Penulis: Jayadi | Editor: Aditya Prayoga
KREDONEWS.COM, SANFRANCISCO-
Tantrum bukan sekadar rengekan biasa ia adalah bahasa frustrasi balita yang belum terampil berkomunikasi. Menyikapinya dengan keliru berisiko melukai perkembangan emosional anak. Sebaliknya, respons bijak justru mengubah krisis jadi pelajaran hidup berharga.”

Ledakan emosi balita sering memicu kepanikan orang tua. Padahal, menurut Baby Center 70% anak usia 1-3 tahun mengalami tantrum mingguan. Data ini menegaskan: tantrum adalah fase normal, namun penanganannya menentukan apakah ia jadi batu loncatan atau batu sandungan.
Akar Ledakan: Mengapa Balita “Meledak”?
1. Badai Emosi Tanpa Bahasa
Balita merasakan amarah, kesal, atau kecewa setara orang dewasa, tapi otaknya belum mampu mengolah atau mengungkapkannya. Ketidakberdayaan inilah yang meledak jadi tangisan atau guling-guling di lantai.
2. Tubuh Kecil, Kebutuhan Besar
Lapar, lelah, atau rasa tak nyaman (popok penuh, ruangan panas) adalah pemicu fisik tersering. Sistem saraf mereka mudah kewalahan oleh rangsangan berlebihan.
3. Eksperimen Kekuatan
Balita cepat belajar: “Jika saya menjerit, Ayah/Ibu menyerah.” Pola ini diperkuat secara tak sengaja ketika orang tua mengabulkan permintaan saat tantrum terjadi.
Strategi Redam Ledakan
Saat Emosi Mulai Memanas
– Cegah Sebelum Pecah: Bawa camilan jika anak mudah lapar, hindari keramaian saat ia lelah. Beri pilihan sederhana (“Pakai baju merah atau biru?”) untuk beri rasa kontrol.
– Transisi dengan “Peringatan”: “5 menit lagi kita pulang ya!” memberi waktu persiapan mental.
Ketika Tantrum Terjadi
– Tetap Tenang, Jangan Bereaksi: “Anak membaca emosi Anda. Teriakan justru menyulut api.” Tarik napas, tunggu hingga intensitasnya turun.
– Utamakan Keamanan: Jika anak membahayakan diri/orang lain (memukul, melempar), bawa ke ruangan aman. Katakan dengan tegas: “Kamu boleh marah, tapi tak boleh menyakiti”
– Time-Out sebagai “Pause” : Gunakan hanya saat emosi tak terkendali. Durasi: 1 menit per tahun usia (misal 2 menit untuk anak 2 tahun).
Pasca-Ledakan: Momentum Belajar
1. Bangun Koneksi: Peluk atau tepuk punggungnya. Kehadiran fisik Anda menegaskan: “Aku tetap menyayangimu”
2. Bantu Namaikan Emosi: “Tadi kamu marah karena mainan rusak, ya?” Ini melatih kecerdasan emosional.
3. Diskusikan Solusi: “Lain kali kalau kesal, bilang: ‘Aku marah!’. Jangan dilempar, ya.”
Tantrum di Publik? Jangan Malu, Lakukan Ini!
– Abai-kan Tatapan Orang: Fokus pada anak, bukan penilaian asing.
– Bawa ke Ruang Privat: Toilet umum atau mobil bisa jadi tempat menenangkan diri.
– Konsistensi adalah Kunci: “Mengalah di mal hanya mengajarkan kepada anak bahwa Tantrum di publik adalah kesuksesan, dan dapat hadiah
Kapan Perlu Konsultasi Profesional?
Segera hubungi dokter anak jika:
– Tantrum terjadi >10 kali/hari atau berlangsung >25 menit
– Anak sengaja melukai diri sendiri/orang lain secara konsisten.
– Disertai gejala fisik (mengompol, muntah, sesak napas).
Akibat Salah Respon
Respon yang salah terhadap tantrum balita tidak hanya gagal meredakan ledakan emosi saat itu, tetapi berisiko memicu dampak jangka panjang pada perkembangan emosional, sosial, dan neurologis anak. Berdasarkan penelitian psikologi perkembangan dan panduan Baby Center , berikut konsekuensi serius yang perlu diwaspadai:
Kesalahan Orang Tua | Dampak pada Anak | Mekanisme Psikologis |
---|---|---|
Mengalah pada tuntutan | Anak jadi manipulatif | Learned helplessness: “Dunia harus tunduk padaku” |
Menghukum fisik/meneriaki | Agresif atau penakut kronis | Modelling violence: “Kekerasan = solusi” |
Mengabaikan total | Rasa tidak berharga & insecure | Emotional neglect: “Aku tak layak ditolong” |
Catatan Ahli
“Tantrum adalah ujian kesabaran, tapi juga jendela memahami jiwa kecil mereka. Respons Anda hari ini membentuk cara mereka mengelola stres puluhan tahun mendatang.”
Dikutip dan disarikan dari panduan resmi “Understanding and Handling Toddler Tantrums” Baby Center dan direview oleh dewan medis dipimpin oleh Kelley Yost Abrams, Ph.D., developmental psychologist.***