
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan didampingi tiga perwira tinggi ketika berada di negara bagian Gedaref, Sudan, 10 April, 2024. (Foto oleh AFP via Getty Images)
Terjemahan dari artikel asli: Sudan’s Islamist General: How Al-Burhan’s Alliance with Iran and the Muslim Brotherhood Threatens U.S. and Israeli Security
Oleh Robert Williams
Sudan kini menjadi garda terdepan terbaru dalam perang panjang Iran melawan Barat dan Israel. Washington pun tidak bisa terus-menerus berpura-pura sebaliknya. Soalnya, sementara para diplomat berbicara tentang gencatan senjata dan “transisi pemerintahan yang inklusif”, Teheran membangun dasar untuk sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Ia membangun pangkalan militer di Laut Merah, yang dioperasikan melalui sekutu terbarunya di Khartoum, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Pemerintahan Biden dan bahkan sebagian dari lembaga kebijakan luar negeri Trump menggambarkan al-Burhan sebagai pemimpin yang “pragmatis”, orang yang mungkin akan membawa Sudan menjadi sebuah negara yang stabil. Pemikiran itu sama sekali tidak benar. Al-Burhan itu seorang perwira militer dari rezim kaum radikal lama pimpinan Omar al-Bashir, mitra lama Ikhwanul Muslimin, yang mendapat keuntungan dari perluasan jangkauan militer Iran. Ia bukanlah benteng melawan ekstremisme; ia adalah fasad baru Iran.
Pada 12 September, “Empat Sekawan,” Amerika Serikat, Arab Saudi, UEA, dan Mesir mengeluarkan peringatan yang jelas: Ikhwanul Muslimin tidak boleh berperan apa pun di masa depan Sudan.
Pernyataan itu juga menuntut Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) untuk berhenti menyerang warga sipil sekaligus menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan transisi sipil.
Jawaban Al-Burhan jelas: kobarkan perang. Dalam beberapa hari, pasukannya melanjutkan pemboman di Omdurman dan memperketat cengkeraman mereka di Pelabuhan Sudan.
Penolakannya untuk menjalankan gencatan senjata bukanlah tindakan kedaulatan; melainkan pembangkangan yang disengaja dari seorang jenderal radikal yang tahu bahwa ia menikmati dukungan politik dan logistik Iran.
Iran melihat Sudan sama seperti yang dilihatnya di Yaman: titik masuk yang strategis. Setelah tidak bebas lagi bermanuver di sepanjang koridor tradisionalnya yaitu Suriah dan Lebanon, Teheran mencari sayap baru untuk melawan Israel dan pasukan AS di Timur Tengah.
Laut Merah, dengan jalur pelayarannya dan kedekatannya dengan pelabuhan Eilat di Israel, adalah sayap tersebut. Dengan mempersenjatai dan memberi nasihat kepada pasukan al-Burhan, Iran mendapatkan apa yang dibutuhkannya: Yaitu landasan peluncuran untuk drone, pusat logistik bagi milisi, dan kemenangan simbolis yang memperluas “Poros Perlawanan” dari Levant hingga Tanduk Afrika
Ini bukan sekadar teori. Sumber intelijen dan gambar sumber terbuka mengonfirmasi adanya pengiriman drone dan sistem pertahanan udara Iran kepada Angkatan Bersenjata Sudan. Para penasihat Iran terlihat di zona militer yang dulunya dikuasai oleh Rapid Support Forces (Pasukan Dukungan Cepat), saingan SAF.
Logika operasionalnya jelas: membangun pasukan kaum radikal yang berpihak pada Iran di pesisir barat Laut Merah untuk mengancam Israel dari selatan, mengancam pelayaran Saudi, dan menyasar aset Angkatan Laut AS yang ditempatkan di dekatnya.
Bagi Israel, langkah Iran yang dijalankan sang jenderal menjadi taruhan langsung. Laut Merah adalah jalur kehidupan bagi perdagangan dan keamanan angkatan lautnya. Sudan yang bersahabat dengan Iran memberi Teheran rute laut langsung ke perbatasan selatan Israel, melewati Teluk Persia yang lebih ketat diawasi. Rudal, drone dan senjata dapat diselundupkan melalui Port Sudan dan melintasi koridor gurun menuju Semenanjung Sinai.
Jaringan yang sama pernah digunakan oleh Hamas sebelum Mesir bertindak keras padanya. Ini mimpi buruk. Bukan hal yang abstrak. Itu serangan dengan dukungan Iran terhadap Eilat atau terhadap instalasi AS di Djibouti atau Teluk Aden.
