
Keharusan strategisnya tetap sama: memberdayakan struktur klan Gaza, yang mewakili 72 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza melalui 608 mukhtar terdaftar dan enam konfederasi Badui utama, untuk mengisi kekosongan pemerintahan seiring Hamas disingkirkan secara sistematis. Di atas: Faksi-faksi Palestina menyerahkan jenazah empat warga Israel kepada Palang Merah di Khan Yunis, Jalur Gaza, pada 20 Februari 2025.
Oleh Gregg Roman
Amerika Serikat mengumumkan pada 13 Oktober lalu bahwa Hamas menerima proposalnya untuk menjaga keamanan di Gaza. Meski demikian, persetujuan terhadap proposal itu sendiri merupakan kesalahan strategis yang fatal. Soalnya, dia merusak tujuan jangka panjang yang bertujuan menyingkirkan organisasi teroris Hamas dari pemerintahan Gaza.
Presiden Trump mengklaim “kami memberi persetujuan kepada mereka untuk jangka waktu tertentu” supaya bisa mengatasi persoalan pelanggaran hukum. Pernyataan itu harus diakui secara fundamental bertentangan dengan prinsip inti 20 poin rencana perdamaian itu sendiri.
Hamas seharusnya tidak boleh diberi peran dalam pemerintahan Gaza masa depan. Langsung maupun tak langsung. Dalam bentuk apa pun. Meski 19 poin kerangka kerja yang tersisa terus dinegosiasikan dan dijalankan, legitimasi yang prematur atas peran keamanan Hamas praktis menjamin pemulihannya secara menyeluruh.
Persoalan strategis yang seharusnya dijalankan, tidak boleh diubah. Menyetujui proposal justru berarti memberdayakan struktur klan Gaza, yang mewakili 72 persen dari 2,3 juta penduduk Gaza melalui 608 mukhtar (baca: pemimpin suku dengan kekuasaan setingkat kepala desa) yang terdaftar dengan enam konfederasi Badui utama, untuk mengisi kekosongan pemerintahan seiring dengan upaya menyingirkan Hamas secara sistematis.
Kesalahan Perhitungan yang Fatal Soal Peran Keamanan Hamas
Hancurnya sebagian infrastruktur militer Hamas seharusnya menjadi peluang untuk restrukturisasi tatakelola Gaza. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh gencatan senjata yang dimediasi Amerika, Hamas tetap bertahan sebagai sebuah organisasi meski merosot secara militer.
Pendekatan itu menyebabkan organisasi terror itu tetap mempertahankan sekitar 10-15 persen persenjataan roketnya, kepemimpinan eksternalnya di Doha sekaligus struktur komando militernya di bawah Izz al-Din al-Haddad. Menurut intelijen Amerika, Hamas malah merekrut 15.000 pejuang baru selama perang. Itu berarti ia memasuki masa transisi ini dengan sumber daya manusia baru yang bersemangat menunjukkan komitmen terhadap perjuangannya.
Upaya merekrut kekuatan baru juga terlihat ketika Kementerian Dalam Negeri Hamas pada 13 Oktober lalu menawarkan amnesti kepada anggota geng yang bergabung dengan pasukan keamanannya.
Tawaran itu sebetulnya mengungkapkan strategi organisasi Hamas untuk secara cepat melakukan rekonstitusi kekuatan. Setiap individu yang menerima amnesti menjadi anggota Hamas, memperluas jaringan intelijen dan kendali teritorial organisasi dengan dalih menjaga ketertiban umum. Bentrokan yang berlangsung di wilayah Sabra dan Shuja’iyya antara pasukan Hamas dan aktor independen menunjukkan bahwa Hamas tidak mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Ia sebaliknya secara sistematis menghilangkan alternatif bagi otoritasnya.
