Menu

Mode Gelap

Headline

Kohabitasi Diatur KUHP yang Berlaku 2026, Apakah Jalan Keluar Pasutri?

badge-check


					Ilustrasi orang sedang berkumpul, Sumber  Art AI Perbesar

Ilustrasi orang sedang berkumpul, Sumber Art AI

Penulis: Ganjar | Editor: Aditya Prayoga

KREDONEWS.COM- SURABAYA– Pengacara dan konsultan hukum Erma Ranik menyoroti perubahan aturan terkait kohabitasi atau hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah.

Dalam unggahan di akun Instagram pribadinya enam hari lalu, ia menyebut bahwa praktik yang dulu dikenal sebagai “kumpul kebo” kini memiliki dasar hukum yang lebih tegas. “Kumpul kebo, itu istilah dulu, istilah sekarang namanya kohabitasi,” ujarnya.

Menurut Erma, ketentuan terkait kohabitasi diatur dalam Pasal 412 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang berlaku pada 2 Januari 2026,

Erma menjelaskan bahwa kasus tersebut hanya bisa diproses apabila ada aduan. Yang berhak mengadukan yaitu orang tua kandung atau anak kandung pelaku yang telah berusia minimal 16 tahun.

Ancaman pidana bagi pelanggar berupa penjara maksimal enam bulan atau denda hingga Rp10 juta. Ia juga mempertanyakan efektivitas sanksi itu dengan bertanya kepada publik apakah besaran denda tersebut sudah cukup memberikan efek jera.

Fenomena kohabitasi sendiri semakin sering dijumpai di masyarakat. Sejumlah penelitian, salah satunya skripsi berjudul Studi Kasus Perilaku Pelaku Kumpul Kebo, menjelaskan alasan paling dominan seseorang memilih hidup bersama tanpa menikah.

Biaya perkawinan yang dianggap mahal menjadi faktor pertama yang menghambat pasangan untuk menikah secara resmi. Selain itu, pengalaman pahit melihat perceraian orang tua kerap menimbulkan ketakutan gagal dalam perkawinan.

Perubahan nilai sosial juga ikut memengaruhi. Bagi sebagian generasi muda, kohabitasi dianggap sebagai hak kebebasan individu dan cara untuk “menguji” kecocokan hubungan sebelum melangkah ke jenjang pernikahan.

Faktor psikologis dan sosial seperti kecemasan terhadap masa depan, risiko kehamilan yang ingin diantisipasi bersama, serta meningkatnya penerimaan lingkungan turut memperkuat pilihan tersebut.

“Nah, Undang-Undang mengatur bahwa terhadap orang-orang yang kohabitasi hanya boleh diajukan pidana penjara selama 6 bulan atau denda sebanyak Rp10 juta,” kata Erma dalam penjelasannya.

Meski semakin dianggap wajar, para peneliti mengingatkan adanya risiko yang lebih besar terutama bagi perempuan.

Tanpa ikatan hukum yang sah, tidak ada jaminan perlindungan jika terjadi kekerasan, penelantaran, atau perselisihan harta maupun anak.

Karena itu, penguatan literasi hukum dan kebijakan perlindungan menjadi penting untuk memastikan setiap keputusan dalam hubungan membawa rasa aman bagi pihak yang terlibat.*

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Polisi Gresik Meringkus Ayah Kandung yang Jadikan Anak Perempuannya Budak Nafsu

12 November 2025 - 20:47 WIB

Puskesmas Pulo Lor Jombang Punya 15 Santri Binaan Berperilaku Hidup Bersih dan Sehat

12 November 2025 - 20:06 WIB

Cegah Konflik, Kesbangkpol Jombang Sosialisasikan Early Warning System dan Quick Respone

12 November 2025 - 19:17 WIB

Penurunan Stunting, Bupati Jombang Mendapat Penghargaan Intervensi Spesifik Terbaik dari Menteri Kesehatan

12 November 2025 - 18:06 WIB

Viral, Perselingkuhan Mahasiswi Unair Cantik Berakhir dengan Tak Terduga, Berikut Alasannya

12 November 2025 - 12:25 WIB

Sebagian dari 758 M Jembatan Penghubung Provinsi Sichuan China ke Tibet Runtuh

12 November 2025 - 10:27 WIB

Siswa SMP di Jawa Barat Ditemukan oleh KDM Lemah Matematikanya

12 November 2025 - 09:25 WIB

Dukun Sekarang Tidak Bisa Bergerak Bebas Lagi, Ini Pasalnya

11 November 2025 - 19:41 WIB

162 Penyandang Disabilitas di Kecamatan Diwek Dapat Bansos Rp 200.000/ Orang

11 November 2025 - 19:15 WIB

Trending di Headline