Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Pasukan bentukan PB II ini barangkali satu-satunya di dunia. Berbeda dengan pasukan lainnya, yang dihadapi bukan pasukan kasat mata, tetapi lelembut yang tak kasat mata. Jika sekarang namanya mungkin ghostbusters (pemburu hantu) yang populer menjadi film. Boleh jadi, film ini terinspirasi dari pasukan Kasunanan Surakarta.

Nama psukan khusus ini Legiun Canthang Balung. Cerita kemunculan Canthang Balung berawal dari Raja Pakubuwono II yang ingin membangun kembali Istana Keraton di tempat baru setelah Keraton Kartasura hancur lebur akibat peristiwa geger pecinan pada tahun 1740.
Setelah kehancuran Keraton Kartasura, para penasihat raja kemudian berunding untuk menetapkan tempat baru. Akhirnya dipilihlah wilayah Kedung Lumbu di Desa Sala untuk menjadi lokasi baru berdirinya keraton.
Namun saat itu wilayah tersebut merupakan daerah rawa yang banyak ditumbuhi tanaman talas. Belum lagi tempat itu merupakan sarang lelembut yang amat ditakuti demikian Aryono dalam Pasukan Penggusur Lelembut yang dimuat Historia.
Pada saat itu, Nyi Roro Kidul disebut sudah meminta anak buahnya Nyi Blorong (Ulin Putih) dan para pasukan lelembutnya untuk berpindah tempat agar tak mendapat murka raja.
Namun sebelum sempat pergi, Pakubuwono II kadung mengirim pasukan, sebuah pasukan yang para anggotanya berpakaian aneh dan menabuh gamelan.
Para anggota pasukan itu berpakaian aneh; topi berkerucut tinggi, mengenakan kain merah, berkalung bunga melati, berikat pinggang sindur, jenggot terurai putih, dan mengacungkan tombak Kyai Slamet.
Di belakang pasukan ini ada pasukan panyutro. Para anggota pasukan panyutro tubuhnya diberi bedak kuning, bercelana dan berbaju kuning juga dengan model terpotong, mengenakan ikat kepala batik bermotif bango tolak, serta bersenjatakan panah dan keris.

Saat ini dipakai pengiring manten
Lalu di belakang pasukan panyutro ada pasukan prawirotomo yang berkostum hitam-hitam mulai dari topi hingga celana.
Para lelembut tidak berani kepada ketiga pasukan itu mereka tampak seperti prajurit penghibur Nyi Roro Kidul.
Seiring waktu, keberadaan Pasukan Canthang Balung mengalami pasang surut. Setelah peristiwa pengusiran lelembut itu, pasukan ini bertugas mengiringi watangan (ritual) setiap Sabtu sore.
Setelah watangan dihapus pada abad ke-19, pasukan ini menempati posisi baru sebagai jajar yang bertugas menari tarian Gajah Ngombe di depan bangsa Angun-Angun waktu raja berjalan dari Siti Hinggil menuju kedaton.
Pada masa Pakubuwono X di tahun 1866, Canthang Balung dikelompokkan sebagai abdi dalem golongan kridhastama.
Sebagai penggembira, pasukan ini punya kebebasan untuk mengatakan sesuatu yang mereka inginkan.
Selayaknya badut, mereka bertugas untuk membuat lelucon. Namun lelucon mereka sering menonjolkan kritik sosial.

Nyi Blorong anak buah Nyi Roro Kidul
Pasukan Canthang Balung sempat tidak dipakai lagi setelah tahun 1945. Namun pada tahun 1973, pasukan itu kembali muncul pada perayaan sekaten Keraton Surakarta hingga saat ini.
Arkeolog W.F Stutterheim menyebut pasukan canthang balung merupakan bentuk baru dari pendeta yang berada di barisan terdapat dalam suatu acara keagamaan. Misalnya figur ini ditemukan dalam penelitian relief Candi Borobudur di tahun 1935.
Stutterheim meneliti tokoh brahmana yang digambarkan berjenggot dan berkumis sedang menari. Adegan di relief tersebut diyakini sebagai pendahulu dari pasukan canthang balung yang diadaptasi oleh Keraton Surakarta.
Darsiti Suratman dalam Kehidupan Dunia Keraton menjelaskan kedudukan canthang balung sebagai brahmana bisa dilihat ketika memimpin pengiringan sajian suci ke tempat ibadah. Seperti saat berlangsung Grebeg Maulud.
“Pasukan canthang balung harus mengiringi gunungan Grebeg Maulud sampai ke halaman masjid,” catatnya.
Sahaji dalam Canthang Balung dan Pesan Demokrasi Keraton menyebut canthang balung menempati posisi depan dalam proses gunungan. Prosesi berangkat dari Kori Kemandungan menuju Siti Hinggil.
Kemudian melewati Pagelaran, Tratag Rambat, dan terakhir menuju serambi Masjid Agung yang letaknya di sebelah barat Alun-alun utara Keraton Surakarta. Di Masjid Agung kemudian dibunyikan gamelan Sekaten.
“Masyarakat biasanya sudah sejak pagi menunggu prosesi tersebut bahkan mengikuti sejak keberangkatan dari dalam Keraton. Pada puncak acara, masyarakat memperebutkan gunungan yang merupakan rangkaian buah, sayur-mayur, dan kue apem,” paparnya.***