Menu

Mode Gelap

Uncategorized

Cerita Hari Ini: Jenderal Hendrik Marcus de Kock Sadar, Menjebak Pangeran Diponegoro Adalah Tindakan Pengecut

badge-check


					Jenderal de Kock sadar tindakannya pengecut Perbesar

Jenderal de Kock sadar tindakannya pengecut

Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya

KREDONEWS.COM, SURABAYA-“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”

Tulisan momoar Jendral Hendrik Merkus de Kock Saat penangkapan sang Singa Jawa Pangeran Diponegoro.

Perang yang mengubah banyak hal di Jawa, perang ini menyebabkan di tetapkannya program Tanam Paksa untuk mengisi kas Belanda yang terkuras habis untuk perang ini, di perang ini juga menetapkan bahwa infantry adalah “ “queen of battle “ dalam perang.

Di perang ini juga serdadu bule Belanda terbanyak yang tewas sekitar 7000 nyawa bule belanda tewas, sedang 8000 nya adalah prajurit pribumi londo.

Sekelumit kisah penangkapan Pangeran Diponegoro di mata seorang “De Kock”, Jendral yang memimpin perang Jawa dalam menghadapi Pangeran Diponegoro.

Hendrik Markus De Kock merupakan tentara berprestasi, pernah menjadi calon kuat gubernur jenderal Hindia Belanda pada masa Perang Jawa. Sukses melakukan tipu daya terhadap Diponegoro, tetapi ia batal menjadi gubernur jenderal.

Sewaktu Hendrik Markus De Kock diangkat menjadi kepala perlengkapan kapal Angkatan Laut di Hindia Belanda pada 1806, Diponegoro baru berusia 21 tahun. De Kock 26 tahun.

Keterampilannya membuat Gubernur Jenderal Hindia Belanda Albert Wiese benar-benar memerlukan tenaganya. Ia kemudian menikahi keponakan istri Wiese dan kelak berhasil melakukan tipu daya terhadap Diponegoro.

De Kock bertugas di Hindia Belanda sejak 1806. Ketika pecah Perang Jawa, De Kock yang sudah berpangkat letnan jenderal mendapat tugas memulihkan keamanan di Yogyakarta sejak 26 Juli 1825.

Sebelumnya ia menjadi gubernur di Maluku. Ia pernah pula menjadi ketua komisi penghematan, yang sukses mengumpulkan tiga juta gulden.

Ia harus menjalin komunikasi di keraton Yogyakarta dan Surakarta. Ketika Perang Jawa makin meluas, De Kock “terkurung” di keraton Surakarta.

Prajurit Diponegoro telah merebut Yogyakarta dan membunuh orang-orang Eropa. Benteng Vrebeburg telah dirusak oleh prajurit Diponegoro.

Pada 30 September 1828, De Kock mengerahkan 2.500 prajurit mengepung Selarong, markas Diponegoro. Tapi De Kock kecele, karena tak ada pertempuran besar di Selarong.

Prajurit Diponegoro telah meninggalkan Selarong sebelum De Kock tiba. Gubuk-gubuk telah kosong.

Pada 1 Januari 1826 De Kock mendapat perintah menggantikan posisi Gubernur Jenderal Van der Capellen. Tapi ia menganggapnya hanya menjadi pejabat sementara sebelum gubernur jenderal definitif tiba di Batavia.

Ia kemudian menyerahkan komando tentara kepada Mayor Jenderal Van Geen. De Kock memikirkan cara lain untuk menaklukkan Diponegoro, tidak dengan cara menyerbu tetapi dengan cara mengambil hati rakyat Jawa.

Dibangunlah benteng-benteng sementara di berbagai tempat. Benteng-benteng itu untuk memutus gerak pasukan Diponegoro dan mengambil hati penduduk di sekitar benteng.

Pada 3 Februari 1826 Leonard du Bus tiba di Batavia. Kedatangan Du Bus mengakhiri tugas De Kock sebagai gubernur jenderal sementara. De Kock menilai Du Bus tidak bisa menjalankan tugas sebagai gubernur jenderal secara adil.

Du Bus nendapat tugas dari Raja Belanda untuk mengumpulkan uang dari Hindia Belanda. De Kock tak bisa berhemat ketika harus memulihkan keamanan di Jawa.