Bahaya ini diperparah oleh dimensi ideologis. Tentara Al-Burhan bukan lagi institusi sekuler. Pasukan itu kini menjadi gabungan perwira profesional, milisi kaum radikal sekaligus sisa-sisa sayap bersenjata Ikhwanul Muslimin.
Laporan dari Khartoum menunjukkan bahwa para ulama yang dekat dengan Ikhwanul Muslimin kini menjabat sebagai ulama militer dan propagandis di dalam SAF. Bagi Iran, ini mitra ideal: tentara radikal kaum Sunni yang dapat dikooptasi dalam aliansi anti-Barat dan anti-Israel yang lebih luas tanpa perlu menjadi penganut Syiah formal atau gesekan teologis.
Kerugian akibat tidak bertindak akan sangat besar. Jika Washington terus memperlakukan al-Burhan sebagai lawan bicara yang sah, maka mereka akan menyerahkan Laut Merah kepada Teheran tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Pola yang sama yang mengubah Yaman menjadi landasan peluncuran rudal Houthi dan agresi angkatan laut dapat terulang di sepanjang garis pantai Sudan sepanjang 700 mil. Kapal-kapal Angkatan Laut AS dapat terus-menerus diganggu oleh pesawat nirawak, sementara Israel menghadapi front selatan yang diawaki oleh proksi-proksi Islamis.
Masih ada celah untuk mencegah hal ini. Tetapi celah itu akan bermanfaat hanya jika Amerika Serikat bertindak tegas. Langkah pertama adalah menuntut al-Burhan mengundurkan diri dan menetapkan syarat untuk terlibat, membantu dan mengakui pemerintahan transisi Sudan segera setelah dia pergi.
Negosiasi tidak akan berhasil selama orang yang bersekutu dengan Iran dan Ikhwanul Muslimin mengendalikan Sudan. Amerika Serikat harus mendukung pembentukan pemerintahan sementara yang teknokratis dan dipimpin oleh warga sipil di bawah pengawasan internasional, dengan pengawasan eksplisit terhadap militer dan sektor keamanan.
Kedua, Washington harus bekerja sama dengan mitra Empat Sekawan-nya (Quad) untuk memblokir rute senjata Iran ke Sudan.
Kerja sama intelijen antara AS, Israel, Mesir, dan UEA sangat penting. Koridor Laut Merah harus dipatroli, dipantau dan dipertahankan. Satuan tugas maritim gabungan—yang dimodelkan berdasarkan operasi anti-pembajakan di lepas pantai Somalia—dapat memastikan bahwa pengiriman barang milik Iran tidak mencapai Port Sudan.
Ketiga, AS harus memulihkan Upaya pencegahan gangguan keamanan melalui kebijakan, bukan basa-basi. Sanksi yang menargetkan para jenderal yang dekat dengan al-Burhan, para perantara Iran dan pemodal Ikhwanul Muslimin akan mengirimkan pesan yang jelas: tentara Sudan akan kembali ke baraknya atau diisolasi.
Terakhir, Washington harus menegaskan kembali bahwa Amerika mendukung Israel dan rakyat di kawasan yang menolak tirani kaum radikal. Ikhwanul Muslimin telah mengacaukan setiap negara yang disentuhnya. Mulai dari Mesir, Libya, hingga Tunisia. Membiarkan organisasi ideologis radikal kembali bangkit dalam militer Sudan akan menggagalkan kemajuan kontraterorisme yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun dan membahayakan nyawa orang Amerika dan Israel.
Tragedi Sudan adalah rakyatnya menginginkan kebebasan sementara para jenderal mereka menginginkan kekuasaan dan patron asing mereka menginginkan pengaruh. Amerika Serikat dapat membantu memutus hubungan segitiga ini dengan menyingkirkan pilar utamanya yaitu al-Burhan sendiri.
Kepergiannya akan membuka pintu bagi transisi sipil, menghalangi Iran mendapatkan pijakan barunya, dan menunjukkan bahwa Washington akhirnya telah belajar dari pelajaran dari masa lalu yang berusaha menyenangkan hati para pihak, yaitu pemikiran bahwa tidak ada mitra mereka yang mempersenjatai diri melawan peradaban.
Amerika pernah memimpin dunia bebas menghadapi ancaman semacam itu. Amerika dapat melakukannya lagi. Dengan mengakui Sudan bukan sebagai gangguan diplomatik, melainkan sebagai garda terdepan dalam perang yang dideklarasikan oleh Iran, Ikhwanul Muslimin, dan sekutu-sekutunya.
Jika AS dan mitra-mitranya gagal bertindak, Laut Merah mungkin akan segera menjadi lokasi lebih dari sekadar rute perdagangan. Laut Merah mungkin menjadi lokasi perang berikutnya melawan Barat. ***










