
Siluet dari Presiden Donald Trump dan pemimpin tertinggi Iran Ali Khamenei. Shutterstock
Terjemahan dari artikel asli:Khamenei Rages at Trump While Iranian Regime Reels from Crises
Oleh: Mardo Soghom
Presiden Donald Trump itu “tukang omong.” “Orang yang suka omong kosong.” Itu ujarPemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei ketika berbicara kepada sekelompok atlet muda pada 20 Oktober 2025.
Pernyataan itu langsung memecah suasana bisu yang sudah berlangsung berbulan-bulan. Soalnya, baru kali ini Khamanei bicara. Sebagian besar waktunya dia habiskan di tempatpersembunyian. Sejak perang dua belas hari Iran dengan Israel pada Juni 2025.
Situs web resmi pemimpin tertinggi pun langsung mengutip pernyataan itu. “Lewatperilakunya yang vulgar penuh kebohongan, Trump berupaya menyelesaikan persoalankawasan, Iran, dan rakyat Iran untuk meningkatkan moral kaum Zionis dan menampilkandirinya sebagai sosok yang berkuasa. Tetapi jika ia benar-benar memiliki kekuatan seperti itu, biarkan ia pergi menenangkan jutaan orang di seluruh negara bagian AS yang meneriakkanslogan-slogan yang menentangnya.”
Serangan Khamenei mengakhiri serangkaian sikap hati-hati yang aneh dari para pemimpinrezim tersebut setelah Israel dan Amerika Serikat menyerang infrastruktur militer dan nuklirIran, Juni lalu.
Para pejabat, yang tampak terguncang, secara terbuka mengkhawatirkan putaran seranganberikutnya. Namun, awal bulan ini, Trump melunakkan nadanya. Presiden itu mengatakan iayakin Teheran ingin membuat kesepakatan. Laporan juga beredar bahwa Israel telahmengirim pesan melalui Rusia yang berjanji untuk tidak melanjutkan serangan udara.
Khamenei membalas. Ia mengejek bualan Trump tentang penghancuran program nuklir Iran. “Baiklah, terus katakan itu pada diri sendiri. Tapi siapa kalian yang berhak mendikte apayang boleh atau tidak boleh dimiliki sebuah negara dalam hal industri nuklir? Apa hubungannya Iran memiliki fasilitas dan teknologi nuklir Iran dengan Amerika? Intervensi initidak pantas, salah, dan memaksa.”
Pemimpin Tertinggi Iran juga menepis ajakan Trump untuk bernegosiasi. “Dia mengaku sukaberunding. Tetapi jika kesepakatan dicapai lewat intimidasi dan hasilnya telah ditentukansebelumnya, itu sama sekali bukan kesepakatan. Itu paksaan dan pemaksaan. Rakyat Iran tidak akan tunduk pada paksaan.”
Khamenei sebetulanya tidak sekedar menghadapi sanksi berat AS dan internasional, militeryang lemah, dan sekutu regional yang kalah. Berbagai krisis pun masih mengguncang sistempemerintahan otoriternya yang unik. Banyak pejabat, yang merasakan bahwa perubahanbesar mungkin menjelang, bersaing berebut pengaruh berupaya melemahkan pesaing merekadalam sistem.
Tuduhan langsung dan tidak langsung, saling tuduh, dan kebocoran informasi berlipat gandadalam beberapa minggu terakhir. Pada masa lalu, Khamenei menanggapi perselisihan internal itu dengan mendesak para pejabatnya untuk meredam perbedaan pendapat. Kali ini, sambiltetap bersembunyi, ia menghindari referensi apa pun tentang pertikaian internal tersebut.
Tokoh-tokoh tingkat tinggi seperti mantan presiden Hassan Rouhani dan mantan ketuaDewan Keamanan Nasional Tertinggi Ali Shamkhani kini pun saling serang. Shamkhani baru-baru ini menuduh Rouhani berbohong tentang kapan ia tahu bahwa Korps Garda Revolusi Islam menembak jatuh sebuah jet penumpang Ukraina pada tahun 2020. Rouhani mengklaim militer baru memberitahunya setelah dua hari. Shamkhani bersikeras bahwaRouhani mengetahui masalah itu beberapa jam sebelum bencana 8 Januari 2020.
Para pengamat mengaitkan perseteruan ini dengan upaya Rouhani agar semakin dikenalsebagai calon pemimpin pasca-Khamenei atau di tengah keruntuhan rezim. Walau tentu saja, putra Khamenei, Mojtaba, tetap sebagai kandidat yang kuat. Tokoh reformis maupunrevolusioner gadungan telah membangun karier dan kekayaan dari korupsi sistem dan kinimenghadapi ketidakpastian tentang masa depan mereka jika terjadi perubahan besar.
Khamenei sudah berupaya menyingkirkan para reformis dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, ia masih membiarkan mereka tetap berada di dalam sistem dan mendapatkankeuntungan darinya. Namun, tidak ada jaminan setelah kematiannya, orang-orang itudiberikan kesempatan untuk berkuasa, meski kaum garis keras tampaknya bersemangat untukmerebut semua keuntungan politik dan ekonomi.
Sebuah akun X dalam bahasa Persia yang menyebut dirinya “Mossad Farsi” menulis pada 20 Oktober, “Ada pria yang menyebut dirinya ‘Pemimpin‘ sudah praktis lumpuh dan tidak dapatlagi menjalankan tugasnya. Ia tidak bisa memusatkan perhatian lebih dari sepuluh menit. Seluruh kemampuannya untuk memahami realitas atau terhubung dengannya sudah hilang. Iran dijalankan oleh tim penasihatnya. Tidak ada pemimpin, tidak ada kebijakan, tidak adanegara yang berfungsi. Otoritas runtuh. Semua orang berjalan sesuka hati, melakukan apapun yang mereka inginkan.”
Namun untuk saat ini, Khamenei masih percaya diri hadapi Amerika Serikat. Dalam pidatonya, ia berani menuding protes anti-Trump di Amerika adalah bukti kelemahan AS.
Sementara itu, sekutu kepercayaannya, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Ali Larijani, melakukan perjalanan ke Moskow minggu lalu. Sepulang dari sana, dia pun langsung menyampaikan pesan kepada Khamanei. Namun, ini pidato Larijani masihdirahasiakan. Yang jelas, pidato itu membuat “pemimpin umat Islam” nyaman, sebuahsebutan dari para loyalis kepadanya. Pidato itu mungkin saja menjelaskan mengapaKhamenei semakin merasa cukup percaya diri untuk mengarahkan serangan retorikanyaterhadap Trump sekarang.***