De Kock kemudian berkonflik dengan Du Bus, sehingga ia memilih tinggal di Magelang daripada di Batavia. Du Bus menaruh kecurigaan besar kepada De Kock.

Ketika De Kock membiarkan perayaan ulang tahun Raja Belanda di Jawa, Du Bus membatalkan perayaan di Batavia dan Buitenzorg dengan alasan demi penghematan.

Usaha kerasnya menyenangkan orang Jawa membawa banyak pengikut Diponegoro yang menyerahkan diri. Ketika Diponegoro sudah merasa kehilangan pengikut, ia mengajak berdialog.

Diundanglah Diponegoro ke Magelang. De Kock menyambutnya dengan sangat ramah.

Tipu-tipu ini berhasil memperdaya Diponegoro. Ketika Diponegoro bersilaturahim pada hari kedua Lebaran, De Kock tak lagi ramah.

Titah Raja Willem I

Badan kurusnya terbujur di sebuah gubuk reyot di tengah hutan rimba, Bagelen Barat. Ia sedang berjuang melawan malaria tropika parah yang menghantam tubuhnya. Bukan hanya malaria yg turut merontokkan perjuanganannya selama ini. Tapi juga tertangkapnya Kiyai Maja, dan menyerahnya sang panglima Sentot Ali Basah.

Saat itu, di sampingnya hanya ada dua orang punakawannya. Yang lain, tinggal sedikit dan tercerai berai.
Akhirnya surat itu datang juga. Tawaran berunding. Pangeran Diponegoro menerima tawaran itu. Hatinya sudah tak sekukuh keyakinannya dahulu akan peperangan ini. Bukan main senang Jenderal De Kock.

Ada juga kemungkinan peperangan ini akan berakhir dengan perundingan. Namun apa lacur, datang surat dari Negeri Belanda. Raja Willem I sendiri yang menitahkannya. Di bawa langsung oleh Gubernur Jenderal Hindia yang anyar, Johannes Van Den Bosch.

“Jangan melakukan perundingan apa pun dengan dia, hanya dengan syarat pemenjaraan seumur hidup penyerahan diri dan penangkapannya diizinkan. Tidak ada syarat lain apa pun juga (yang dapat diterima).

Sang Pangeran Jawa paham peperangan tak sedahsyat dulu. Perang Jawa memang melelahkan bagi kedua belah pihak. Diperkirakan 200.000 nyawa orang Jawa melayang. 15.000 tewas dari pihak Belanda. Seperempat lahan pertanian di Jawa rusak.

Pemerintah Kolonial menanggung beban tak terperikan, 20 Juta gulden menguras kantong mereka. Keuangan mereka jebol. Ditambah lagi api perlawanan juga berkobar turut di Sumatera Barat. Atas luapan jiwa Islam pula. Perundingan memang menjadi jalan yang memungkinkan bagi kedua pihak.

Sayang, titah Raja Willem I itu datang terlambat, De Kock terlanjur menawarkan perundingan kepada Pangeran Diponegoro. De Kock dalam posisi sulit.

Pangeran datang bersama 800 orang pengikut yang menggabungkan diri selama perjalanan ke Magelang. Namun mereka bukanlah pengikut yang siap bertarung mati-matian. Sejatinya perjalanan itu adalah perjalanan bebasnya yang terakhir. De Kock bukannya tanpa tekanan. Ia melukiskan perasaannya yang sudah terlanjur mengajak berunding, namun dilarang oleh Raja Willem I.

“Saya menyadari bahwa cara bertindak seperti itu di pihak saya tidak terpuji, tidak kesatria, dan licik (onedel en oneerlijk) karena Diponegoro telah datang ke Magelang menemui saya dengan niat baik.”

Setelah menunggu hingga berakhirnya bulan puasa, hari penentuan telah tiba. 28 maret 1830. Awalnya pertemuan begitu hangat. Kemudian keadaan mulai menemui kebuntuan. Pangeran tidak mengharapkan untuk menyelesaikan pembicaraan apa pun hari itu.

