Penulis: Satwiko Rumekso | Editor: Yobie Hadiwijaya
KREDONEWS.COM, SURABAYA-Secara umum, ingatan masyarakat Indonesia terhadap kolonialisme Inggris cenderung lebih positif jika dibandingkan dengan negara lain yang pernah menjajah Indonesia.
Namun, serangan Inggris ke Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812 dini hari menjadi sisi lain dari kekuasaan Inggris di Nusantara yang berlangsung pada 1811-1816.
“Sering diandaikan Indonesia akan lebih maju kalau dijajah Inggris. Namun, serbuan Inggris ke Keraton Yogyakarta jadi catatan lain. Banjir darah terjadi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Keraton kemudian dijarah selama empat hari empat malam,” kata sejarawan Peter Carey.
Kisah penyerbuan ke Keraton Yogyakarta itu bermula saat Letnan Gubernur Jenderal Inggris Thomas Stamford Raffles mengambil alih kekuasaan Jawa dari Perancis pada September 1811.
Ia lalu mengirim surat kepada para penguasa Nusantara, termasuk Keraton Palembang dan Keraton Yogyakarta.
“Sepertinya surat Raffles dalam bahasa Melayu diartikan oleh penguasa di Palembang dan Yogyakarta bahwa Inggris dapat memiliki kekuasaan seperti Belanda. Kondisi ini menimbulkan ketegangan karena Sultan Palembang menghabisi 95 orang perwakilan Belanda di Palembang. Sultan Yogya juga bersikap konfrontatif dengan Belanda,” kata Carey.
Pada Desember 1811, ketika Raffles berkunjung ke Keraton Yogyakarta dan bertemu Sultan Hamengku Buwono (HB) II, nyaris terjadi pertempuran. Ketika itu, Sultan HB II memberikan tempat duduk bagi Raffles dengan posisi kursi jauh lebih rendah.
Pasukan pengawal Inggris dan para bangsawan keraton masing-masing mencabut pedang, keris, dan tombak, berhadap-hadapan. Meski bentrokan dapat dihindarkan, hubungan Inggris dan Keraton Yogyakarta terus memburuk.
Pada saat yang sama, Inggris pun disibukkan misi di luar Jawa. Raffles mengirimkan misi militer ke Palembang untuk menaklukkan Keraton Palembang pada April 1812.Peristiwa Desember 1811 juga membuat Raffles mewaspadai rencana Keraton Yogyakarta untuk mengenyahkan kekuasaan Eropa dari Jawa.
Akhirnya pada Juni 1812, sesudah pasukan Inggris kembali dari Palembang, kekuatan disiapkan dari Semarang menuju Surakarta lalu ke sasaran akhir Yogyakarta. Raffles dan pasukan tiba di Yogyakarta pada 17 Juni 1812 dan kemudian mereka menyusun kekuatan di Benteng Vredeburg yang berada sekitar 500 meter di utara Keraton Yogyakarta.
Keesokan hari tanggal 18 Juni, Inggris mengirim utusan ke keraton untuk membicarakan perdamaian. Sultan HB II menolaknya dan menyuruh utusan Inggris kembali ke Vredeburg.Pada hari itu juga, sebanyak 25 penunggang kuda yang merupakan pasukan Inggris terlibat konfrontasi dengan pasukan tombak Keraton Yogyakarta.
Catatan Peter Carey menyebutkan, 5 orang terbunuh dan 13 prajurit terluka di pihak Inggris. Serangan Pada 19 Juni, Sultan HB II mengirimkan utusan ke Vredeburg untuk menawarkan gencatan senjata dan meminta Inggris menyerah.
Inggris balik diam-diam menyiapkan serangan ke Keraton Yogyakarta yang dipertahankan sekitar 3.000 prajurit dan 100 pucuk meriam. Serangan dimulai pada pagi hari sebelum pukul 05.00 tanggal 20 Juni 1812 dengan tembakan meriam dari Vredeburg ke arah keraton.
Inggris mengirimkan pasukan pengecoh seolah-olah hendak menyerang langsung dari arah alun-alun utara. Padahal, pasukan utama bergerak dari selatan. Selain memotong laju pasukan keraton, pasukan Inggris ini juga menghancurkan gudang mesiu keraton.
Akhirnya pasukan Inggris yang berasal dari sejumlah daerah berhasil mematahkan pasukan Keraton Yogyakarta. Tembok benteng keraton dinaiki dengan tangga-tangga yang telah disiapkan. Pasukan keraton tidak sempat menggunakan meriam untuk menyerang Inggris karena mereka terus-menerus dihujani tembakan.Pada pukul 08.00 pertempuran usai.
Pasukan Inggris memasuki jantung keraton dan kemudian mengasingkan Sultan HB II ke Pulau Penang yang ketika itu disebut Pulau Prince of Wales. Sultan HB III lalu diangkat.Semasa itu, Pangeran Diponegoro muda, bernama Ontowiryo, menyaksikan intervensi Eropa pertama dan terakhir kali terhadap takhta keraton di Jawa. Serangan Inggris itu kelak menjadi salah satu inspirasi perlawanan Pangeran Diponegoro tahun 1825-1830.***