Tindakan Presiden Trump yang membenarkan bahwa “hampir 2 juta orang yang kembali ke gedung-gedung di Gaza yang hancur” membutuhkan keamanan segera pada dasarnya karena diagnose yang salah atas masalah yang tengah dihadapi. Kekosongan keamanan seharusnya dipahami, terjadi karena Hamas mengendalikan situasi sehingga mencegah struktur kekuatan alternatif berkembang selama lebih dari 18 tahun kekuasaannya. Mengisi kekosongan keamanan dengan organisasi yang sama yang menciptakannya, bahkan untuk sementara waktu sementara elemen-elemen kerangka kerja lain dinegosiasikan, menjamin berlanjutnya patologi mendasar yang menyebabkan 7 Oktober.
Kapasitas Pasukan Klan yang Terbukti
Serangan Hamas terhadap Israel pada Oktober 2023 seharusnya dilihat sebagai kebenaran dasar bahwa Hamas mengatur arsitektur sosial Gaza. Ia berhasil menutupinya. Tetapi ia tidak pernah mampu menghilangkan loyalitas kesukuan dari klan-klan yang lebih dalam. Israel pernah menawarkan kemitraan kepada 12 klan yang berkuasa. Hanya satu klan yang menerimanya.
Itu terjadi bukan karena mereka memiliki komitmen ideologis dengan Hamas, melainkan karena pertimbangan matang untuk mempertahankan diri menghadapi masa depan yang tidak pasti. Ia menunjukkan otonomi strategis klan-klan tersebut sekaligus potensi mereka sebagai aktor rasional yang mampu mengambil keputusan pragmatis berdasarkan insentif yang terus berubah.
Kemunculan pasukan keamanan berbasis klan yang efektif selama konflik memberikan bukti nyata akan kemampuan mereka. Pasukan Rakyat pimpinan Yasser Abu Shabab, dengan 400 pejuang, berhasil mengamankan koridor kemanusiaan selama enam bulan berturut-turut. Pasukan Serang Kontra-Terorisme pimpinan Hossam al-Astal menunjukkan kemampuan untuk membersihkan permukiman dari sel-sel Hamas sambil tetap menjaga perlindungan warga sipil.
Ketika Unit Pasukan Panah Hamas mencoba merebut kembali kendali pada Oktober 2025, para pejuang klan al-Mujaida, yang didukung oleh pasukan al-Astal dan perlindungan udara Israel, berhasil menangkis serangannya. Mereka menang, meski dengan sumber daya terbatas. Hamas menanggapinya dengan terus-menerus melakukan intimidasi terhadap klain-klain itu sehingga membuktikan apa yang mungkin terjadi dengan dukungan yang tepat.
Keberhasilan pasukan klan pada Maret 2025 dalam mengamankan konvoi Program Pangan Dunia ke gudang-gudang, yang mengakhiri penjarahan sistematis selama berbulan-bulan, menunjukkan kemampuan mereka untuk menyediakan keamanan praktis yang sangat dibutuhkan penduduk Gaza. Berbeda dengan Hamas, yang selalu mengutamakan keamanan kepentingan militernya, pasukan klan berfokus pada perlindungan aktivitas ekonomi dan operasi kemanusiaan yang secara langsung menguntungkan penduduk mereka.
Fondasi Ekonomi
Klan-klan mengendalikan aktivitas ekonomi Gaza melalui jaringan komersial yang mapan, kepemilikan lahan pertanian dan hubungan dagang sehingga memposisikan mereka sebagai pemangku kepentingan yang tak tergantikan dalam rekonstruksi. Anggota konfederasi klan Tarabin yang tersebar di Gaza, Mesir dan Yordania menyediakan jaringan komersial lintas batas yang penting bagi pemulihan ekonomi. Klan-klan konfederasi Tayaha yang menguasai wilayah timur menawarkan keahlian pertanian yang penting bagi ketahanan pangan. Anggota klan Barbakh yang berkecimpung dalam bidang perdagangan menunjukkan kapasitas kewirausahaan yang tak dapat ditiru oleh komite teknokratis mana pun.
