
Tank IDF di jantung kota Gaza.
Terjemahan dari artikel asli: The Ghost of Gaza: How Hamas Survived
Oleh Gregg Roman*
Tahap Dua dan Datangnya Krisis
Tahap satu kesepakatan Trump bisa saja berjalan lancar dalam kurun waktu 72 jam yang diterapkan. Semua sandera dibebaskan, tahanan dipertukarkan, pasukan Israel ditarik ke garis yang disepakati dan bantuan kemanusiaan mengalir. Atau bisa juga tahap itu langsung runtuh karena Hamas tidak mampu menjalankannya atau enggan membebaskan para sandera.
Jika Fase Satu berhasil, perhatian akan segera beralih ke negosiasi Fase Dua yang dijadwalkan dimulai selama implementasi Fase Satu. Di sinilah gencatan senjata akan terkonsolidasi menjadi kesepakatan berkelanjutan atau runtuh menjadi konflik baru.
Isu-isu mendasar yang membutuhkan penyelesaian dalam Fase Dua adalah:
- Perlucutan seluruh senjata Hamas termasuk penghancuran senjata yang tersisa, pembongkaran fasilitas produksi dan penonaktifan permanen infrastruktur militernya. Hamas tidak membuat komitmen untuk perlucutan senjata dalam tanggapannya pada 3 Oktober. Organisasi teroris itu malah menyatakan secara eksplisit bahwa mereka tidak akan melucuti senjata sampai berdirinya Negara Palestina.
Pada pihak lain, Israel menganggap perlucutan senjata sama sekali tidak dapat dinegosiasikan.
Sikap politik ini memposisikan negosiasi Fase Dua sebagai konfrontasi zero-sum: Hamas melucuti senjata dan tidak lagi menjadi kekuatan militer. Atau dia mempertahankan senjata dan tetap menjadi ancaman potensial.
Tidak ada jalan tengah. Perlucutan senjata sebagian berarti Hamas mempertahankan kemampuannya untuk operasi di masa mendatang.
- Penarikan menyeluruh Israel dari Gaza, termasuk evakuasi Koridor Philadelphia dan zona penyangga keamanan. Hamas menuntut “penarikan penuh dari Jalur Gaza” dengan “jaminan nyata” bahwa perang berakhir permanen.
Israel bersikeras bahwa penarikan bergantung pada kemajuan demiliterisasi dengan pengaturan keamanan permanen sehingga memastikan Gaza tidak menimbulkan ancaman.
Netanyahu berulang kali menyatakan bahwa “Israel melakukan penarikan taktis dan tetap di Gaza.” Dengan demikian, pasukan Israel mempertahankan kehadiran perimeter keamanan hingga Gaza aman dari ancaman teror.
Bahasa rencana Trump yang menghubungkan penarikan dengan “standar, tonggak, dan kerangka waktu yang disepakati terkait demiliterisasi” tidak menyelesaikan apa pun karena urutannya masih diperdebatkan.
- Transisi pemerintahan dari Hamas kepada teknokrat Palestina di bawah pengawasan internasional. Hamas memang setuju melepaskan otoritas pemerintahan. Tetapi mereka menolak struktur “Dewan Perdamaian” karena Trump dan mantan Perdana Inggris Tony Blair ada di dalamnya. Mereka bersikeras bahwa hanya orang Palestina yang dapat mengendalikan orang Palestina.
Otoritas Palestina sendiri sayangnya tidak memiliki kapasitas dan kredibilitas untuk mengambil alih kendali. Jadi, masih belum jelas siapa sebenarnya memimpin pemerintahan harian Gaza, menyediakan layanan, menjaga ketertiban, mempekerjakan pegawai negeri sipil, dan memegang legitimasi rakyat.
Tanpa pemerintahan yang efektif, unsur-unsur kriminal, faksi-faksi militan yang berseteru, dan Hamas yang beroperasi secara diam-diam akan mengisi kekosongan.
- Pembentukan Negara Palestina merupakan cakrawala politik pamungkas yang dapat memberikan resolusi yang langgeng, tetapi tetap sengaja dibuat samar-samar dalam rencana Trump. Kerangka kerja tersebut hanya menyebutkan bahwa “ketika program reformasi Otoritas Palestina dijalankan dengan setia, kondisi-kondisi akhirnya dapat terwujud untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan kenegaraan Palestina.”
Netanyahu secara tegas dan berulang kali menolak eksistensi Negara Palestina. Menurut dia, pembentukan Negara Palestina itu “hadiah utama bagi terror.” Karena itu, ketika berbicara di PBB pada 26 September, dia mengatakan: “Israel tidak akan membiarkan Anda memaksakan negara teroris kepada kami.”
