejuang asing—tetap berpegang teguh pada keyakinan kaum jihadis.

Kekhawatiran itu perlu karena ketika Hay’at Tahrir al-Sham pimpinan al-Sharaa menguasai provinsi Idlib di barat laut Suriah, mereka memerintah dengan tangan besi. Mereka menindas semua kelompok lain. Padahal, daerah kantong itu Adalah tempat berlindung bagi banyak pejuang ISIS yang melarikan diri dan keluarga mereka.

Faktanya, pemimpin ISIS Abu Bakr al-Baghdadi tewas dalam serangan AS di Idlib selama masa jabatan pertama Trump. Penggantinya, Abu Ibrahim al-Qurayshi pun mengalami nasib yang sama di sana. Beberapa pemimpin tinggi ISIS lainnya menjadi sasaran dan dibunuh oleh pasukan AS di wilayah-wilayah yang dikuasai Hay’at Tahrir al-Sham.

Setelah runtuhnya rezim Assad, teroris ISIS meluas di beberapa wilayah Suriah. Hal ini bukan hanya akibat kekosongan keamanan, tetapi juga karena banyak tentara Suriah yang baru menoleransi kehadiran ISIS. Atau setidaknya tidak menganggapnya sebagai ancaman serius.

Jadi, meskipun Damaskus berupaya bekerja sama dengan militer AS untuk menyasar militan ISIS, upaya ini tetap terbatas cakupan dan efektivitasnya.

Bagi pemerintah Sharaa, kemitraan formal dengan koalisi pimpinan AS akan menjadi cara lain untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memproyeksikan legitimasi di dalam dan luar negeri. Namun, militer Suriah dalam bentuknya saat ini bukanlah kekuatan tempur yang efektif. Militer Suriah kurang memiliki doktrin, disiplin, dan organisasi yang profesional.

Banyak faksi berbeda dalam kalangan militer Suriah masih beroperasi dengan struktur dan pola pikir milisi. Anggota dan perwira tingginya tidak loyal kepada negara, melainkan kepada para pemimpin mereka. Dalam beberapa kasus, mereka malah loyal kepada Turki, anggota koalisi yang tidak terlalu berminat melawan ISIS di Suriah.

Selain itu, hubungan Suriah yang kembali terjalin dengan Rusia menjadi alasan lain mengapa Damaskus sangat mungkin tidak bisa menjadi mitra yang efektif dalam koalisi anti-ISIS, meskipun ada kemauan politik untuk bekerja sama.

Soalnya, jika Suriah mengumumkan akan menghormati semua kesepakatan sebelumnya dengan Rusia, maka Moskow pun bakal mempertahankan keterlibatannya dalam militer Suriah. Hal ini membuat pemerintah Suriah kurang dapat diandalkan, terutama dalam hal pembagian intelijen dan operasi gabungan dengan militer AS.

Jika ingin menjadi mitra kontraterorisme yang efektif, Damaskus harus memberikan peran yang lebih besar kepada Pasukan Demokratis Suriah (SDF) yang dipimpin oleh Kurdi yang didukung AS, yang telah menjadi elemen utama dalam upaya AS untuk memerangi ISIS selama dekade terakhir.

Dengan dukungan langsung AS, Pasukan Demokratis Suriah (Syrian Democratic Forces—SDF) telah membentuk unit-unit kontrateror khusus yang dapat dan seharusnya berperan sentral dalam kapasitas nasional di luar wilayah timur laut Suriah.

SDF menguasai hampir sepertiga wilayah Suriah. SDF juga menahan ribuan pejuang ISIS dan keluarga mereka, termasuk warga negara asing, di berbagai pusat penahanan dan kamp. Jika Suriah resmi bergabung dengan koalisi, tanggung jawab pengelolaan fasilitas-fasilitas ini akan jatuh ke tangan pemerintah Suriah.

Namun, Damaskus tidak punya kapabilitas yang diperlukan. Dengan demikian, integrasi SDF dalam koalisi menjadi jauh lebih penting. Dengan enggannya banyak negara memulangkan warga negaranya dari kamp-kamp ini, setiap perubahan dinamika keamanan di lapangan dapat menciptakan tantangan kontraterorisme baru bagi Amerika Serikat dan mitra-mitranya.

Jika memasukkan Suriah ke dalam koalisi melawan ISIS bertujuan untuk menstabilkan Suriah dan mengurangi pengaruh militer AS di negara itu, maka Washington harus memastikan bahwa mitra lamanya, Pasukan Demokratis Suriah (SDF), tetap utuh berintegrasi dengan militer Suriah.

Amerika Serikat juga harus mendesak Damaskus mengalokasikan posisi-posisi kunci dalam militer kepada para komandan SDF, terutama yang berspesialisasi dalam kontraterorisme. Hanya dengan demikian, keanggotaan Suriah dalam koalisi bakal menjadi langkah bijaksana menuju stabilitas jangka panjang bagi Suriah dan sekitarnya.***

  • Sirwan Kajjo adalah seorang wartawan dan peneliti yang memfokuskan diri dalam politik Kurdi, militansi Islam dan Urusan Suriah. Dia menulis di berbagai media dan buku tentang obyek penelitiannya.
Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Pelajaran dari Ayah Mas TRIP, Kekonyolan di Balik “Tenang Belanda Masih Jauh”

12 November 2025 - 18:12 WIB

Sebagian dari 758 M Jembatan Penghubung Provinsi Sichuan China ke Tibet Runtuh

12 November 2025 - 10:27 WIB

Bagai Kanker, Nigeria Bantai Umat Kristen Secara Massal

10 November 2025 - 20:52 WIB

3 Astronaut Tiongkok Terjebak di Antariksa, Setelah Kapsul Dihantam Puing Luar Angkasa

10 November 2025 - 16:45 WIB

Gaji Elon Musk Rp16.700 T Bisa Lunasi Utang RI, Gaji 54 Tahun PNS

8 November 2025 - 17:11 WIB

Kecepatan Komputer Kuantum Google 13.000 Dibanding Super Komputer Frontier

8 November 2025 - 09:43 WIB

Jenderal Radikal Sudan: Betapa Aliansi Al-Burhan dengan Iran dan Ikhwanul Muslim Mengancam Keamanan AS dan Israel

7 November 2025 - 21:18 WIB

Ilmuwan India Bikin CalBots, Robot Perbaiki Gigi Tanpa Campur Tangan Manusia

6 November 2025 - 10:11 WIB

Tiongkok Jatuhkan Hukuman Mati kepada Anggota Mafia Penipuan Myanmar yang Terkenal Kejam

6 November 2025 - 09:15 WIB

Trending di Internasional