Jaringan ekonomi ini berkembang selama tujuh abad pemerintahan eksternal; mulai dari masa Kekaisaran Utsmaniah, Inggris, Mesir, Israel, Otoritas Palestina, dan Hamas. Kemampuan mereka beradaptasi dengan berbagai rezim penguasa, sambil mempertahankan fungsi-fungsi inti komersial sudah terbukti.
Tidak seperti gerakan-gerakan yang didorong oleh ideologi yang mensubordinasikan rasionalitas ekonomi di bawah tujuan-tujuan politik, klan beroperasi berdasarkan perhitungan pragmatis di mana persoalan kemakmuran mengalahkan ideologi. Ketika dana rekonstruksi mengalir, para pemimpin klan akan memprioritaskan proyek-proyek yang mempekerjakan anggota mereka dan mengembangkan wilayah mereka alih-alih mempersiapkan konfrontasi militer berikutnya.
Kenyataan itu terlihat masa-masa sebelum 2023. Pada masa itu, terowongan yang dikendalikan klan Dughmush memasok barang-barang yang kemudian didistribusikan oleh jaringan Tarabin. Sistem kerja ini memperlihatkan bahwa insentif ekonomi dapat mengatasi persaingan tradisional jika mereka sama-sama diuntungkan. Kerja sama pragmatis yang mustahil ada dalam kerangka ideologis Hamas ini menjadi fondasi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan yang melayani kebutuhan sipil, alih-alih narasi perlawanan.
Kemampuan Administratif
Periode 2007-2011 menunjukkan struktur klan efektivitas berintegrasi dalam tata kelola administrasi pemerintahan formal. Pemerintahan Umum Hamas untuk Urusan Klan berhasil mengikutsertakan 608 mukhtar dan membentuk 41 komite rekonsiliasi yang menangani lebih dari 19.000 sengketa hingga tahun 2010. Hal ini membuktikan bahwa struktur klan dapat berfungsi dalam kerangka kerja administratif modern jika diorganisasikan dengan baik. Perbedaan krusialnya kini terletak pada orientasi struktur-struktur ini terhadap tata kelola yang konstruktif, alih-alih mendukung infrastruktur teroris.
Ada 320 mukhtar (baca: pemimpin klan setingkat kepala desa di Indonesia) di Gaza terdaftar hingga tahun 2011. Mereka diorganisasikan melalui yurisdiksi keluarga, suku, dan wilayah, memiliki pengetahuan terperinci tentang afiliasi politik, aktivitas ekonomi, dan dinamika sosial komunitas mereka. Kemampuan intelijen terperinci ini, yang dikembangkan dari generasi ke generasi, melampaui apa yang dapat dikembangkan oleh komite teknokratis eksternal selama bertahun-tahun.
Secara tradisional mereka berperan menangani penyelesaian sengketa sehingga memungkinkan mereka untuk mengelola 70–90 persen sengketa di luar infrastruktur pengadilan formal selama masa transisi.
Fakta historis (historical precedent) mendukung kemampuan administratif klan. Pemerintahan Sa’id al-Shawwa misalnya, sukses memerintah Kotamadya Gaza dari tahun 1906-1916. Dengan menggabungkan otoritas tradisional dengan pemerintahan modern, ia membangun rumah sakit, sekolah dan infrastruktur, sekaligus menjaga ketertiban umum melalui jaringan klan. Meski kalah pada masa perang, keluarga-keluarga terkemuka di Gaza seperti Abd al-Shafi dan Rayyes, tetap mempertahankan jaringan profesionalnya; dokter, pengacara, insinyur, pendidik, yang dapat mengisi posisi-posisi teknis sambil mempertahankan legitimasi klan yang tak pernah dapat diraih oleh teknokrat asing.
