Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Ronggowarsito adalah pujangga Keraton Kasunanan Solo saat PB IX bertahta. Selain pujangga ia dikenal sebagai insan yang weruh sadurunge winarah (melihat atau mengetahui sesuatu sebelum hal itu benar-benar terjadi) atau peramal yang boleh dikata selevel dengan Nostradamus.
Dilihat dari banyaknya buku yang pernah ditangani, Ronggowarsito memang penulis produktip. Ia mampu menulis aneka macam masalah, sejak dari pengetahuan tentang kesusasteraan, filsafat, ramalan, sejarah, primbon sampai kepada masalah pendidikan.
Tercatat ada 12 buku yang ditulis lewat tangannya. Termasuk dalam kelompok ini adalah kitab Paramasastra, dimana pada baris terakhir dihiasi gambar seekor ular kecil. Sebagai tanda seorang Pujangga.
Selain ini, ada dua buku bukan karangannya, tetapi ditulis oleh Ronggowarsito. Kedua buku tersebut, Panitisastra pelajaran tentang pendidikan dan Barotoyudho kisah peperangan keluarga Pandawa.
Sebenarnya hasil karya moyangnya, Kyai Yasadipuro ke I, kemudian ditulis kembali dan disalin oleh Ronggowarsito pada tahun 1864.
Di samping dua kelompok di atas, ada 21 buku yang bukan asli tulisan tangan Ronggowarsito, tetapi diyakini sebagai karyanya. Keyakinan tersebut dilakukan berdasar penelitian mengenai gaya bahasa, sandi-asma yang terjalin di dalamnya atau lewat sangkalan tahun pembuatan buku yang diterakan.
Dari kelompok ini, yang terkenal misalnya berjusul Witaradya, Kalatida dan Joyoboyo. Kecuali pengelompokan seperti tersebut di muka, ada 13 buku tulisan Ronggowarsito sudah sempat diterbitkan dalam ujud cetakan. Beberapa diantaranya sudah termasuk kelompok diatas.
Beberapa lagi semisal buku berjudul Sidin pengetahuan tentang kesusasteraan dicetak oleh HG Bomm Amsterdam pada tahun 1882. Dan buku berjudul Saridin, mengetengahkan pendidikan kesusilaan, dicetak oleh Muller, Nederland ditahun 1858.
Manakah buku karangan Ronggowarsito yang paling menonjol? Sulit disebutkan secara pasti, karena ada beberapa alasan yang membatasi disamping soal selera.
Buku berjudul Pustaka Raja misalnya, cukup mengesankan. Karena keluar sampai sebanyak 29 buku, terbagi dalam 9 jilid dengan jumlah halaman tidak kurang dari 2.000.
Atau buku Sabdajati, yang berisi tembang Megatruh dalam Serat Sabda Jati yang ia tulis sendiri. Dimana pada pupuh ke 16 sampai ke 19, Ronggowarsito dalam puisinya telah menyebutkan secara jelas bahwa ia akan meninggal dunia pada Rebo Pon, tanggal 5 Dulka’idah tahun 1802. Lengkap dengan saat kematiannya, waktu dhuhur, serta perhitungan-perhitungan lain.
Soal kematian ini ada cerita bahwa kematiannya disebabkan karena pembunuhan. Ronggowarsito meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, pada tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabda Jati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ronggowarsito meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya. Dugaan ini diperkuat oleh pendapat Ki Herman Sinung Janutama yang beranggapan bahwa:
Untuk orang awam, mereka merasakan lebih dekat dengan karya Ronggowarsito berjudul Kalathida, terutama kepada pupuh ke 7 dalam naskah tersebut. Dimana pujangga ini menulis tentang adanya jaman edan. Mengapa ia sampai menyebutnya demikian?
Pupuh ke 7 dari Serat Kalathida berbunyi:
A menangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, Melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, soya kaduman melik, kaliren wekasanipun, Oilalah kersa Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling Ian waspada.
Terjemahan bebasnya kurang lebih adalah:
Mengalami zaman edan, sangat mempersulit segala usaha, ikut gila tidak tahan, tapi jika tidak ikut, lenyap kemungkinan mendapatkan hasil, yang terjadi hanyalah kelaparan. Meskipun demikian takdir kehendak Tuhan, betapapun bahagia mereka yang terlupa, masih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.
Mungkin, ada mereka yang tetap menduga, zaman edan yang disebutkan oleh Pujangga Ronggowarsito berlaku masa kini.
Tentu saja, kemungkinan semacam itu tetap tidak tertutup. Orang bebas menduga dan memperkirakan, kapan jaman edan berlangsung.
Meskipun demikian, dilihat dari situasi yang melatarbelakangi Ronggowarsito, di kala ia menyelesaikan buku Kalatida, lebih banyak kecenderungan menduga, jaman edan yang ia maksudkan, justru berlangsung dimasa ia menuliskan karangannya tersebut.
