Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV (lahir pada tanggal 3 Maret 1811 – meninggal pada tahun 1881) adalah Adipati keempat Mangkunegaran yang memerintah dari tahun 1853 sampai 1881.
Mangkunegara IV lahir pada 3 Maret 1811 dengan nama Raden Mas Sudira. Mangkunegara IV adalah anak ketujuh dari Kanjeng Pangeran Harya Hadiwijaya I dan Bandara Raden Ajeng Sekeli yang merupakan anak dari Mangkunegara II.
Setelah mendapat gelar Pangeran nama R.M Sudira diubah menjadi K.P.H. Gandakusuma. Ia menikah dengan R.Ay. Semi, dan dikaruniai 14 anak. Tidak lama setelah KGPAA Mangkunagara III meninggal tahun 1853, K.P.H. Gandakusuma diangkat menjadi KGPAA Mangkunagara IV. Kurang lebih setahun bertahta kemudian menikah dengan R.Ay. Dunuk, putri dalem (anak kandung) Mangkunagara III.
R.M. Sudira pada masa kecilnya tidak mendapatkan pendidikan formal, namun pendidikan diberikan secara privat. Ia juga mendapatkan tuntunan dari orang-orang Belanda yang didatangkan oleh K.G.P.A.A. Mangkunagara II, yang selain untuk menuntun Pangeran Riya yang dipersiapkan sebagai K.P. Prangwadana III, juga ditugasi mendidik R.M. Sudira. Pengajaran yang diterimanya antara lain bahasa Belanda, tulisan Latin dan pengetahuan lainnya. Para ahli bahasa Dr. J.F.C. Gericke dan C.F. Winter adalah termasuk juga guru-gurunya.
Sebagaimana para putera bangsawan tinggi Mangkunagaran, pada umur 15 tahun R.M. Sudira menjadi kadet di Legiun Mangkunagaran. Menurut tulisan Letnan Kolonel H.F. Aukes, para kadet dilatih sendiri oleh para perwira senior Legiun, sementara instruktur Belanda hanya ditugasi membantu memberikan pendidikan pelajaran. Setelah lulus pendidikan selama setahun, R.M Sudira ditempatkan di kompi 5 sebagai perwira baru.
Beberapa bulan setelah R.M. Sudira bertugas di kancah pertempuran, ia menerima kabar bahwa ayahandanya K.P.H. Hadiwijaya I wafat. Ia mendapatkan izin kepada kakeknya, K.G.P.A.A. Mangkunagara II yang sekaligus menjadi panglimanya, untuk pulang dan memberikan penghormatan terakhir kepada ayahandanya.
Setelah pemakaman, R.M. Sudira kembali ke kancah pertempuran. Pasukan Legiun berhasil mengalahkan dan menangkap Panembahan Sungki, yaitu pemimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro.
Kadipaten Mangkunegaran sejak era kekuasaan Mangkuengara I (Pangeran Sambernyawa) mengambil kebijakan yang cukup berani. Mangkunegaran menjalin kerjasama dengan para pengusaha dari Eropa untuk menanam berbagai tanaman yang bisa menghasilkan keuntungan.
Kebijakan ini pada akhirnya membuat Jawa pada waktu itu menjadi surga bagi Hindia Belanda. Berbagai jenis tanaman diproduksi di Jawa yang membuat bangsa penjajah menjadi kaya raya. Mangkunegara IV adalah tokoh pembaharu kebijakan ini. Ia membuat sistem baru manajemen perkebunan dengan pola yang lebih modern dan menguntungkan penguasa pribumi.
Dengan kepintarannya, Mangkunegara IV membawa Mangkunegaran tampil sebagai kekuatan baru di bidang ekonomi. Ia mendirikan Pabrik Gula Colomadu dan Tasikmadu. Pabrik Gula Colomadu didirikan pada tahun 1861 di Malang Jiwan yang terletak di sebelah barat Mangkunegaran. Sedangkan Pabrik Gula Tasikmadu didirikan pada tahun 1871 di sebelah timur Mangkunegaran yakni di Kabupaten Karanganyar. Dalam menjalankan pabrik ini, Mangkunegara IV menerapkan pola manajemen ala Eropa. Pola yang sama juga diterapkan Mangkunegara IV untuk perkebunan kopi dan tanah-tanah yang dikuasainya.
Pabrik dan perkebunan milik Mangkunegaran benar-benar maju pesat dan berkembang menjadi perusahaan paling modern di Jawa pada waktu itu. Menariknya lagi, Mangkunegara IV selain memperkerjakan warga lokal juga memperkerjakan manajer non Jawa. Perusahaan-perusahaan milik Mangkunegaran benar-benar jadi perusahaan profesional setelah Mangkunegara IV perlahan-lahan menggantikan sistem apanese yang tradisional dengan sistem gaji. Dampak dari sistem manajemen ini benar-benar luar biasa, para pekerja hidup makmur dan produksi gula serta kopi dari Mangkunegaran berhasil menembus pasar Eropa dan internasional. Mangkunegaran pun berjaya dan kaya raya.