Mencegah Gaza Terpecah Belah
Para kritikus dengan tepat memperingatkan bahwa memberdayakan klan berisiko menciptakan panglima perang yang bersaing satu sama lain sehingga memecah belah Gaza menjadi wilayah kekuasaan yang bermusuhan. Kekhawatiran ini memaksa orang untuk serius terlibat dalam persoalannya tetapi tidak boleh melumpuhkannya ketika alternatifnya adalah rekonstruksi Hamas. Kuncinya terletak pada penciptaan mekanisme kelembagaan yang menyalurkan persaingan klan secara konstruktif sekaligus mencegah fragmentasi yang destruktif.
Kerangka kerja tersebut harus mewajibkan operasi klan bersama untuk semua inisiatif keamanan dan rekonstruksi utama dan mencegah dominasi satu klan. Keluarga-keluarga besar, termasuk Astal, Sikik, dan Abu Warda di Khan Yunis, harus berkolaborasi dalam pemerintah tingkat kegubernuran.
Berbagai wilayah klan di Kota Gaza membutuhkan pengelolaan yang terkoordinasi. Kerja sama yang dipaksakan ini, yang awalnya dipertahankan melalui pengawasan militer Israel, menciptakan kebiasaan kolaborasi yang akan terus berlanjut seiring berkurangnya pengawasan eksternal.
Integrasi ekonomi menjadi benteng terkuat melawan fragmentasi. Setiap proyek rekonstruksi harus membutuhkan pekerja dari berbagai wilayah klan. Rantai pasokan harus melintasi batas-batas tradisional, sementara lisensi komersial harus mewajibkan kemitraan multi-klan. Besaran anggaran rekonstruksi kemungkinan melebihi $50 miliar (setara Rp 900 Triliun) menyediakan sumberdaya yang memadai untuk menjadikan kerja sama lebih menguntungkan daripada konflik.
Liga Cendekiawan Palestina Hamas menunjukkan bagaimana kerangka kerja kelembagaan dapat menyalurkan energi kompetitif, berkembang dari 20 anggota yang memproses 1.000 kasus pada tahun 2004 menjadi 500 anggota yang menangani 13.408 kasus pada tahun 2010.
Militer Israel, sebagai penjamin keamanan saat ini, harus mempertahankan kendali hierarkis yang jelas selama masa transisi. Milisi klan beroperasi di bawah pengawasan Israel, mencegah tindakan otonom sekaligus membangun kemampuan koordinasi. Pengaturan sementara ini, meskipun tidak sempurna, menjanjikan stabilitas yang diperlukan bagi perkembangan kelembagaan sekaligus mencegah pembentukan kembali Hamas dan perang klan.
Gagalnya Model Alternatif
Otoritas Palestina yang sangat tidak mampu mengelola negara menempatkan tidak lagi relevan dengan kebutuhan mendesak Gaza. Pasukan keamanannya gagal mencegah kudeta Hamas tahun 2007 meski mendapatkan pelatihan dan peralatan internasional. Aparat pemerintahannya korup. Bantuan rutin internasional mereka alihkan untuk memperkaya diri sendiri. Bukan untuk pelayanan publik. Presiden Abbas, yang berusia 89 tahun dan menjalani tahun ke-20 masa jabatan empat tahunnya, tidak memiliki legitimasi di Gaza.
Pemerintahan internasional menjadi jalan keluar. Meski dengan mitra local. Untuk tujuan itu dibutuhkan pengerahan militer besar-besaran yang tidak akan disediakan oleh negara mana pun. Meski secara teoritis menarik, komisi teknokratis yang dibayangkan dalam rencana Trump, tidak memiliki kapasitas untuk menegakkan hukum tanpa angkatan bersenjata yang setia pada otoritasnya. Para teknokrat bisa saja memberi nasihat dan membuat rencana. Tetapi mereka tidak dapat memaksakan populasi untuk patuh karena mereka melihat tindakan itu sebagai paksaan asing yang tidak memiliki otoritas.