Suasana Kraton Surakarta yang semakin menyuram, lingkungan Istana yang main intrik, menambah beban di hatinya.
Perasaannya yang halus terluka, mengapa segala kebobrokan justru berkuasa. Mengapa keadilan justru harus dikalahkan oleh segala keangkaraian. Apalagi keadaan tersebut, secara langsung harus diderita Ronggowarsito.
Jaman edan juga masih relevan dengan keadaan masa kini, yang intinya adalah dekadensi moral, korupsi berjamaah, penegakkan hukum yang amuradul dst.
Ada lagi tulisan Ronggowarsito yang selalu muncul saat pemilu pipres yakni mengenai Ratu Adil dan Satrio Piningit.
Ia meramalkan tentang datangnya Ratu Adil yang dituangkan dalam Serat Joko Lodhang. Melalui naskah tersebut, Ronggo Warsito pula menjelaskan tentang ciri-ciri Ratu Adil yang akan membawa keadilan di muka bumi Nusantara.
Menurut Serat Joko Lodang pupuh Gambuh pada satu sampai tiga bahwa datangnya Ratu Adil ditandai mulai bangkitnya kaum pribumi yang sekian lama berada dalam cengkeraman kaum penjajah yakni Belanda pada sengkalan Sirna Tata Estining Wong. Sengkalan yang menunjuk tahun Jawa 1850 atau tahun 1919-1920 Masehi.
Tanda kedua tentang munculnya Satrio Piningit Ratu Adil yakni kebobrokan mental manusia yang terjadi pada sengkalan NIr Sat Esthining Urip. Sengkalan yang menunjuk tahun Jawa 1860 atau tahun 1930 Masehi.
Dikatakan terjadi kebobrokan mental, mengingat waktu itu banyak manusia yang munafik, melakukan maksiat, bermain perempuan, berjudi, mabuk, dan tindakan bejat lainnya. Sehingga tahun tersebut timbullah hukuman Tuhan melalui prahara dan meletusnya Gunung Merapi.
Sri Susuhunan Paku Buwono ke IX, yang memangku jabatan sejak tahun 1862, mungkin Raja baik.
Tetapi bagaimanapun besar penghargaannya terhadap Pujangga Kraton Surakarta, yang sudah diangkat sejak Sunan terdahulu pada tahun 1845, Sunan tetap mempunyai dugaan keras, keluarga Ronggowarsito, termasuk salah satu keluarga di lingkungan Kraton yang diindikasikan sebagai menyetujui pengasingan Susuhunan Paku Buwono ke IV ke pulau Ambon.
Ini mengakibatkan Raja tetap mengambil jarak tertentu dengan Ronggowarsito. Begitulah yang terjadi, akibat “jaman edan” yang berkuasa dalam lingkungan Kraton Solo, meskipun sang Pujangga sejak tahun 1845 sudah menggantikan kedudukan kakeknya.
Tetapi pangkatnya dalam jenjang kepegawaian tetap hanya seorang Penewu Carik Kliwon. Dan pangkat tersebut tetap tidak berubah, sampai akhirnya Ronggowarsito meninggal dunia tanggal 24 Desember 1873. Sesuai dengan yang telah ia tulis sendiri dalam kitab Sabdajati, dihari Rebo Pon.
Meninggal dalam kekecewaan luar biasa, Ronggowarsito akhirnya menemukan peristirahatan terakhir di desa Palar, kecamatan Trucuk, kabupaten Klaten, 40 Km barat daya Kraton Solo. Sebuah dusun yang sepi, di tengah-tengah rakyat biasa yang mungkin tetap masih menduga-duga, kapan jaman edan berakhir.
Jauh dari kota, diluar kesibukan dan kemesuman lingkungan Kraton. Lingkungan yang telah diabdinya sampai akhir hayat, tetapi ternyata tidak menghargai secara layak. Di lingkungan kuburan desa sederhana, daerah tempat asal usul ibu kandungnya.
Ronggowarsito mungkin merasa lebih puas daripada ia terpaksa hidup dari berkarya dalam lingkungan intrik serta fitnah disebalik tembok Kraton yang megah.
Pujangga yang telah menyelesaikan lebih dari 30 buku, menulis tentang berbagai bidan dan masalah. Mengabdi dalam masa pemerintahan enam orang Raja, sejak diangkat selaku pegawai paling rendah dibidang kesenian oleh Sri Susuhunan Paku Buwono ke IV sampai IX, meninggal dunia dalam masa kekuasaan Sunan Paku Buwono ke IX.
Nama baik dan kedudukannya baru dipulihkan setahun setelah ia terkubur di perut bumi. Dengan ucapan terima kasih terhadap segala sumbangannya, Sri Susuhunan Paku Buwono ke XII pada tanggal 17 April 1952 menganugerahkan pangkat Bupati Anom di samping tambahan gelar sebagai Kanjeng Raden Tumenggung.
Beberapa naskah asli tulisan tangannya, sampai hari ini masih tersimpan dan bisa disaksikan.***