Tetapi, ketika tahu ia tidak boleh pergi, Pangeran begitu marah. Apa yang dijanjikan; jika tidak ada kesepakatan, seharusnya Pangeran Diponegoro boleh pergi. De Kock tahu, hal itu tidak mungkin. Titah Raja Willem I tak mungkin ditampik. Lagipula, Ia ingin perang ini segera berakhir. Pangeran Diponegoro kemudian dikepung. Tapi tak ada perlawanan. Hari itu Sang Pangeran takluk dibawah kuasa De Kock.

Saat itulah kisah heroik sang pangeran sampai pada lembaran yang terakhir. Ia dilumpuhkan dengan penipuan. Apakah pangeran tahu bahwa ia akan diingkari? Mungkin saja. Yang pasti sejak beberapa bulan sebelumnya, ia pernah berkata kepada Mangkubumi, bahwa dirinya telah menerima pertanda (wangsit) bahwa perjuangannya akan sia-sia.

Lembaran pemimpin perang ini berganti menjadi lembaran hidup seorang tahanan yang diasingkan. Dari Batavia ia dibawa ke Manado. Setelah tiga tahun di Manado,ia diasingkan ke Makassar. Di dalam Benteng Rotterdam. Ditemani istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, di sana ia menjalani hari-hari hingga ajal menjemputnya. Menjelang Revolusi Perancis, 1848, sebuah Koran Perancis memuat kehidupan Sang pangeran di pengasingan.

“Dikurung di antara empat dinding tembok suatu benteng kecil, terpisah dari keluarganya, diawasi dengan ketat, tak diizinkan menulis surat baik kepada Gubernur-Jenderal, maupun kepada orang lain, diperlakukan selama delapan belas tahun terakhir ini dengan cara-cara yang keras dan kejam yang tidak layak dilakukan oleh negeri ini.”

Dalam pengasingannya, ia merindukan sosok ibunya, Raden Ayu Mangkorowati untuk menemaninya. Permintaannya agar sang Ibu didatangkan ke Makassar tidak pernah dipenuhi. Dalam rasa rindu yang begitu dalam kepada ibunya, bilamana ada kapal uap memasuki Bandar Makassar, dirinya akan menaiki tangga ke lantai teratas untuk menatap lepas ke pelabuhan. Guna melihat apakah sang ibu telah tiba.

Berharap kapal-kapal tersebut akan membawa ibundanya. Sampai akhir hayatnya, harapan itu tak pernah tercapai. Sang Pangilma perang itu pun wafat sebagai orang yang terasing dari bangsanya sendiri dalam kesepian.
Sungguh, padamnya perang Jawa membuat Pemerintah kolonial Belanda, bertindak leluasa.

Api peperangan di Sumatera Barat yang dikobarkan Haji-Haji “Paderi” beberapa tahun sebelumnya akhirnya semakin redup. Pasukan pemadam perlawanan para Tuanku itu kini didatangkan bertubi-tubi. Jawa bukan lagi beban yang memberatkan. Kaum Paderi yang telah terkoyak serta terpecah menunggu ajalnya. ***

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Cerita Hari Ini: Menakjinggo Pria Sakti yang Dikibuli Ratu Majapahit

8 September 2025 - 13:00 WIB

Blood Moon Akan Terlihat di Seluruh Indonesia, Malam Ini

7 September 2025 - 18:44 WIB

Hantu Indonesia dengan Hantu Jepang Serupa Tapi Tak Sama

7 September 2025 - 15:55 WIB

Teknologi Phone Farm Untuk Pengaruhi Opini dan Perangkat Minimal yang Dibutuhkan

6 September 2025 - 19:56 WIB

Kita Tidak Pernah Bisa Menghitung Luas Lingkaran dengan Tepat

6 September 2025 - 07:49 WIB

Cerita Hari Ini: Di Indonesia, Aksi Protes Sudah Ada Sejak Era Majapahit

1 September 2025 - 15:28 WIB

Cerita Hari Ini: Kisah Raden Panji Dikelabui Kuntilanak Ganas Kalakunti di Hutan Keramat

26 Agustus 2025 - 11:37 WIB

Cerita Hari Ini: Sunan Bungkul, Petinggi Majapahit Penyebar Agama Islam Berumur 300 Tahun

25 Agustus 2025 - 11:43 WIB

Cerita Hari Ini: Kisah Sawunggaling Pukul Mundur 5.000 Pasukan Kompeni dan Tiga Kapal Perang

22 Agustus 2025 - 13:53 WIB

Trending di Uncategorized