Pengalaman pernah mengalaminya Israel dengan Liga Desa pada tahun 1980-an dan terbukti gagal karena ia mencoba menciptakan struktur kepemimpinan buatan alih-alih bekerja sama dengan organisasi sosial yang ada. Peluang yang ada saat ini berbeda secara fundamental: klan tidak diminta untuk berkolaborasi melawan gerakan perlawanan rakyat, melainkan untuk menggantikan organisasi teroris yang menyebabkan kehancuran yang tak terduga di Gaza. Perbedaan ini mengubah perhitungan moral dan praktis yang harus dibuat oleh para pemimpin klan.
Masa Transisi
Periode ini yang berlangsung ketika 19 poin kerangka kerja yang tersisa tengah dinegosiasikan, memperlihatkan bahwa upaya memulihkan kekuatan Hamas itu justru sangat rentan bahaya. Organisasi teroris ini bakal memanfaatkan peran keamanan sementaranya untuk membangun kembali kemampuan pertahanannya yang merosot akibat perang dua tahun. Keberhasilan proposal itu membutuhkan pengakuan bahwa pembubaran Hamas adalah proses bertahap yang menuntut tekanan politik berkelanjutan, alih-alih memberi akomodasi prematur yang memungkinkannya untuk bangkit kembali.
Operasi militer Israel harus terus menyasar infrastruktur dan kepemimpinan Hamas meskipun ada pembatasan gencatan senjata. Memang operasi skala besar harus dihentikan. Tapi, serangan presisi terhadap komandan Hamas yang mengorganisir pasukan keamanan, spesialis senjata yang membangun kembali kapabilitas dan operator politik yang membangun kembali jaringan pemerintahan harus tetap dilakukan. Pesannya harus jelas: anggota Hamas yang melakukan operasi “keamanan” tetap menjadi target militer yang sah terlepas dari pernyataan Amerika tentang persetujuan sementara.
Pasukan klan membutuhkan peningkatan kapasitas segera meski Hamas melakukan operasi keamanan paralel. Penasihat militer Israel harus dilibatkan dalam milisi klan-klan lewat pemberian pelatihan, intelijen dan dukungan perencanaan operasional. Peralatan komunikasi, kendaraan, dan senjata pertahanan harus segera disediakan. Yang paling kritis, pembayaran gaji rutin kepada para pejuang klan harus melebihi apa pun yang dapat ditawarkan Hamas, membangun insentif ekonomi bagi loyalitas klan yang akan terus berlanjut terlepas dari perkembangan politik.
Sebanyak 84 persen warga Gaza lebih mempercayai hukum adat dibanding pengadilan formal. Ini menunjukkan preferensi yang mendalam terhadap struktur otoritas yang mereka pahami daripada yang dipaksakan oleh asing. Realitas sosial ini berarti pemerintahan klan memiliki legitimasi inheren yang tidak dapat ditandingi oleh ekstremisme Hamas maupun teknokrasi internasional.
Proses rekonsiliasi Sulha, sebuah metode tradisional Arab untuk penyelesaian konflik dengan prosedur yang ditetapkan untuk negosiasi gencatan senjata misalnya, serta perjanjian kompensasi dan akuntabilitas publik, menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang menjaga kohesi sosial sekaligus menangani keluhan.
Jalan Menuju Masa Depan
Tujuan jangka panjang untuk menyingkirkan Hamas sepenuhnya dari Gaza tetap dapat dicapai meski agak merosot saat ini. Yang dibutuhkan adalah disiplin strategis dan implementasi metodis bertahun-tahun. Jadi tidak dilakukan dalam hitungan bulan. Meski bermasalah, Hamas kini memberikan keamanan sementara di Gaza.
Upaya itu tidak bakal jadi permanen jika alternatif klan dikembangkan secara cermat selama masa kerangka kerja dijalankan. Kuncinya terletak pada pengakuan bahwa mengusir Hamas merupakan proses yang perlu dibarengi dengan tekanan sosial politik dalam seluruh dimensi militer, ekonomi, politik, dan sosial secara berkelanjutan.
