
Dengan kembalinya 20 warga Israel yang diculik Hamas dan masih hidup, serta pembebasan jenazah mereka yang tewas, Israel kini dapat menyatakan bahwa mereka telah mencapai salah satu tujuannya dalam perang di Gaza. Israel menuntut pembebasan para sandera dan diakhirinya perang di Gaza; Yerusalem, 6 September 2025
Dua puluh sandera Israel yang masih hidup beserta jenazah mereka yang tewas sudah dikembalikan Hamas. Israel dapat mengklaim berhasil mencapai salah satu tujuannya perangnya.
Pembebasan sandera terlaksana berkat tekanan diplomatik Presiden AS serta aksi militer Israel selama dua tahun. Hamas pun tidak lagi menjadi ancaman militer bagi Israel yang merupakan tujuan utama kedua perang ini.
Tujuan ketiga perang adalah menyingkirkan Hamas sebagai otoritas yang berkuasa di Gaza. Itu adalah bagian dari fase kedua perjanjian damai, meski masih belum jelas bagaimana pelaksanaanya. Namun, Hamas telah dipaksa untuk menerima berbagai persyaratan. Trump pun terus mengancam akan menjalankan rencananya dengan segala cara.
Apa yang terjadi dalam beberapa minggu mendatang akan menentukan apakah perang ini dimenangkan telak bagi Israel ataukah sekadar jeda sebelum konfrontasi berikutnya terjadi, berapa pun lamanya waktu dibutuhkan.
Soalnya, Hamas menolak menyerahkan persenjataan ringannya. Ia tampaknya tengah menggunakan segala upaya untuk kembali berkuasa selama masa tenang ini. Caranya, dengan melancarkan perang melawan klan-klan utara yang tidak mau menyerahkan diri kepadanya. Unjuk menunjukkan kekuatan perlawanannya, Hamas menunjuk lima komandan militernya sebagai gubernur.
Masih harus dilihat apakah ini sekadar propaganda atau fondasi struktur baru Hamas yang bertekad mempertahankan kekuasaannya. Jawabannya bakal lebih jelas setelah pasukan keamanan dan rekonstruksi internasional mulai bekerja.
Setelah menetap sekaligus mengikuti perkembangan wilayah ini bertahun-tahun, saya hanya mengingatkan bahwa di Timur Tengah upaya mempertahankan pesimisme ketika menghadapi peristiwa atau keadaan apa pun dapat membantu menyelamatkan nyawa. Dan saat ini pun, perjanjian damai ini tidak membuat saya melepaskan pandangan tersebut.
Perlunya Rencana B
Israel seharusnya merayakan semua pencapaian prestasinya sejak tragedi 7 Oktober 2023 yang menentukan itu. Namun, perasaan lega karena rakyatnya kembali hidup sehingga dapat memakamkan jenazah para sandera yang teewa dengan layak — tidaklah cukup. Kelegaan, seperti halnya harapan, tidak pernah menjadi fondasi strategi yang kokoh.
Kedamaian sejati hanya terjadi setelah Israel menang mutlak. Atau, jika Anda mau, setelah musuh kalah telak. Meskipun sulit diakui, Hamas belum menerima kekalahannya. Ia kini masih menguasai senjata yang diperlukan untuk merebut kembali kekuasaan. Yang lebih penting lagi, Hamas terus berpegang teguh pada keyakinan bahwa satu-satunya misinya adalah menghancurkan Negara Israel.
Memang benar, Hamas tidak punya sarana untuk menghancurkan Israel setelah dua tahun Pasukan Pertahanan Israel (IDF) melancarkan perang. Namun, penting diingat bahwa, selain 60.000 pejuangnya, Hamas juga didukung oleh sekitar 700.000 warga sipil non-kombatan. Potensi ini tidak hanya menciptakan lahan subur untuk regenerasi pasukannya. Tetapi juga cara untuk mengobarkan kebencian terhadap Israel dan Yahudi. Apalagi, Hamas tidak hanya di Gaza. Masih banyak anggotanya di Tepi Barat, di mana Hamas terus menjadi ancaman bagi masa depan Otoritas Palestina.
Israel telah memperlihatkan kemampuannya menghadapi musuh. Ia berhasil menghancurkan Hizbullah secara sistematis di Libanon dan gangguan program nuklir Iran. Namun, dua tahun perang yang tak terduga belum menyebabkan Hamas runtuh. Setidaknya, belum.
“Cara terbaik untuk memastikan pencegahan berlangsung efektif adalah dengan membuat dunia melihat bahwa Israel tak terkalahkan.”