Dia lalu menekankan bahwa ini merupakan “kebijakan Negara dan rakyat Negara Israel.” Hamas bersikeras pada status negara yang pada akhirnya mencakup seluruh “Palestina” historis dengan Yerusalem sebagai ibu kotanya. Kesenjangan antara posisi-posisi ini tidak dapat dijembatani melalui negosiasi.
Krisis politik domestik Netanyahu mempersulit negosiasi Fase Dua. Koalisinya hanya memiliki 60 kursi dari 120 kursi Knesset, sehingga tidak memiliki mayoritas parlemen.
Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich menentang kesepakatan Fase Satu. Ben Gvir mengancam partainya akan meninggalkan pemerintahan jika Hamas tidak dibubarkan pada Fase Dua.
Kesepakatan baru terjadi hanya karena pemimpin oposisi Yair Lapid menawarkan “jaring pengaman” politik, yang menyediakan suara untuk mencegah pemerintah runtuh.
Kerja sama ini belum pernah terjadi sebelumnya antarpara rival ini ketika kepentingan nasional yang selaras menunjukkan ketahanan demokrasi Israel, tetapi dia menciptakan dinamika yang tidak berkelanjutan.
Netanyahu dengan demikian harus bernegosiasi dengan Hamas sekaligus mengelola mitra koalisi yang menganggap akomodasi apa pun dengan Hamas tidak dapat ditoleransi.
Jika negosiasi Fase Dua menghasilkan kesepakatan yang mengharuskan konsesi Israel lebih lanjut seperti menerima pelucutan senjata sebagian Hamas, menyetujui penarikan penuh tanpa jaminan keamanan yang kuat, atau mengakui pemikiran soal pembentukan Negara Palestina, maka Ben Gvir dan Smotrich kemungkinan akan menjatuhkan pemerintah.
Jika Netanyahu menolak tuntutan Hamas dan negosiasi mandek, tekanan internasional akan meningkat agar Israel fleksibel. Sementara itu, Hamas mengonsolidasikan kekuasaannya atas wilayah-wilayah yang telah ditarik Israel.
Jika negosiasi gagal total dan Israel melanjutkan operasi militer, kritik internasional akan kembali, diperkuat oleh tuduhan bahwa Israel bernegosiasi dengan itikad buruk.
Skenario yang paling mungkin terjadi adalah negosiasi Fase Dua yang berkepanjangan yang menghasilkan kesepakatan parsial mengenai isu-isu sekunder, sementara pertanyaan-pertanyaan inti—pelucutan senjata, penarikan pasukan, tata kelola pemerintahan, dan kenegaraan—masih belum terselesaikan.
Hamas akan menerapkan reformasi yang memadai untuk mempertahankan dukungan internasional sekaligus menjaga kemampuannya untuk beroperasi pada masa mendatang.
Jika itu terjadi, Israel akan mempertahankan kehadiran keamanannya di beberapa wilayah. Ia hanya menarik diri dari beberapa wilayah lain sambil menciptakan pengaturan ambigu yang tidak memuaskan siapa pun.
Struktur pemerintahan teknokratis dengan demikian bakal dibangun di atas kertas, sementara Hamas memengaruhi pemerintahan mana pun melalui jaringan patronase dan intimidasi.
Kedua belah pihak bakal mengklaim kesepakatan itu mengalami kemajuan tetapi tetap mempersiapkan konfrontasi di kemudian hari.
Preseden historis menunjukkan bahwa pengaturan gencatan senjata yang tidak memiliki resolusi sejati atas isu-isu inti pada akhirnya akan runtuh.
Gencatan senjata November 2023 misalnya berlangsung selama satu minggu. Gencatan senjata Januari 2025 berakhir pada bulan Maret.
Kedua gencatan senjata diwarnai tudingan sama-sama tidak jujur. Israel mengklaim Hamas menolak mematuhinya. Hamas menuduh Israel menyabotasenya.
Pola ini tidak menunjukkan bahwa kedua belah pihak sama-sama tidak dapat dipercaya, melainkan bahwa isu-isu mendasar yang memecah belah mereka tidak dapat diselesaikan melalui kompromi yang dinegosiasikan.
Hamas harus dikalahkan secara militer sehingga tidak lagi menjadi ancaman. Atau ia bertahan dan akhirnya melanjutkan konflik ketika keadaan mendukungnya (Bersambung).
- Gregg Roman adalah Direktur Eksekutif Middle East Forum, AS. Ia dianggap sebagai satu dari 10 pemimpin muda Yahudi yang menginsipirasi masyarakat. Ia pernah menjadi penasehat politik Wakil Menlu Israel dan bekerja untuk Kementerian Pertahanan Israel. Selain berbicara dalam berbagai saluran televisi, tulisannya bermunculan dalam berbagai media papan atas dunia.