Prioritas utama haruslah mencegah Hamas menerjemahkan peran keamanannya menjadi otoritas permanen. Setiap hari, Hamas mengoperasikan pos pemeriksaan serta melakukan patroli di jalan-jalan, membangun kembali legitimasi yang ingin dihancurkan oleh perang selama dua tahun. Negosiasi terhadap kerangka kerja perjanjian damai harus menetapkan jadwal yang jelas dan dapat ditegakkan untuk mengalihkan tanggung jawab keamanan dari Hamas ke struktur klan, dengan tolok ukur dan konsekuensi yang jelas tegas jika tidak dipatuhi. Bahasa yang samar tentang “masa transisi” memberikan peluang kepada Hamas untuk mengartikannya secara ambigu sesuai kebutuhannya sehingga dia bakal mengubah akomodasi taktis menjadi kemenangan strategis.
Arsitektur klan Gaza merupakan satu-satunya alternatif Palestina yang layak dan mampu menyediakan keamanan langsung, kapasitas administratif, dan pengelolaan ekonomi tanpa ekstremisme ideologis. Mendalamnya akar budaya dalam tatanan sosial Gaza, kemampuan operasional yang terbukti selama konflik dan orientasi pragmatis terhadap kesejahteraan, alih-alih perlawanan abadi, menjadikan mereka mitra yang sangat diperlukan dalam mencegah kebangkitan Hamas.
Komunitas internasional harus mengatasi perasaan tidak nyaman mereka dengan struktur otoritas tradisional sehingga mau mengakui bahwa dalam realitas Gaza saat ini, pilihannya bukanlah antara solusi ideal dan kompromistis, melainkan antara tantangan yang dapat dikelola dengan mempercayakannya kepada pemerintahan klan dan bencana yang pasti akan terjadi dengan pembentukan kembali Hamas.
Biaya dari gagalnya kesepakatan damai jauh melampaui batas-batas Gaza. Jika Hamas berhasil mengubah peran keamanan sementaranya menjadi otoritas permanen, maka ia bakal jadi preseden. Menjadi preseden yang memvalidasi terorisme sebagai strategi jangka panjang yang berhasil bagi organisasi mana pun yang mampu bertahan dari tekanan militer.
Kerangka kerja itu dapat berhasil jika perdamaian di Gaza dibangun bukan dengan mitra yang kita inginkan. Melainkan bermitra dengan struktur tradisional yang menuntut loyalitas, yang mampu mengendalikan wilayah serta memiliki orientasi pragmatis yang diperlukan untuk memilih kemakmuran masyarakat daripada konflik abadi. Klan-klan itu menawarkan jalan itu. Dan, itu tercapai, jika komunitas internasional menunjukkan kesabaran strategis dan kejelasan moral untuk memberdayakan mereka sekaligus secara sistematis membasmi organisasi teroris yang tidak membawa apa pun selain kehancuran bagi penduduk Gaza yang telah lama menderita.
- Gregg Roman Direktur Eksekutif Middle East Forum yang sebelumnya memimpin Community Relations Council di Federasi Orang Yahudi di Greater Pittsburgh. Pada tahun 2014, Jewish Telegraphic Agency menobatkannya sebagai salah satu dari “sepuluh pemimpin Yahudi global paling inspiratif.” Pernah pula dia menjadi penasihat politik untuk Wakil Menteri Luar Negeri Israel serta bekerja pada Kementerian Pertahanan Israel. Selain menulis untuk berbagai media internasional dia menjadi pembicara rutin tentang isu-isu Timur Tengah dan tampil dalam berbagai saluran televisi termasuk Al-Jazeera, BBC World News, dll. Tulisan ini diterjemahkan oleh Jacobus E. Lato.