Bisa saja benar bahwa Presiden Trump menentang hukum gravitasi dalam segala hal yang disentuhnya. Ia juga mungkin sedang membuka jalan bagi Timur Tengah yang baru. Namun Israel harus menyikapnya dengan hati-hati secara strategis, jika Rencana B terpaksa dijalankan jika ada kesalahan kemudian hari. Israel tak mampu menerima posisi yang dapat membuatnya rentan di masa depan, terlepas dari perayaan hari ini,.
Israel misalnya harus menuntut agar komunitas internasional menegakkan prinsip perjuangannya. Prinsip tanah untuk perdamaian. Kali ini, prinsip itu diterapkannya di Gaza. Israel juga harus mendesak agar IDF diizinkan untuk mengendalikan jalur keamanan di Gaza. Selain itu, Israel harus memastikan diri bebas menjalankan operasi antiterorisme jika Hamas tidak sepenuhnya dibubarkan, seperti yang terjadi di Tepi Barat.
Kedua, Israel harus meyakinkan mereka yang terlibat dalam rekonstruksi Gaza nanti bahwa pembangunan kembali harus lebih daripada sekedar membangun infrastruktur. Gaza juga butuh rekonstruksi moral dan politik. Upaya itu bisa dimulai dengan reformasi fundamental sistem pendidikan, yang kini mendorong terjadinya hasutan, kebencian dan radikalisasi. Tanpa perubahan tersebut, koeksistensi dengan orang Yahudi tetap mustahil. Dan perdamaian abadi, tak tercapai.
Israel, di sisi lain, harus memikirkan kembali strategi keamanan nasionalnya. Walau ia telah muncul sebagai pemenang. Tetapi anggapan bahwa ia dapat dikalahkan sudah dua tahun terakhir tertanam dalam benak berbagai kalangan. Cara paling efektif untuk melakukannya adalah dengan membuat dunia melihat bahwa Israel tak terkalahkan
Operasi-operasi seperti penggunaan pager terhadap Hizbullah, pembongkaran persenjataan kimia Suriah dan perang 12 hari dengan Iran, semuanya memperkuat persepsi tentang keunggulan Israel. Namun, Gaza yang pernah didominasi Hamas, yang kini dipenuhi ribuan teroris baru yang kembali, tidak mengalaminya.
Pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada 15 September, menyatakan bahwa Israel telah lama menjadi Athena tetapi kini juga perlu menjadi Sparta. Pidato itu menuai kritik luas di negara yang terhubung secara global. Namun, ketika kelangsungan hidup nasional dipertaruhkan, ketergantungan asing dapat menjadi persoalan yang sangat rentan. Seperti yang telah kita lihat, Israel membutuhkan lebih banyak amunisi daripada yang dapat diproduksinya dan fakta ini yang dimanfaatkan secara politis oleh beberapa sekutunya. Sekalipun tekanan diplomatik itu tidak kembali, konflik perdagangan AS-Tiongkok yang sedang berlangsung dan pembatasan akses kepada unsur tanah jarang—yang krusial bagi banyak sistem militer—menunjukkan dengan jelas bahwa setiap negara, termasuk Israel, harus mempertimbangkan kembali basis industri pertahanannya, entah mereka mau atau tidak.
Dan, dalam dunia yang ideal, Israel juga akan mempertimbangkan kembali kebijakannya membebaskan teroris dengan imbalan sandera. Sepenuhnya saya sadari betapa berharganya manusia dalam pandangan orang Yahudi. Tetapi membebaskan tahanan terpidana dengan imbalan satu atau lebih tawanan hanya bakal mendorong penculikan lebih lanjut. Bukan berkurang.
Setelah dua dari tiga tujuan di Gaza yaitu pembebasan sandera dan penghapusan ancaman militer Hamas tercapai, Israel seharusnya tidak hanya merasa legal lalu memulihkan diri, tetapi juga proses rekonsiliasi. Mungkin satu-satunya cara untuk mencapai hal ini adalah melalui kotak suara, di mana posisi dan dukungan diungkapkan dengan jelas. Memupuk kebencian internal hanya akan memicu permusuhan eksternal, dan itu tidak dapat ditoleransi oleh Israel.
- Rafael Bardaji Adalah direktur eksekutif dari Friends of Israel Initiative. Ia pernah menjadi Penasihat Keamanan Nasional untuk Perdana Menteri Spanyol Jose’ Mari’a Aznar pada tahun 1996-2004, penasihat Markas Besar Pasukan Operasi Khusus NATO dan sejak 2004 menjabat sebagai Direktur Kebijakan Luar Negeri di Analysis and Social Studies dan berbagai jabatan bergengsi lainnya.