Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Sebelum dimulainya perang, Pangeran Dipanegara mendapatkan dukungan dari Sunan Pakubuwana VI (PB VI)/ R.M. Sapardan, dan dibantu oleh Tumenggung Prawiradigdaya/ R.M. Panji Yudha Prawira bupati Gagatan saat itu. Tanggal 23 Mei 1823, Pangeran Dipanegara menggalang kekuatan dengan para alim ulama dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di wilayah Mataram.
Orang pertama yang dikunjungi adalah Kiai Abdani dan Kiai Anom di Bayat, Klaten, selanjutnya bersama Pangeran Mangkubumi menemui Kiai Maja, kiai kepercayaan Pakubuwana IV. Kemudian dengan diantar Kiai Maja, Pangeran Dipanegara menemui Tumenggung Prawiradigdaya di Gagatan.
Tumenggung Gagatan adalah kepercayaan Susuhunan Pakubuwono VI. Pada tahun 1824, atas saran Kiai Maja dan Tumenggung Prawiradigdaya, Pangeran Dipanegara menemui Susuhunan Pakubuwana VI. Ternyata Raja Surakarta ini, sangat mendukung perjuangan pamannya. Ia tidak hanya memberi dukungan dalam bentuk dana perang, tapi juga pasukan-pasukan Keraton dan para Senopati terpilih disediakan.
Dukungan tersebut dideklarasikan dalam Sumpah Ati Rata (Sumpah Hati Rata) pada Rabu Wage 17 Pasa 1239 H/ 1752 J (5 Mei 1825), bertempat di tempat yang saat ini masuk ke Dk. Gagatan (Ketoyan, Wonosegoro, Boyolali).
Ketiganya adalah tokoh penting (tritunggal) di balik siasat Perang Dipanegara. Tempat dilakukannya Sumpah Atirata ini saat ini dinamakan Pesanggrahan Dinrah.
Isi Sumpah Atirata adalah: Ha. Setya Bekti Ing Gusti Hangayomi Sapadanig Urip Rila (berarti taat [ada Tuhan Yang Maha Esa, siap melindungi setiap manusia atau makhluk hidup yang tertindas).
Lega Ing Pati. Na. Hamikukuhi Tan Kena Hamabuang Tilas Tan Gawe Wisuna (memperkokoh persatuan, tak boleh saling khianat).
Ca. Tan Ngowahi Naluri Tanah Jawa Dadi Raharja (berpendirian teguh untuk mengusir penjajah atau tak boleh mengubah cita-cita).
Sumpah Ati Roto bertujuan memulihkan kembali cita-cita Bumi Mataram yang merdeka demi kebahagiaan para kawula atau hamba sahaya. Setelah mengucapkan Sumpah Ati Roto, ketiga tokoh itu kemudian berbagi peranan masing-masing.
Dalam hal ini, PB VI atau Sunan Banguntopo berperan dalam menyuplai logistik perang dan pemberi informasi melalui sandi di tubuh lawan serta membuat kebijakan yang diplomatik. Peranan itu hanya bisa dilakukan di bawah tanah. Ini mengingat sejarah dari lahirnya Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang berpindah dari Kartasura tidak lepas dari bantuan Belanda setelah terjadi geger Pecinan.
R.T. Prawirodigdoyo memegang peranan dalam siasat perang dan memainkan sandi. Peran itu juga dikerjakan di bawah tanah mengingat jabatannya sebagai seorang wedana di bawah naungan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Sementara Pangeran Diponegoro yang sudah terang-terangan menyatakan diri sebagai musuh Belanda berperan sebagai pucuk pimpinan angkatan perang. Dia adalah pemegang komando tertinggi, pembina kokohnya persatuan [prajurit], mengasah mental, disiplin untuk menunjang keberhasilan perang.
Pendukung Penting Pangeran Diponegoro
Beberapa tokoh karismatik yang turut bergabung dengan Pangeran Diponegoro adalah Kiai Madja, Pakubuwana VI, dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya. Selain itu, ada beberapa ulama pendukung, yakni Kiai Imam Rafi’l (Bagelen), Kiai Imam Nawawi (Ngluning Purwokerto), Kiai Hasan Basori (Banyumas), dan kiai-kiai lainnya.
Kiayi Maja turut bergabung sejak hari pertama pasukan Dipanegara tiba di Gua Selarong. Pengaruh dukungan Kiai Maja terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kiai Maja yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam.
Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Diponegoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kiai Madja.
Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kiai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Pendukung lainnya adalah Sentot Ali Basha Abdul Mustopo Prawirodirdjo atau dikenal dengan Sentot Ali Pasha/Sentot Ali Basha, putra dari Ronggo Prawirodirjo III yang menjabat sebagai Bupati Montjonegoro Timur, ipar Sultan Hamengkubuwana IV, yang terbunuh oleh Hindia Belanda pada zaman pemerintahan Gubernur Daendels.[46]
Menurut sejarawan Soekanto, Sentot bergabung pada 28 Juli 1826, sedangkan menurut Peter Carey, Sentot bergabung ketika berumur 17 tahun pada Agustus 1825 di Selarong
Kerta Pengalasan, lahir tahun 1795 dan wafat sekitar tahun 1866, adalah salah satu senopati Pangeran Diponegoro. Dia dipercaya oleh Pangeran Diponegoro untuk memperkuat sistem pertahanan pusat negara di Plered.
Sebelum perang, Kerta Pengalasan adalah kepala desa di Desa Tanjung, Nanggulan, Kulon Progo. Dia diperintah oleh Pangeran Blitar I, salah satu putra Sultan Hamengkubuwono I untuk mendukung Pangeran Diponegoro.***