Di bawah kepemimpinan Mangkunegara IV, Kadipaten Mangkunegaran menjadi Negara kecil yang komplit dan paling modern di Jawa. Dikatakan komplit karena selain berdaya di bidang ekonomi, Mangkunegaran juga memiliki pasukan elit Legiun Mangkunegaran. Di masa itu, Legiun Mangkunegaran adalah pasukan tempur paling kuat di Asia Tenggara.
Semasa berkuasa, Mangkunegara IV juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan pembangunan infrastruktur. Ini dibuktikan dengan ia ikut memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan jalur rel kereta api Solo –Semarang. Stasiun Balapan dihubungkan dengan stasiun-stasiun di titik-titik strategis, yakni Stasiun Purwosari, Sriwedari, dan Jebres. Stasiun-stasiun itu terhubungkan oleh rel-rel yang melewati tengah kota.
Mangkunegara IV adalah pemimpin yang luar biasa cerdas dan ikut memainkan peranan penting di bidang budaya dan agama. Selain mahir di urusan politik dan pemerintahan, Mangkunegara IV merupakan seorang penulis syair berbahasa Jawa yang produktif menghasilkan karya. Wedhatama (Kebijaksanaan Utama), menjadi karya puisinya yang paling terkenal. Karya puisi ini kemungkinan ditulis Mangkunegara IV pada akhir 1870-an.
Pabrik dan perkebunan milik Mangkunegaran benar-benar maju pesat dan berkembang menjadi perusahaan paling modern di Jawa pada waktu itu. Menariknya lagi, Mangkunegara IV selain memperkerjakan warga lokal juga memperkerjakan manajer non-Jawa. Perusahaan-perusahaan milik Mangkunegaran benar-benar jadi perusahaan profesional setelah Mangkunegara IV perlahan-lahan menggantikan sistem apanese yang tradisional dengan sistem gaji. Dampak dari sistem manajemen ini benar-benar luar biasa, para pekerja hidup makmur dan produksi gula serta kopi dari Mangkunegaran berhasil menembus pasar Eropa dan internasional. Mangkunegaran pun berjaya dan kaya raya.
Di bawah kepemimpinan Mangkunegara IV, Kadipaten Mangkunegaran menjadi Negara kecil yang komplit dan paling modern di Jawa. Dikatakan komplit karena selain berdaya di bidang ekonomi, Mangkunegaran juga memiliki pasukan elit Legiun Mangkunegaran. Di masa itu, Legiun Mangkunegaran adalah pasukan tempur paling kuat di Asia Tenggara.
Semasa berkuasa, Mangkunegara IV juga dikenal sebagai pemimpin yang sangat memperhatikan pembangunan infrastruktur. Ini dibuktikan dengan ia ikut memprakarsai berdirinya Stasiun Solo Balapan sebagai bagian pembangunan jalur rel kereta api Solo –Semarang. Stasiun Balapan dihubungkan dengan stasiun-stasiun di titik-titik strategis, yakni Stasiun Purwosari, Sriwedari, dan Jebres. Stasiun-stasiun itu terhubungkan oleh rel-rel yang melewati tengah kota.
Mangkunegara IV adalah pemimpin yang luar biasa cerdas dan ikut memainkan peranan penting di bidang budaya dan agama. Selain mahir di urusan politik dan pemerintahan, Mangkunegara IV merupakan seorang penulis syair berbahasa Jawa yang produktif menghasilkan karya. Wedhatama (Kebijaksanaan Utama), menjadi karya puisinya yang paling terkenal. Karya puisi ini kemungkinan ditulis Mangkunegara IV pada akhir 1870-an.
Mangkunegara IV juga memerintahkan menulis kurang lebih 42 buku dan mencipatakan beberapa karya komposisi gamelan. Salah satu karya komposisinya yang terkenal adalah Ketawang Puspawarna.
Mangkunegara IV wafat pada tahun 1881 setelah 28 tahun berkuasa sebagai Adipati Mangkunegaran. Ia dimakamkan di Astana Girilayu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Lokasi makamnya tak jauh dari Astana Mangadeg, tempat Pangeran Sambernyawa dan kakeknya Mangkunegara II dimakamkan.
Dalam perkembangannya, Astana Girilayu menjadi pemakaman bagi para adipati yang memimpin Mangkunegaran selanjutnya. Selain Mangkunegara IV, di Astana Girilayu juga dimakamkan Mangkunegara V, Mangkunegara VII, Mangkunegara VIII dan Mangkunegara IV. Sedangkan Mangkunegara VI dimakamkan di Astana Oetara, Kota Surakarta.***